SOLOPOS.COM - Soleh Amini Yahman (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Pada Minggu pagi 28 Maret 2021 teror bom bunuh diri meledak di depan Gereja Katedral Makassar. Alasan dan logika apa pun tak bisa membenarkan peledakan bom tersebut. Bila radikalisme dalam konteks ini dimaknai sebagai dasar terjadinya perilaku kekerasan atau perilaku teror (terorisme), saya melihat munculnya terorisme bisa dilihat dari berbagai sudut pandang.

Secara psikologis terorisme dipengaruhi oleh dua sebab, yaitu krisis kepercayaan kepada sistem kehidupan sosial, politik, kultural, dan faktor pelemahan ideologi psikologis pelaku teror. Krisis kepercayaan kepada sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, hukum, agama, budaya, dan lain lainnya menyebabkan sebagian orang merasa frustrasi, marah, jengkel, dan kecewa dengan keadaan.

Promosi Mabes Polri Mengusut Mafia Bola, Serius atau Obor Blarak

Kondisi demikian ini mengantarkan pada kehidupan kejiwaan yang labil. Inilah yang melemahkan pertahanan emosi dan menumpulkan kecerdasan emosi sehingga sangat mudah dipengaruhi dan diprovokasi untuk melakukan pembencian (hostilitas) terhadap sistem kehidupan sosial kenegaraan dan pemerintahan yang dianggap bertanggung jawab atas kehidupan sosial pada umumnya.

Perilaku kebencian atau social hostility dapat mewujud dalam perilaku individual, kelompok, maupun perilaku yang lebih terorganisasi dalam kelompok yang mengaku atau mengatasnamakan agama, jihad, perjuangan fisabillilah, amar makruf nahi mungkar, dan lain sebagainya.

Pada tataran ini radikalisme yang mewujud dalam aksi terorisme mungkin saja belum tampak dalam bentuk kekerasan frontal semacam peledakan bom atau penghancuran yang sifatnya masif, tetapi baru sebatas aksi massa seperti unjuk rasa.

Target sementara gerakan teror semacam ini adalah menimbulkan rasa takut pada masyarakat sehingga berefek pada tata kehidupan pemerintahan dan kenegaraan yang tidak stabil. Pemerintah dituding sebagai pihak yang tidak bisa melindungi atau tidak bisa memberikan rasa aman kepada rakyat. Kondisi labil dalam kehidupan pemerintahan dan kenegaraan inilah yang sengaja diciptakan oleh penggerak aksi teror semacam ini.

Aksi belum frontal  merupakan potensi laten bagi letupan teror yang lebih dahsyat berupa gerakan destruktif (penghancuran massal), agresif, dan berkembanganya pola perilaku yang berbasis pada kekerasan atau violence behaviour.

Kebencian adalah awal petaka teror dalam kehidupan umat. Terorisme menjadi semakin subur ketika manusia tidak mampu menumpulkan rasa benci, baik kebencian individu kepada individu maupun individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok.

Ideologi Psikologis

Aksi teror dalam bentuk bom bunuh diri lebih disebabkan pelemahan ideologi psikologis seseorang, yaitu penumpulan intelektualitas tersengaja dan terstruktur yang dilakukan  oleh pihak atau personal tertentu yang mempunyai  otoritas dan karismat yang kuat kepada seseorang atau sekelompok orang yang secara ideologi psikologis tidak kuat, tidak percaya diri, konsep diri tidak jelas, kecewa atau frustrasi/patah hati, merasa tertindas.

Pelemahan ideologi sikologis melalui penumpulan inteketualitas tersengaja/terstruktur ini berakibat cuci otak atau brain washing pada kehidupan individu atau kelompok sehingga mudah diindoktrinasi dengan nilai-nilai tertentu seperti jihad, heroisme, kejuangan, bela negara, bela agama,  dan aneka nilai yang seakan-akan berujung pada kepahlawanan,  walau semua itu sudah dibelokkan oleh pemberi indoktrinasi.

Pelemahan intelektualitas inilah sumber kesediaan bunuh diri para pelaku aksi bom bunuh diri. Mungkin saja secara akademis pelaku bom bunuh diri ini bukanlah orang yang  bodoh, bahkan merupakan lulusan terbaik dari sekolah atau lembaga pendidikan tertentu yang bonafide.

Secara intektualitas dan sensitivitas afeksi (emosi) mereka sangat bodoh. Kecerdasan afeksi mereka berada pada level terendah. Orang-orang yang memiliki kecerdasan afektif rendah pada umumnya sangat mudah disulut untuk melakukan aksi atau tindakaan yang sebenarnya konyol/tolol dan tidak bernilai, tetapi dipersepsikan sebagai tindakan mulia dan berpahala besar.

Secara psikososiologis, terorisme adalah paham yang mengajarkan “perjuangan” dengan cara menyebar teror atau melakukan aksi menyebar rasa takut demi mencapai tujuan tertentu, baik tujuan kelompok maupun tujuan pribadi.

Pelaku dapat mengerjakan aksi teror secara orang per orang untuk pencapaian tujuan pribadi atau dilakukan secara bersama dan terorganisasi untuk mencapai tujuan bersama dalam skala yang lebih besar.

Apa pun bentuk aksinya dan siapa pun pelakunya, selama aksi tersebut menimbulkan ketakutan kolektif yang mencekam kehidupan masyarakat, maka aksi atau tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai terorisme.

Aksi-aksi teror yang belakangan ini kembali mengguncang ketenteraman hidup masyarakat disebabkan bukan oleh satu faktor tunggal, melainkan oleh terjadinya interplay multifactor. Artinya aksi tersebut bukan hanya disebabkan oleh satu faktor saja , misalnya fanatisme agama saja, melainkan oleh banyak faktor.

Di antara faktor-faktor penyebab tersebut terkait satu sama lain dan dimainkan secara bersama-sama.  Dari berbagai faktor tersebut ada empat unsur pokok yang saya lihat menjadi faktor dominan penyebab terorisme. Pertama, ketidakadilan dan ketimpangan sosial ekonomi yang menyebabkan terbukanya  perasaan terkoyak dan terzalimi.

Kedua, melemahnya konsep dasar intimitas relasi sosial organik yang menyebakan melebarnya ”jarak sosial” dan keruhnya ukhuwah wathaniah maupun ukhuwah sosial antarwarga masyarakat. Ketiga, masuknya intervensi nilai-nilai baru dari berbagai belahan dunia sehingga mengubah tata nilai sosial-kultural dan memorak-porandakan sendi-sendi asli kehidupan sosial masyarakat.

Keempat,  tidak berfungsinya lembaga-lembaga sosial kemasyarakat dalam memberdayakan potensi-potensi  postif masyarakat. Para pemangku kepentingan negara ini lebih asyik berpolitik dan bercengkerama dengan kelompoknya sendiri sehingga meminggirkan peran serta aktif masyarakat serta abai terhadap urusan bersama.  Potensi positif yang semestinya menjadi modal pembangunan berbelok arah menjadi ledakan masif yang merusak tatanan pembangunan.

Harus Dibenahi

Minimal ada empat bagian penting dalam restrukturisasi sosial yang harus diperhatikan dalam penataan kehidupan sosial keindonesiaan kita sehingga gangguan ganguan teror dapat ditekan seminimal mungkin. Pertama,  sistem pengelolaan tata kehidupan sosial politik yang selama ini cenderung berpusat pada kekuasaan diubah menjadi sistem kehidupan sosial ekonomi politik yang berorientasi pada keseimbangan dan keadilan masyarakat.

Kedua, membenahi kualitas hubungan sosial individual untuk mendekatkan atau membangun proksimitas warga masyarakat. Hal ini sudah banyak dilakukan oleh Pemerintah Kota Solo, seperti membangun banyak open space sebagai media srawung warga. Ketiga, menyediakan fasiltas pendidikan nonformal yang memadai dan dapat merangsang tumbuhnya jiwa kreatif produktif, khususnya di kalangan generasi muda.

Keempat, tidak membiarkan benih radikalisme sektoral membiak karena sikap acuh tak acuh kita terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan di sekitar kita. Pemerintah daerah tidak boleh abai dalam memberikan pembinaan kepada kelompok atau organisasi-organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan, maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan.



Selama keadilan dan keseimbangan atmosfer sosial di negeri ini belum dirasakan oleh masyarakat, sampai kapan pun terorisme tidak akan pernah hilang. Obat yang paling manjur dalam mengatasi terorisme adalah memberikan keadilan dan keseimbangan yang berkelanjutan dan mempersempit jarak sosial untuk merekatkan dan mendekatkan kembali intimitas sosial organik yang mulai merenggang.

Ibarat sebuah kehidupan, radikalisme dan terorisme adalah makhluk yang superorganis. Dia tidak akan pernah mati walau generasi telah berganti. Artinya, radikalisme dan terorisme akan terus tumbuh walau mungkin bentuknya tidak lagi berwujut penebaran bom di tempat ibadah dan tempat keramaian.

Tidak juga berbentuk perilaku agresif, merusak, dan perilaku kekerasan lainnya. Terorisme akan berhenti jika kesetaraan dalam kehidupan sosial, hukum, pendidikan, ekonomi, kebebasan dalam menjalankan agama dan keyakinan terjamin dan terwujud nyata dalam bingkai kehidupan sosial yang adil.

Sesungguhnya munculnya terorisme tidaklah semata-mata karena ideologi politik atau sentimen agama, tetapi karena kefrustrasian kolektif menghadapi semrawutnya tatanan kehidupan sosial yang jauh dari martabat hidup yang berkeadilan dan beretika. Korupsi yang merajalela, penegakan hukum yang belum sempurna, kesempatan kerja yang belum merata, mahalnya biaya pendidikan adalah merupakan sebagian contoh kesemrawutan yang dapat menjadi pemantik api radikalisme dan terorisme.

Keseimbangan harus diwujudkan dan untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Pemerintah harus melibatkan semua sektor kehidupan masyarakat sehingga akan terbentuk in group feelling one Indonesia one country. Togetherness harus diciptakan semenjak usia dini sehingga generasi yang akan datang tinggal meneruskan apa yang sudah didesain oleh generasi masa kini. Negeriku aman negeriku tenteram.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya