SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kolong Jembatan Gondolayu tadi malam tak seperti biasanya. Puluhan lilin merah dipasang menyala di berbagai sudut dan obor tertancap di sela aliran air. Di tengah sungai, tampak pula beberapa keranjang bambu dengan lilin merah menyala di dalamnya. Orang-orang yang berada di pinggir sungai pun ikut membawa lilin merah.

Jemek Supardi muncul dari sisi sungai, berjalan tertatih dengan setangkai daun pisang dan lilitan tali panjang di tubuhnya. Ia berjalan menyusuri sungai Code, sambil mencoba melepaskan jeratan tali itu.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Usahanya tak mudah. Berjalan di aliran sungai membuat dirinya harus berjuang pula melawan arus. Sementara daun pisang yang dibawanya tak banyak membantu. Berkali-kali ia jatuh terjerembab dan hanyut meski aliran air hanya setinggi lutut.

Daun pisang pun akhirnya terlepas dari genggamannya dan hanyut. Ia terus mengurai tambang yang melilitnya, hingga akhirnya terlepas. Ia meraih sebuah obor yang tertancap, dan kembali melawan arus, ia membawanya menuju tempat lapang berisi keranjang bambu. Usahanya tak berhasil karena obor itu jatuh ke air dan hanyut bersama matinya nyala api di sumbunya.

Itu adalah sekelumit cerita tentang pertunjukan pantomim yang dilakukan oleh Jemek Supardi. Tali itu merupakan simbol derita panjang yang selama ini melilit bentangan hidup orang-orang yang mengidap HIV/AIDS. Sedangkan daun pisang sebagai simbol upaya terakhir yang dilakukannya untuk pegangan menjalani bentangan panjang hidupnya yang semakin gelap.

“Jangan biarkan aku sendiri!” itulah suara batin yang menggema dari dinding terdalam nurani hati seorang yang mengidap HIV/AIDS. Kalimat itu hanya menggumpal, membeku dalam hatinya karena tidak ada telinga yang sudi untuk menampungnya.

Melalui pentas tunggalnya kali ini, Jemek berharap banyak pada masyarakat yang menonton pentasnya, agar mereka terketuk untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).

“Mereka tidak ingin dikucilkan. Mereka ingin diperlakukan sama dengan manusia lain. Di pentas ini, saya mencoba mengekspresikan situasi kebatinan suara hati mereka,” kata Jemek.

Tema HIV/AIDS ini sengaja ditampilkan karena berangkat dari keprihatinan atas nasib para ODHA yang sengaja didiskriminasikan oleh lingkungannya.

Soal pengambilan tempat di kolong jembatan ini, bukan hal yang baru bagi pria yang telah lebih dari 30 tahun bergelut di dunia pantomim ini. Sebelumnya, ia pernah main dengan membenamkan diri dalam liang lahat di tengah kuburan. Tidak tanggung-tanggung, bersamaan dengan itu ia juga mengusung banyak peti mati untuk artistik pentasnya itu.

Perancang Produksi, Eko Nuryono mengatakan, kawasan kolong jembatan merupakan kawasan yang terkenal kumuh sehingga menjadi terpinggirkan. Nasib yang sama untuk mereka yang mengidap HIV/AIDS.

Oleh Nina Atmasari
WARTAWAN HARIAN JOGJA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya