SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Melihat fenomena penegakan hukum di negeri kita, pastilah orang bernurani akan merasa prihatin. Penulis tak akan menyebut nama atau kasus. Berbagai media telah gamblang memberitakannya. Menyebutkannya saja serasa menambah rasa perih di hati.

Kasus demi kasus yang terinformasikan seakan menambah kelam dunia hukum dan syariat kita. Sedikit sekali kasus yang membawa berita dan harapan tercapainya rasa keadilan rakyat. Penguasa, pejabat dan yang selingkar dengannya seringkali tak terjamah hukum.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Jika ada, maka sangat berbeda dengan apa yang menimpa rakyat kecil di depan meja hijau. Kasus kecil orang kecil justru mendapat hukuman lebih berat dari kasus besar para penguasa dan pejabat. Sesuatu yang jamak terlihat saat ini bukan?

Ekspedisi Mudik 2024

Keadilan adalah hal yang sangat mulia, karena sifat itu lekat dengan Dzat Yang Maha Mulia, Allah SWT. Seseorang bisa bersikap adil sejatinya adalah manusia pilihan. Disabdakan oleh Nabi SAW bahwa pemimpin yang adil adalah insan yang akan mendapat naungan khusus dari Tuhan Al-Malikul Mulki di akhirat kelak. Berarti, bersikap adil adalah derajat tinggi di hadapan-Nya, sebab untuk mencapainya memang sangat tidak mudah.

Seseorang untuk mencapai adil harus sungguh-sungguh berhati jernih tanpa melibatkan kepentingan dan ego pribadi, jujur dan tegas serta memiliki wawasan luas atas fakta dan persoalan. Dengan kata lain, pemimpin baru bisa bersikap adil jika memiliki ilmu para ulama, kearifan dan hikmah para awliya’, serta kemampuan strategi para raja agung yang diberkahi.

Kini, bagaimana kita mensikapi karut marut kehidupan hukum dan peradilan negeri tercinta ini? Tuntunan Nabi SAW sangat jelas bahwa suatu negeri akan mencapai kejayaan yang diberkahi Allah SWT jika memiliki empat unsur masyarakat. Yakni ulama yang mengamalkan ilmunya, orang kaya yang dermawan, orang fakir yang sabar dan pemimpin yang adil. Empat golongan masyarakat inilah yang akan menjadi sinergi bagi tumbuhnya atmosfer keadilan dan kesejahteraan umat.

Keadilan sebagai kunci kesejahteraan dunia akhirat tak dapat ditegakkan tanpa keberadaan empat golongan tersebut. Untuk memperjuangkan keadilan, para ulama haruslah berani menyampaikan ilmu agama dan kebenaran semata karena Allah SWT serta takut hanya kepadaNya. Orang-orang kaya haruslah berani berbagi atas harta titipan Ilahi.

Orang-orang fakir haruslah berani untuk menanggung kesabaran sebagai doa mustajab dan bukti nyata kemuliaan akhirat yang diberikan secara khusus oleh Tuhan. Para pemimpin haruslah kemudian berani untuk menanggalkan ego dan melayani secara tulus kepada rakyat tanpa pandang bulu demi tumbuhnya keadilan secara nyata di muka bumi.

Selama empat golongan masyarakat ini tak terwujud, maka atmosfer dan rasa keadilan tak akan tercapai. Drama demi drama kecurangan hidup akan terus menampak menuju hancurnya suatu negeri. Bayangkan jika para ulama tak lagi takut kepada Allah SWT serta mengejar dunia dan memperdagangkan ilmunya. Para orang kaya tak mau berbagi dan bersedekah serta cenderung menumpuk harta. Para fakir tak lagi mampu bersabar dan mudah unjuk rasa serta berontak. Para pemimpin lebih bersikap sebagai penguasa, pilih kasih, tebang pilih dan tak lagi berorientasi melayani rakyatnya. Bencana demi bencana pun diturunkan sebagai bentuk peringatan Tuhan Yang Maha Pengasih Penyayang agar manusia kembali bertaubat kepadaNya.

Memulai adil   
Seorang kyai pernah mengatakan kepada penulis tentang penciptaan dunia. Mengapa Allah SWT menciptakan dunia? Beliau menjelaskan dari suatu tafsir Alquran, bahwa Tuhan menciptakan dunia agar manusia memahami dunia sebagai tempat yang tak sempurna dan sementara hingga meyakini kesempurnaan dan keabadian akhirat. Juga agar manusia kelak memahami derajat dan kedudukan insan yang berbeda-beda sesuai amalnya di dunia. Walhasil, bahwa kesempurnaan rasa keadilan itu tak akan pernah tercapai di dunia ini. Dunia hanyalah tempat berjuang (jihad) menegakkan keadilan tiada henti. Proses perjuangan inilah yang bernilai di mata Allah SWT. Bukan hasilnya, karena hasil adalah semata dalam kepastianNya.

Teringatlah kita bahwa seorang Nabi Muhammad SAW sebagai mahluk dan pemimpin terbaik pun tak mampu membuat dunia seutuhnya tunduk kepada Allah Al-Adlu. Sabda Nabi SAW yang menyatakan bahwa setiap diri kita adalah pemimpin adalah wujud nasehat Beliau untuk kita agar memulai bersikap adil dari diri kita masing-masing. Sudah adilkah diri kita dalam memerankan diri? Jika kita orang berilmu, sudahkah kita mengamalkan dengan sebaik-baiknya? Jika kita orang kaya, sudahkah kita berbagi dengan sesama? Jika kita orang fakir, sudahkah kita bersabar dan mendoakan kemuliaan sesama? Jika kita seorang yang diamanahi jabatan, sudahkah kita menjalankannya dengan orientasi pelayanan? Tentulah belum sepenuhnya.

Tuntutan akan penegakan keadilan di dunia tentulah ditujukan kepada para pemimpin, penguasa dan pejabat. Maka, para khalifah pilihan Allah SWT tak pernah berambisi memiliki jabatan apa pun di muka bumi kecuali untuk melayani umat. Tuntutan keadilan bagi orang kebanyakan atau fakir lebih ringan. Tak heran, Nabi SAW bersabda bahwa Beliau melihat surga itu dipenuhi oleh mayoritas orang fakir yang saleh. Yakni mereka yang mampu bersabar dan bersyukur atas keterbatasan dunia serta lebih melihat kepada kesempurnaan kebahagiaan abadi akhirat yang semaikin nyata. Suka duka dunia tak berarti saat menghayati keindahan dan keagungan akhirat. Orang fakir lebih sering bersikap adil saat memandang perbandingan dunia dan akhirat bukan? Wallahu a’lam bishshawab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya