SOLOPOS.COM - Anisah Budiwati, mahasiswa Magister Ilmu Falak Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Anisah Budiwati, mahasiswa Magister Ilmu Falak Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Sebentar lagi, jemaah calon haji (Calhaj) Indonesia mulai diberangkatkan dari semua embarkasi haji, termasuk dari embarkasi Adi Soemarmo, Donohudan, Boyolali. Harapan para Calhaj adalah ingin menjadi haji yang mabrur, haji yang diterima Allah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang punya banyak iming-iming. Ada iming-iming al-hajju al-mabrur laisa al-jaza illa al-janah, haji mabrur tiada balasan kecuali surga. Ada iming-iming ongkos naik haji sama dengan ongkos untuk berjihad di jalan Allah. Satu dirham akan diganti dengan tujuh ratus kali lipat.

Ada pula iming-iming orang yang berhaji karena Allah dan dengan cara yang sesuai dengan tuntunan Islam akan kembali seperti pada hari ketika mereka dilahirkan dari rahim ibunya, bersih dari segala dosa dan masih banyak lagi iming-iming yang lain.

Dengan iming-iming semacam itu, banyak muslim Indonesia yang berlomba-lomba (fastabiqul khairat) untuk segera dapat menunaikan ibadah haji dengan berbagai cara. Niat beribadah haji tidak seperti minatnya orang-orang Islam dalam ibadah yang lain seperti untuk zakat, sedekah, infak dan lainnya, yang terkesan masih ogah-ogahan.

Begitu antusiasnya masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah haji dengan berbagai cara sehingga muncul banyak titel haji dalam humor religi yang hidup di tengah masyarakat. Ada titel haji wahyu (beribadah haji dari sawahnya yang payu atau laku), ada titel haji dolmah (beribadah haji dari adol omah/adol lemah atau menjual rumah), ada titel haji bakyu (beribadah haji dari tambak payu atau tambak yang laku terjual) dan masih banyak lagi titel lain haji dalam humor religi.

Sejak 1998 sampai sekarang Indonesia masih dilanda krisis, namun jumlah orang yang mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji menurut data statistik makin bertambah. Pemerintah berupaya menambah kuota haji. Kondisi ini cukup membanggakan karena paling tidak menunjukkan semangat beribadah haji kaum muslim di Indonesia sangat tinggi.
Namun, pada sisi yang lain sangat memperihatinkan, karena bertambahnya jumlah hujjaj (mereka yang sudah beribadah haji) selama ini belum memberikan implikasi positif terhadap perubahan perilaku dan kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik. Padahal menurut Imam Hasan dalam kitab Minahussaniyah, ciri haji mabrur adalah setelah berhaji perilaku mereka dalam kezuhudan dunia (kepekaan sosial) dan amal keakhiratan makin bertambah.

Status sosial
Menjadi tradisi sosial bahwa setiap orang yang telah menunaikan ibadah haji namanya ditambah dengan haji atau hajah. Jamak kemudian panggilan Pak Haji untuk laki-laki dan Bu Hajah untuk perempuan. Kiranya ini merupakan tradisi yang menarik untuk diteliti. Mengapa demikian ?

Hanya dalam ibadah haji saja ada tradisi menambah titel haji untuk laki-laki dan titel hajah untuk perempuan. Mengapa ketika ada orang yang sregep atau rajin melaksanakan ibadah salat, namanya tidak ditambahi titel musholli? Mengapa namanya tidak ditambahi titel muzakki ketika ia selalu melaksanakan zakat? Mengapa namanya tidak ditambahi titel shoim ketika ia sregep melaksanakan puasa?

Menurut hasil pelacakan sejarah, pada zaman Rasulullah SAW, para sahabat dan tabiin (pengikut nabi), tidak ditemukan tambahan titel (nama atau panggilan) haji atau hajah bagi mereka yang sudah menunaikan ibadah haji. Bahkan dengan pertimbangan penggunaan titel haji dapat merusak ketulusan niat ibadah haji, dengan munculnya sifat daqaiqurriya (sifat pamer), para Syeh (Masyayih) di Al-Azhar menolak penambahan titel atau gelar haji pada nama mereka. Penolakan ituy juga dengan pertimbangan sifat daqaiqurriya dapat menghanguskan semua pahala dhiya’il ujur (silakan baca Abdul Wahab al-Sya’rany dalam kitab Minahussaniyah).

Pada dasarnya titel haji dapat menjadi bagian dari legitimasi formal tingkat spiritualitas seseorang. Artinya titel itu hanya berhak dimiliki oleh mereka yang telah menunaikan rukun Islam yang kelima yang memang banyak membutuhkan biaya (istitho’ah) dalam sudut pandang muslim Indonesia.

Hanya saja, apakah titel tersebut menunjukkan kualitas spiritual secara subtansial seseorang? Padahal Nabi pernah bersabda bahwa “Allah tidak melihat (kualitas iman) kamu sekalian dari pakaian dan titel (gelar) yang dipakai, tetapi dari keimanan yang ada dalam hati.” Kiranya menjadi jelas bahwa ukuran kualitas spiritual secara subtansial seseorang bukan dari titel haji tapi sejauh mana ibadah-ibadah yang telah dilaksanakan dapat memberi atsar (membekas positif) dalam hati sanubari dan terefleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah nilai ibadah seseorang sangat tergantung pada keikhlasan hamba menghadap kepada Allah?

Ibadah prioritas?
Ibadah haji pada dasarnya sama dengan ibadah-ibadah yang lain seperti salat, puasa dan zakat, yakni sebagai fondasi agama (rukun Islam). Semua mempunyai misi yang sama yakni terakumulasi dalam ajaran yang selalu responsif terhadap sosial-kemanusiaan (antroposentris). Persentase haji hanya 25% dari ajaran Islam dan itu pun hanya sebagai tiang fondasi, belum pada subtansi ajarannya. Namun, di masyarakat terkesan ibadah haji adalah ibadah prioritas dan ibadah prestise.

Hal itu kiranya wajar karena di tengah masyarakat awam masih ada asumsi bahwa ibadah haji adalah ibadah yang mampu mengangkat citra sosial. Ada asumsi bahwa orang yang sudah beribadah haji adalah orang Islam yang sempurna–kaffah. Padahal realitanya, ada orang yang sudah berhaji, tapi salat atau zakat atau puasa wajibnya belum berjalan dengan baik. Ini merupakan ekses dari pemahaman terhadap agama yang terlalu mengedepankan aspek ritual dan simbol–hanya menekankan pada aspek ibadah mahdah tanpa diimbangi secara proposional dari dimensi keagamaan lainnya yakni nilai-nilai kemanusian (humanisme).

Haji pada dasarnya merupakan ibadah dalam kerangka pelatihan bagi manusia untuk menuju kesalehan sosial (pelatihan humanime). Dalam bahasa sosiolog muslim Iran Ali Shariati, penuh dengan simbol-simbol semangat kemanusian yang anggun dan mendasar. Hal ini dapat dilihat dalam acara-acara ritual atau non ritualnya, kewajiban-kewajiban atau larangan-larangannya, serta ajaran subtansial maunpun formalnya.

Sebut saja misalnya, ditanggalkannya pakaian kebesaran (pakaian keseharian) seraya menggunakan pakaian ihram (pakaian yang putih-suci) yang sederhana. Hal ini merupakan simbol menanamkan moral dan perilaku dengan membuang sekat kaya–miskin, ningrat–jelata, penguasa–rakyat dan status sosial lainnya.

Egoisme keakuan lebur dalam kekitaan, kebersamaan dan kesamaan yang hadir hanya kepada Allah (lihat Alquran 2: 196, 24: 42, 22: 27). Ini juga simbol yang berfungsi pelatihan disiplin diri dan kontrol diri, di mana benda-benda suci ditakzimkan, kehidupan tumbuh-tumbuhan serta burung-burung sekali pun tidak boleh diganggu dan segala sesuatunya hidup tenteram (lihat Alquran 22: 30, 22: 32, 2: 125). Dan masih banyak lagi simbol-simbol kemanusiaan lainnya.

Di samping itu, jika kita simak dalam tarikh (sejarah) Nabi SAW tentang subtansi khotbah Nabi ketika haji wada’ (haji perpisahan), Nabi menekankan pentingnya persamaan, mengharuskan memelihara jiwa, harta, dan penghormatan kepada orang lain, serta larangan menindas kaum lemah baik dalam bidang ekonomi maupun bidang lainnya. Wasiat Nabi ini mengisyaratkan pentingnya mengaktualisasikan simbol-simbol kemanusiaan dalam ibadah haji setelah menunaikannya.
Ibadah haji merupakan pelatihan kemanusiaan, bukan ibadah prestise yang menumbuhkan kelas tersendiri dengan sebutan haji dan mendaftarkan diri secara resmi dalam Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI).

Kemabruran haji
Jacob Vredenbregt pernah melakukan penelitian perilaku haji di Indonesia, salah satu temuannya ada sebagaian masyarakat yang memandang haji sebagai ritus kehidupan dan transisi pada status baru dengan dipertegas memakai nama baru atau penambahan nama dari Mekkah.

Ini sebagaimana perilaku kelompok santri (menurut klasifikasi Clifford Geerts) yang beranggapan ibadah haji merupakan penutup ideal setelah pendidikan di pesantren sekaligus upaya mengakhiri masa remaja (silakan membaca Dick Douwes dan Nico Kaptein dalam buku Indonesia dan Haji).

Namun, tetap saja ukuran kemabruran haji tidak dapat dilihat dari gelar haji yang disandang, tetapi dari aktualisasi simbol-simbol kemanusiaan dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari (Quraish Shihab: 215). Ukurannya adalah peningkatan kualitas amal saleh seperti kedermawanan, kerendahhatian, keadilan dan sifat-sifat kemanusiaan lainnya setelah menunaikan ibadah haji.

Jika sifat-sifat kemanusiaan itu tidak meningkat secara kualitatif dan kuantitatif, atau bahkan sebaliknya, makin angkuh, sombong dan membanggakan diri, tentu saja semua pengorbanannya untuk beribadah haji menjadi sia-sia di hadapan Allah, bahkan juga di hadapan manusia. Apakah ini pertanda haji yang tidak diterima (haji mardud)? Wallahu a’lam bishshowab.

Semoga jemaah calon haji Indonesia benar-benar menjadi haji mabrur, sehingga dapat menjadi spirit untuk mengentaskan Indonesia dari krisis multidimensional yang selama ini masih melilit. Amin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya