SOLOPOS.COM - Efrida (FOTO/ama)

Efrida (FOTO/ama)

Menari boleh jadi profesi yang cukup menjanjikan baik di dunia panggung modern maupun tradisional. Begitulah sehingga jurusan tari dibuka oleh berbagai perguruan tinggi seni di banyak kota.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Tapi bagi Efrida, semua itu benar-benar berbeda. Di matanya, seni tari bukan lagi sekadar jalan untuk mencari uang. Lebih dari itu, dunia tari telah menjadi jalan utamanya untuk beramal dan berbagi dengan orang lain. “Tidak ada bayaran, ini adalah cara saya untuk mengamalkan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi,” katanya.

Profesi utama perempuan asal tanah Minang ini memang bukan sebagai penari, melainkan pengajar di Jurusan Tari ISI Solo. Dari sekian banyak ahli koreografi di kampus ini, hanya Efrida yang dikenal sebagai spesialis tarian khas Sumatera. Ini tak mengherankan karena dia telah mengenal banyak tarian khas Sumatera sejak kecil.

Mengajar di perguruan tinggi mungkin sudah jadi hal yang biasa. Namun yang tidak biasa adalah aktivitasnya yang segudang di luar kampus. Di luar, Efrida tidak lagi terkait dengan dunia akademik formal, bahkan membuka kursus pun juga tidak. Dia justru membimbing anak-anak usia SD dan SMP untuk belajar tarian Sumatera.

“Sejak 2004 saya melatih mereka. Dulu di depan RS PKU Muhammadiyah. Tapi sekarang latihannya di Kantor Kelurahan Timuran,” kata Efrida.

Setiap Sabtu-Minggu Efrida datang ke sana untuk melatih anak-anak dan ibu-ibu setempat. Meskipun bukan tarian Jawa, banyak orang yang tertarik untuk mempelajarinya, terutama yang belum pernah melihatnya. Layaknya para penari lainnya, Efrida juga mendirikan sanggar sendiri yang bernama Padmosusastran. Bedanya, sanggar ini sama sekali tidak punya tujuan mencari uang atau kepentingan komersial lainnya. Sanggar itu pun tidak terletak di rumah atau gedung tertentu, melainkan pendopo Kelurahan Timuran yang kosong di akhir pekan.

Munculnya sanggar ini sebenarnya bermula dari tesisnya yang dipusatkan di kelurahan tersebut saat Efrida menempuh pendidikan pascasarjananya. Di sana Efrida bukan hanya numpang tempat untuk meneliti, melainkan juga melatih dan mendidik anak-anak setempat. Dalam perkembangannya, pihak kelurahan setempat memberikan fasilitas berupa tempat yang digunakan hingga kini.

“Dulu untuk kostum kami harus menyewa. Nah, pelan-pelan kalau ada permintaan untuk tampil uangnya kami kumpulkan untuk beli. Sekarang sudah tidak perlu beli lagi,” kenangnya.

Terhadap peserta didiknya, Efrida memang tidak memungut uang apa-apa kecuali di masa lalu untuk sewa kostum. Selebihnya dia sendiri mengajar tari secara cuma-cuma di sanggarnya. Bahkan dulu dia pernah dipercaya untuk melatih anak-anak pedagang Pasar Nusukan yang ingin belajar menari.

“Waktu itu anak-anak di sana tidak ada yang mengurus saat orangtua mereka di pasar. Akhirnya saya diminta Mbah Prapto (tokoh setempat) untuk melatih anak-anak itu.”

Di sana, Efrida memanfaatkan lantai dua pasar yang lumayan sepi sebagai sanggar. Sayangnya setelah sempat jalan beberapa lama, Efrida harus meninggalkan Solo dan kegiatan ini dilanjutkan oleh para mahasiswa Tari ISI Solo. “Saat saya kembali, ternyata kegiatan itu sudah tidak jalan lagi.”

Begitulah Efrida menggunakan seni tari bukan sebagai bagian dari industri entertainment, melainkan proyek sosial. “Saya tidak pernah memungut biaya, karena orang bisa senang dengan budaya saya saja rasanya saya sudah senang.”

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya