SOLOPOS.COM - Lontong

Salah satu jalanan di Lasem (Yusmei Sawitri/JIBI/SOLOPOS)

Nama Lasem identik dengan kerajinan batiknya. Tapi siapa sangka, kota kecil di Rembang yang dilintasi Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels itu menyimpan pesona sejarah dan budaya lintas masa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketika mendapat ajakan seorang teman dari Aceh untuk mengunjungi Lasem, saya langsung mengiyakan. Sebenarnya sudah lama saya penasaran menggali misteri di kota berjuluk Tiongkok Kecil tersebut. Siapa sangka, apa yang saya dapat di Lasem sangat melebihi ekspektasi. Perjalanan menapaki setiap sudut Lasem bagaikan ekspedisi melintasi lorong waktu. Kota ini ternyata menyimpan sejarah sangat panjang dan budaya yang nyaris tak habis untuk digali.

Saya tidak sendirian menjelajahi Lasem pada pertengahan Maret lalu. Ada delapan teman dari berbagai daerah seperti Banda Aceh, Bintan, Garut, Semarang, Bandung, Tuban dan Magelang. Dipandu Mas Pop dari Rembang Heritage Society, kami dibuat takjub oleh harta karun Lasem. Bangunan-bangunan tua berdiri kokoh memancarkan misteri, keramahan penduduk menjadi bumbu pemanis dan kuliner enak menjelma sebagai pelengkap suka cita.

Jalan utama Lasem dipenuhi oleh rumah-rumah kuno bergaya Belanda yang sebagian telah beralih fungsi. Namun, ketika menapaki jalan-jalan kecil ke perkampungan,  Anda akan disambut rumah-rumah bertembok tinggi dengan cat-cat kusam dimakan zaman. Itulah kawasan Pecinan Lasem yang membuat kota kecamatan di Pesisir Utara Jawa itu dikenal dengan sebutan Tiongkok Kecil. Salah satu kampong Pecinan yang menyimpan bangunan-bangunan tua anggun adalah di Desa Karangturi. Di balik tembok-tembok tersebut berdiri rumah-rumah milik warga keturunan Tionghoa.

Sebagian besar warga keturunan Tionghoa tersebut merupakan perajin batik Lasem yang legendaris.
Atraksi utama Lasem lainnya adalah Kelenteng Cu An Kiong. Konon, ini adalah kelenteng tertua di Jawa yang dibangun pada 1447. Kelenteng ini kemudian direnovasi pada 1838 dan gapuranya dibangun pada 1910. Cu An Kiong adalah salah satu kelenteng terindah yang pernah saya kunjungi. Kelenteng ini dibangun dengan cita rasa seni tinggi, dilengkapi ornamen berukiran rumit dan lantai dengan keramik indah.

Candu

Lasem juga menyimpan cerita tentang opium atau candu, di mana jejaknya bisa ditemukan di Omah Lawang Amba, milik Kapten Liem. Dulu Lasem merupakan salah satu pusat penyelundupan candu di Jawa. Di Omah Lawang tersebut pengunjung akan menjumpai lubang yang berujung di Sungai Lasem. Lewat lubang itulah candu disebarkan ke berbagai sudut Jawa.

Jangan lewatkan pula kunjungan ke pengrajin tradisional batik Lasem yang telah bertahan dari generasi ke generasi, salah satunya milik Bu Sutra di Karangturi. Para pengrajin di Lasem bertahan tetap menggeluti batik tulis meski harus bersaing dengan batik-batik cap dari berbagai daerah. Warna merah khas batik Lasem tak ada duanya di negeri ini.  Namun, Lasem bukan melulu tentang bangunan tua dan batik. Kota ini juga menyimpan sejarah panjang.

Berdasarkan penelitian Balai arkeologi Yogyakarta, Lasem mempunyai 541 situs bersejarah. Peninggalan pusaka arkeologi di Lasem berasal dari zaman prasejarah, klasik (Hindu dan Budha), Islam, kolonial dan kemerdekaan. Penemuan kerangka manusia purba di Desa Leran dan Plawangan membuktikan peradaban Lasem telah berumur sangat tua.

Cerita lain yang saya dapat dari Lasem adalah tentang akulturasi budaya Belanda, China dan Jawa. Saya juga belajar banyak tentang harmonisasi masyarakat Tionghoa dan Jawa di sana. Mereka bisa hidup rukun berdampingan tanpa riak berarti sejak berabad-abad lalu. Salah satu bukti nyata harmonisasi di sana adalah keberadaan patung Panji Margono, seorang tokoh dan pahlawan Lasem berdarah Jawa, di Kelenteng Gie Yong Bio, Lasem.  Penghormatan ini jelas sangat luar biasa. Orang Tionghoa biasanya hanya memberi posisi istimewa kepada dewa atau leluhur mereka. Tapi Panji Margono berhasil mendobrak garis batas dan dianggap menjadi bagian tak terpisahkan dari komunitas Tionghoa di Lasem.

Setelah lelah mengeksplor Lasem, tak ada salahnya Anda mencicipi salah satu kuliner andalannya, Lontong Tuyuhan. Sepintas makanan ini mirip dengan opor ayam, namun kuahnya lebih encer dan segar. Menikmati kuliner ini akan terasa lebih afdol jika Anda berkunjung langsung ke sentranya di Desa Tuyuhan, yang terletak sekitar 5 km dari pusat kota Lasem.

Lontong Tuyuhan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya