SOLOPOS.COM - Chandra Malik. (FOTO/Istimewa)

Chandra Malik. (FOTO/Istimewa)

Setiap manusia mengawali karier sebagai manusia dalam keadaan dan kedudukan yang sama dan sederajat. Sama-sama dalam keadaan tidak memiliki pengetahuan, tidak pula mempunyai pengalaman. Sama-sama dalam kedudukan sebagai anak. Setiap orangtua pada mulanya adalah anak, namun tidak setiap anak pada akhirnya adalah orangtua.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Oleh karena itulah, dalam rumus amal jariah, yang disebut oleh Muhammad SAW bukanlah orangtua yang saleh melainkan anak yang saleh. Disebut saleh, jika seorang anak mengingat dan menyadari dari mana ia berasal, yaitu dari sepasang manusia paling berjasa dalam hidupnya: ibu dan ayah. Disebut saleh, jika seorang anak berterima kasih dan mendoakan keduanya.
Seorang anak dilahirkan ibunya dalam keadaan tidak bisa apa-apa, kemudian Allah memberikan pendengaran, penglihatan, akal dan hati. Orangtua pula yang memberi modal awal berupa kasih sayang, pengasuhan, pendidikan dan pengajaran, serta keyakinan. Sesuai fitrah pertumbuhan dan perkembangannya, anak belajar dari keluarga, lingkungan, sekolah, dan pergaulan yang lebih luas. Dari pengetahuan, ia kemudian mulai menabung pengalaman hingga akhirnya mencapai kedewasaan dan cukup mumpuni untuk mengambil keputusan berdasarkan akal sehat dan hati nurani.

Pertanyaan mendasar setiap manusia mulai muncul di benak setiap anak ketika ia beranjak menyentuh pubertas. Ia mulai bertanya tentang siapa sesungguhnya dirinya, untuk apa ia hidup di dunia, dari mana ia sejatinya berasal, dan ke mana ia akan berpulang. Yang juga fundamental adalah pertanyaan tentang mengapa anak mengikuti agama dan keyakinan orangtua. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Orangtualah yang pada awalnya menjadikan seorang anak itu beragama Islam, Nasrani, Majusi atau Yahudi.”

Pada usia yang sekarang, sampai hari ini, masihkah kau beragama sesuai agama keturunan? Masihkah kau bertuhan sesuai dogma orangtua, doktrin guru atau pengaruh lingkungan? Mengapa kau tidak memulai sendiri perjalanan menemukan kesejatian hidup, mulai sekarang juga?
Menemukan jati diri adalah babak terpenting dari riwayat panjang langkah hidup setiap anak manusia. Yang selayaknya paling awal disadari adalah hidup ini sebuah anugerah yang tiada tara. Manusia ada bukan karena adanya sendiri. Manusia ada bukan karena usahanya sendiri, bukan atas prestasinya. Kau dan aku ada karena Allah. Kau dan aku ada tanpa modal yang kita himpun sendiri sehingga sesungguhnya tidak tahu diri jika kita berhitung rugi-laba.

Begitu dilahirkan, kita langsung balik modal. Dari yang hanya datang dalam keadaan telanjang, kita kemudian menerima pelukan, kasih sayang, azan dari ayah, air susu ibu, pakaian dan kehangatan keluarga. Sehingga, seiring waktu, yang kita peroleh adalah untung, untung, untung, dan untung, yang terus-menerus tanpa henti.

Shiratha ‘l-mustaqim,” jalan yang lurus, yang manusia mohon kepada Allah, sebagaimana tersurat dalam QS Al Fatihah: 6, dipaparkan dalam ayat lanjutannya sebagai shiratha ‘l-ladziina ‘an ‘amta ‘alaihim, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat. Pendek kata, jalan yang lurus adalah jalan yang nikmat. Siapa pun yang pandai bersyukur, ia berada di jalan yang lurus itu. Siapa yang pandai bersyukur, Allah menganugerahkan baginya tambahan kenikmatan. Siapa yang kufur, yang menyangkal kenikmatan dari Allah, yang lebih suka mengeluh dan menggerutu, ia berada di jalan yang bengkok, yang tidak lurus.

Kenikmatan mencapai kedudukannya sebagai kebahagiaan jika kenikmatan itu dibagikan kepada sesama, dari lingkungan yang terdekat. Maka, menghitung karunia dari Allah, apalagi mempertanyakan dan mendustakannya adalah cara paling buruk untuk menikmati hidup. Mencari untung belaka, meski dengan cara merugikan sesama, adalah hidup yang merugi. Menolak untuk memuliakan sesama manusia dan memuliakan kehidupan hanya demi menghindari kerugian, adalah iktikad hina untuk menolak kedudukannya sendiri sebagai manusia yang dengan karunia akal telah dimuliakan oleh Allah di antara makhluk-makhluk lainnya. Akal selayaknya digunakan untuk memuliakan sesama, bukan justru untuk menghina liyan.
Belajar ilmu apa pun, pada dasarnya dimulai dari mengenal diri sendiri dan pada puncaknya diakhiri dengan menjadi diri sendiri. Sepanjang hayat pembelajaran itu, setiap manusia harus senantiasa berjumpa dengan diri sendiri. Terus-menerus berdialektika dengan harmoni dan dinamika dirinya sendiri. Seseorang justru tumbuh ke arah kesia-siaan jika kehilangan jati dirinya, apalagi hanya gara-gara ingin menjadi orang lain. Untuk menjadi seperti orang lain, kau perlu menempuh waktu sepanjang hayat orang itu. Padahal, kau telah menjadi dirimu sendiri seumur hidupmu hingga kini. Berubah menjadi orang lain adalah hidup yang gagal.

Kegagalan demi kegagalan akan dialami seorang manusia jika ia mengambil jarak dan semakin jauh dari kemanusiaannya sendiri. Semakin tidak manusiawi seseorang, semakin ia tidak layak diklasifikasikan sebagai manusia. Allah menciptakan manusia dalam keadaan dan kedudukan paling baik, sebagaimana dipaparkan dalam QS At-Tiin. Namun oleh karena polah tingkahnya sendiri, manusia diturunkan derajatnya menjadi hina. Memimpin diri sendiri saja gagal, apalagi berperan sebagai khalifah fil ‘ardhi, pemimpin bumi. Lihatlah ke dalam dirimu, apakah kau masih pantas disebut manusia. Apakah kau manusia yang dengan akal dan hati telah memuliakan sesama?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya