SOLOPOS.COM - Ratmurti Mardika/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Pada Oktober 2014, saya mengunjungi satu keluarga yang tinggal di tanggul Bengawan Solo. Keluarga sederhana itu menerima saya dengan baik. Saya memperkenalkan diri sebagai seorang jurnalis yang ingin membuat laporan tentang anggota keluarga itu, seorang pemuda yang dikabarkan meninggal di Timur Tengah.

Kala itu saya sedang bekerja untuk salah satu stasiun televisi di negeri jiran yang sedang membuat laporan tentang hal itu dan membuat saya tak bisa melupakan keluarga tersebut. Saya masih ingat suasana ruang tamu itu mendadak menjadi suram dan kikuk sesaat sebelum akhirnya sang ayah menyampaikan keberatan untuk diwawancarai lagi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dia berkata banyak jurnalis yang datang ke rumah itu dan mengubah segala kehidupan keluarga itu yang awalnya normal-normal saja. Seorang kombatan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) tertembak mati di Suriah.

Kombatan itu berasal dari rumah tersebut, seorang pemuda yang dikenal sebagai biasa-biasa saja. Satu hal yang tidak bisa saya lupakan adalah pada pertemuan kedua saya menyaksikan sang ibu histeris dan tertekan dengan kehadiran saya.

Saya diusir dari rumah itu, namun saya sangat memahami kesedihan yang bercampur dengan banyak hal menaungi keluarga itu dan akhirnya mereka menolak kehadiran saya. Di benak saya ada perasaan bersalah yang bercampur aduk dengan perasaan takut, iba, dan sesuatu yang susah saya jelaskan.

Saya kemudian melapor kepada atasan saya di televisi asing itu bahwa keluarga tersebut menolak untuk diwawancarai dan sebaiknya kami menghormati keinginan itu. Pekerjaan itu juga membuat saya berhubungan dengan banyak orang yang berada di dekat kombatan yang tertembak mati tersebut.

Laporan yang kami buat itu pun meluas, tak hanya isu ISIS tapi pada isu terorisme yang masuk lewat jalur khusus keagamaan ketika kemudian diketahui anak seorang petinggi organisasi keagamaan juga mati tertembak tank.

Pemuda ini bukan kombatan ISIS. Ia adalah anggota Front Al-Nusra atau Jabhat al-Nusra, kelompok milisi dan cabang Al-Qaeda yang sedang bertempur di Suriah melawan tentara Presiden Bashar al-Assad.

Kini, pada awal 2020, isu ISIS berkembang lagi saat salah satu kantor berita menayangkan wawancara dengan seorang pemudi asal Indonesia yang tak ingin lagi berada di kamp penampungan perempuan dan anak yang dikelola otoritas Kurdi dan Turki serta ingin melanjutkan cita-cita menjadi dokter.

Anak-Anak

Dia dan keluarganya ingin kembali ke negara Indonesia setelah "negara" itu kalah dan bubar. Pemberitaan, perbincangan, dan perdebatan tentang ”eks warga negara Indonesia (WNI)”--sebutan ini diberikan kepada WNI yang menjadi kombatan atau pendukung ISIS--yang ingin kembali ke Nusantara menjadi hangat, cenderung memanas, terutama tentang bagaimana negara harus mengambil sikap: memulangkan atau tidak para kombatan dan pendukung ISIS.

Presiden Joko Widodo menyampaikan dalam pandangan pribadinya ia memilih tidak memulangkan mereka. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Moh. Mahfud Md., berkata pemerintah tidak punya  rencana memulangkan teroris, bahkan tidak akan memulangkan foreign terrorist fighter (FTF) ke Indonesia.

Saat esai ini saya tulis, pemerintah Indonesia sedang mendata anak-anak yang berada di kamp pengungsian itu. Di sisi berseberangan, ada politikus dan aktivis hak asasi manusia yang memperjuangkan kepulangan mereka. Perang argumentasi tak terelakkan.

Saya memiliki pemikiran yang bercabang pula, cenderung menjadi paradoks. Sebagai sesama manusia, saya merasakan kondisi seseorang yang kalah dan ingin kembali pulang. Sedang di sisi lain, saya juga takut dengan latar belakang kekerasan dan ideologi yang mungkin masih mereka bawa.

Perasaan inilah yang membuat ingatan terhadap keluarga di pinggir Kota Solo tadi menghantui saya dan mendorong saya menulis esai ini. Dari pengamatan saya, ada hal penting yang tidak (atau belum) muncul dari segala perdebatan yang hangat ini, yang menurut saya adalah sesuatu yang sangat krusial.

Pada saat mengerjakan laporan untuk stasiun televisi asing tersebut, saya menemui beberapa tokoh agama yang waktu itu sangat getol mempromosikan jihad di negeri Syam atau Suriah. Ada seseorang di sekitar Jakarta, pembuat dan pengelola media online, yang "bertugas" menyediakan propaganda perjuangan mendirikan negara agama dan menjatuhkan rezim di Suriah yang dicap sebagai rezim antiumat.

Ada yang sangat menganggu pikiran saya. Seorang tokoh salah satu organisasi keagamaan dulu ikut mempropagandakan ISIS dengan menyanjung sebagai gerakan umat, sempat bertandang dan melihat langsung ke Suriah, dan menerbitkan buletin propaganda di organisasi itu.

Tak lama kemudian, sekitar enam bulan berikutnya, narasumber saya ini berubah pikiran setelah ISIS menunjukkan tanda-tanda kekalahan. Argumentasinya berubah menjadi, bahwa ISIS adalah propaganda Amerika Serikat untuk menjatuhkan nama agama.

Hal itu saya temukan dalam wawancara terakhir dengan orang tersebut dan wawancara itu saya putuskan menjadi wawancara terakhir saya dengan dia dan orang-orang di organisasi itu. Saya tak habis pikir, bagaimana bisa seseorang dan organisasi yang getol menyuarakan peperangan di tanah jauh berubah wacana dengan cepat, berbalik menghardik dan menjelekkan ISIS.

Bila mereka mengakui kesalahan propaganda atau telah menjadi korban kebohongan, apakah hal itu bisa dengan mudah dimaklumi? Bagaimana dengan yang telah telanjur termakan propaganda dan berangkat berperang di sana? Bagaimana yang telanjur membakar paspor dan tak bisa pulang?

Bagaimana dengan kombatan yang mati? Saya menyetujui argumentasi tentang anak-anak dan perempuan yang sedang diwacanakan untuk dipulangkan adalah korban. Korban dari propaganda yang jahat dan tidak bertanggung jawab. Saya sangat menyayangkan perdebatan yang terjadi hanya sebatas pada korban pulang atau tidak.

Penghasut

Perdebatan tak pernah menyentuh orang-orang yang menjadi penghasut, sumber hasutan, dan media penghasutnya. Entah berapa banyak lagi WNI yang mungkin telah terhasut. Eks presiden ISIS Indonesia yang menyatakan para kombatan itu sebenarnya tidak ingin pulang dan isu kepulangan ini hanya pengalihan isu jelas menambah jauh isu dengan akar masalahnya.

Pernyataan itu dilontarkan di Jawa Barat, di Indonesia, bukan di kamp pengungsian di bawah otoritas Kurdi dan Turki. Yang lebih mengherankan lagi, dia berkata tidak ada penyebaran paham radikal ekstrem, mereka hanya warga yang ingin memperjuangkan dan ingin mati syahid karena bagi mereka ada dua pilihan: hidup mulia atau mati syahid.



Sekarang, yang jelas, yang  kita hadapi di Indonesia adalah kebencian terhadap Bashar al-Assad masih sangat kental, kebencian kelompok keagamaan lain masih sangat laris, semangat memerangi orang-orang yang berbeda pandangan masih membara.

Esai ini adalah wujud rasa empati saya terhadap para korban hasutan yang ingin pulang namun telanjur sulit dan menghadapi masalah kompleks. Saya berharap mereka bisa pulang suatu saat nanti. Sementara ini saya berasumsi bahwa harus ada wakil dari kita, terutama penjuang hak asasi manusia, yang mendampingi mereka di sana sekaligus menyelidiki siapa saja orang-orang, organisasi-organisasi, media, yang telah meretas pemikiran mereka.

Selain untuk dilaporkan kepada penegak hukum Indonesia, temuan dan laporan itu harus dibuka kepada publik. Tujuannya agar bangsa ini tahu siapa saja yang telah menyebabkan masalah ini terjadi dan bisa mewaspadai.

Dengan begitu, setidaknya akan ada mekanisme pribadi setiap anak bangsa untuk mewaspadai dan menggalang wacana "vaksin" untuk menghadapi ideologi kebencian dan kekerasan. Proses deradikalisasi oleh pemerintah Indonesia saya rasa belum optimal.

Bagaimana deradikalisasi akan manjur bila orang-orang seperti mantan presiden ISIS tadi tidak menyadari bahwa mereka berpikiran radikal ekstrem dan sialnya dia masih punya pengaruh yang besar. Kita harus berjuang sendiri, tidak menggantungkan harapan kepada otoritas yang sebenarnya bisa kita andalkan namun cenderung melempem untuk memulangkan rasa kemanusiaan yang terkikis oleh ideologi kebencian dan kekerasan.

Sekali lagi, dalam kasus ini, rasa kemanusiaan kita harus 100% fokus kepada korban. Manusia bisa salah mengambil keputusan yang berakibat fatal, namun manusia juga bisa mengambil keputusan yang salah karena pengaruh yang mungkin tak mereka sadari.

Nalar kita harus 100% waspada karena peretas pemikiran dan penghasut masih berkeliaran. Kuncinya ada pada merasakan kembali kemanusiaan. Dengan itu mungkin kita akan terbantu dalam menghalau kebencian dan kekerasan serta kita berada di jalan yang benar untuk mewujudkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya