SOLOPOS.COM - Warga berburu barang gratis di Ruang Solidaritas Joli Jolan, Jl. Siwalan No.1 Kerten Laweyan, Rabu (23/12/2020). (Solopos-Chrisna Chanis Cara)

Solopos.com, SOLO -- Hampir setahun terakhir Rizki Kurnia, 26, punya kebiasaan baru di rumah. Setiap dua bulan sekali, warga Nusukan, Banjarsari, Solo, ini selalu mengecek koleksi pakaian di lemarinya.

Dia memilah sandang yang telah jarang dipakai untuk dijual atau disumbangkan pada yang membutuhkan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

"Prinsip saya kalau mau membeli satu pakaian baru, saya harus mengeluarkan satu pakaian dulu dari lemari," ujar karyawan di sebuah gerai ponsel ini saat berbincang dengan Solopos.com, beberapa waktu lalu.

"Suhu" gaya hidup minimalis seperti Marie Kondo dan Fumio Sasaki menjadi mentor Rizki dalam beberes rumah. Dia merasa gaya hidup sederhana cocok untuknya yang hanya tinggal di rumah bertipe 36.

"Banyak barang malah bikin sumpek," tutur ibu dua anak itu.

Namun, upayanya menjadi seorang minimalis kadang terbentur cara untuk "membuang" barang. Tak jarang barang preloved-nya sulit laku dijual via daring.

"Mau disumbangkan ke panti asuhan, mereka rata-rata sudah tidak membutuhkan pakaian bekas," ujar Rizki.

Belum lama ini, dia diberitahu kawannya agar menyumbangkan barang tak terpakai ke Ruang Solidaritas Joli Jolan. Rizki antusias saat mengetahui komunitas yang berlokasi di Jl. Siwalan No.1 Kerten, Laweyan, Solo, itu rutin menerima barang donasi setiap Rabu dan Sabtu.

Belajar Mengelola Barang

Di Joli Jolan, "sampah" fashion dan barang donasi lain yang masih layak akan didistribusikan kembali ke warga yang membutuhkan.

"Konsepnya sederhana tapi membantu banget buat yang mau belajar mengelola barang seperlunya. Saya kemarin menyumbangkan beberapa pakaian dan sepatu," tutur Rizki.

Tak hanya memfasilitasi donasi barang, Joli Jolan membuka kesempatan bagi semua kalangan untuk barter atau mengambil barang secara gratis.

Warga dipersilakan mengambil tiga barang yang dibutuhkan setiap dua pekan sekali tanpa syarat berbelit. Hanya bermodal kartu identitas, warga dapat mengakses kebutuhannya alih-alih mengeluarkan dana untuk membeli barang baru di pusat perbelanjaan.

Selain pakaian, Joli Jolan menyediakan aneka tas, sepatu, buku bacaan, mainan, hingga perlengkapan rumah tangga. Setiap akhir pekan Joli Jolan juga membagikan makanan gratis.

Seorang buruh setrika asal Kerten, Solo, Ika Fitria Diah, 45, mengaku terbantu dengan aktivitas Joli Jolan. Sejak pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia Maret lalu, penghasilannya menyetrika baju dari rumah ke rumah menurun drastis.

"Jangankan beli baju, buat makan sehari-hari saja sulit," ujar single mother dengan dua anak itu.

Ika biasa mengambil pakaian dan buku bacaan saat singgah di Joli Jolan.

"Pakaian di sini bagus-bagus meski enggak baru. Kalau buku untuk hiburan saat di kos," kata dia.

Seorang buruh pijat asal Jajar, Solo, Sarjiyem, 53, turut merasakan dampak gerakan Joli Jolan.

"Pandemi seperti ini ya sepi. Yang biasa kerokan pijat pada takut corona. Kalau enggak ada ini [Joli Jolan], saya enggak kepikiran beli pakaian," tutur Sarjiyem yang saat itu mengambil sebuah baju batik dan gamis.

"Uangnya bisa disimpan, buat beli makan," ujar Sarjiyem yang mengaku kini hanya berpenghasilan Rp50.000 setiap hari.

Ekonomi Sirkular

Konsep ekonomi sirkular menjadi salah satu pijakan Joli Jolan yang baru genap berusia setahun 21 Desember 2020 lalu. Upaya memperpanjang umur barang dan menekan konsumerisme menjadi langkah komunitas untuk mendorong transisi menuju gaya hidup berkelanjutan.

Yang menarik, Joli Jolan tak hanya memanfaatkan barang donasi layak pakai. Limbah fashion yang kurang pantas dikenakan tidak dibuang ke tempat sampah, melainkan disalurkan ke pabrik pembuatan bantal.

"Pakaian-pakaian yang sudah mbladhus, rusak atau berbau kami jual ke pabrik. Uangnya untuk mendukung operasional komunitas,” ujar Septina Setyaningrum, salah satu inisiator Joli Jolan.

Meski demikian, Septina sama sekali tak menyarankan warga menyumbangkan barang yang asal-asalan. Dia berharap barang yang diberikan bisa memantik kebahagiaan pemilik barunya.



"Kami bukan gudang pembuangan sampah," tutur perempuan yang sehari-hari berprofesi peneliti transportasi itu.

Chris McCandless, petualang Amerika Serikat yang kisahnya pernah difilmkan di Into The Wild, pernah berkata: "Kebahagiaan menjadi nyata hanya ketika dirasakan bersama orang lain."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya