SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Semarangpos.com, MUNGKID — Seniman dan petani dari Komunitas Lima Gunung, Selasa (5/2/2019), meresmikan Museum Lima Gunung di Studio Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.Museum itu menyimpan berbagai koleksi perjalanan mereka mengelola aktivitas berkesenian, menghidupi tradisi, dan berkebudayaan desa selama sedikitnya 17 tahun terakhir.

Peresmian Museum Lima Gunung itu dilakukan di studio terbuka yang dikelola budayawan Magelang Sutanto Mendut. Waktu peresmian yang dipilih bertepatan dengan saat subuh itu dihadiri sejumlah kalangan, terutama seniman, budayawan, pemerhati sosial, penulis, akademisi dari Magelang dan luar daerah itu.

Promosi Wealth Management BRI Prioritas Raih Penghargaan Asia Trailblazer Awards 2024

Berbagai koleksi di museum itu, antara lain patung, topeng, wayang, lukisan, sejumlah kostum tarian, gamelan, alat musik, buku, foto, kliping pemberitaan berbagai media massa tentang aktivitas seni, tradisi, dan sosial budaya Komunitas Lima Gunung selama ini. “Ini museum hidup yang akan terus dihidupi oleh komunitas. Museum ini menyimpan nilai hidup Lima Gunung. Kehidupan kami tidak sekadar seni,” papar Sutanto Mendut yang juga pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang. 

Peresmian museum juga bertepatan dengan HUT Ke-65 Sutanto Mendut dan perayaan Tahun Baru 2570 Imlek. Komunitas Lima Gunung selain berbasis para seniman petani di kawasan lima gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang, juga didukung warga lain dengan berbagai latar belakang kehidupan, baik yang tinggal di Magelang maupun luar daerah itu.

Pada kesempatan tersebut, beberapa tokoh Komunitas Lima Gunung secara bergantian menyampaikan testimoni terkait dengan museum tersebut dan perjalanan komunitasnya selama ini. Mereka, antara lain Supadi Haryanto, Riyadi, Sitras Anjilin, Sujono Keron, Ismanto, Sarwo Edi, Sih Agung Prasetyo, dan Sujono Bandongan. Pidato lainnya disampaikan para tokoh dan tamu, antara lain Haryadi S.N., Toto Rahardjo, K.H. Ahmad Labib Asrori, Annisa Hertami, Bante Jodhi, dan Muhammad Burhanuddin

Pimpinan Padepokan Lemah Putih Kabupaten Karanganyar Suprapto Suryodarmo bersama sejumlah orang melakukan performa gerak pada peresmian museum. Peresmian juga ditandai antara lain dengan pembukaan kain selubung papan nama, pembubuhan tanda tangan para tokoh dan tamu undangan, penyerahan sejumlah karya lukisan seniman Komunitas Lima Gunung, serta peninjauan museum di lantai bawah panggung terbuka Studio Mendut, sekitar 100 meter timur Candi Mendut itu.

Seniman musik dari Malang, Wukir, menyuguhkan karya musiknya mengiringi persemian museum, sedangkan pengurus Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kota Magelang Susilo Anggoro menembangkan lagu Jawa langgam pocung, dan seniman Sanggar Dua Atap Magelang Dharma Wijaya menyuguhkan kidung atau suluk Jago Keluruk.

Sutanto mengemukakan museum itu bukan hanya mengoleksi hal yang bersifat material, barang mahal, atau berusia tua akan tetapi juga menyimpan tentang cara berpikir dan nilai kehidupan komunitas itu. “Memori acara jam empat subuh (peresmian Museum Lima Gunung, red.), kelak juga museum tentang memorable [patut menjadi kenangan]. Semoga ini memberi inspirasi dan memperkaya makna hidup,” ujar dia.

Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto mengatakan bahwa Museum Lima Gunung juga menjadi tempat berkumpulnya berbagai nilai atas pengalaman komunitas dalam menjalani gerakan bersenian, menjaga dan mengkreasi tradisi budaya, serta aktivitas sosial kemasyarakatan lainnya selama ini. “Kami wujudkan menjadi museum. Di Lima Gunung ini tempat berkumpul berbagai kalangan dari mana pun dan apa saja, menyalurkan energi budaya dan inspirasi,” ujar dia.

Pemerihati budaya Haryadi S.N. mengemukakan Museum Lima Gunung merekam berbagai aktivitas yang dijalani komunitasnya. “Museum ini menggambarkan kesadaran mental dan sejarah komunitasnya. Semoga museum ini merekatkan kerinduan masyarakat Nusantara untuk memeriahkan kerayaan Indonesia yang dahsyat ini,” katanya.

Pemerhati budaya lainnya, Toto Rahardjo, mengemukakan kalau suatu museum harus dibangun berpatokan pada kriteria tertentu, dikhawatirkan hal itu tidak akan melahirkan museum kerakyatan yang independen. “Museum ini diharapkan tetap teguh, tanpa kriteria tertentu. Kalau harus terpaku kriteria maka tidak akan ada museum kebudayaan rakyat,” ucapnya. 

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya