SOLOPOS.COM - Mohamad Ali, Direktur Perguruan Muhammadiyah Kottabarat Solo

Mohamad Ali, Direktur Perguruan Muhammadiyah Kottabarat Solo

Melihat begitu seriusnya tantangan yang dihadapi oleh agama-agama, mungkin sudah pada tempatnya para penganut agama mendengarkan kembali suara-suara kritis yang dilontarkan kritikus agama seperti Karl Marx, Friedrich Nietszche, ataupun Sigmund Freud. Kritik-kritik mereka benar-benar merobek dan menggugah kesadaran kaum agamawan akan urgensi agama sebagai agen transformasi sosial dan pembebas manusia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dentuman kritik mereka terus bergema dan kemudian disahut oleh sejumlah pemuka agama baik dari kalangan Katolik, Kristen, ataupun Islam. Hendrik Kraemer, Malachi Martin, dan Syed Vahiduddin, untuk menyebut beberapa nama, memperingatkan bahwa semua agama sudah memasuki periode krisis yang terus berlangsung dan bersifat mendasar. Krisis itu terjadi karena agama, lebih tepatnya kaum beragama, tidak mampu lagi merumuskan jawaban atas persoalan-persoalan etis yang dihadapi umat manusia.

Selintas tesis tersebut mungkin terlihat mengada-ada. Apalagi kalau melihat tingginya gairah keagamaan masyarakat Indonesia belakangan ini. Secara kasat mata situasi kehidupan beragama di Indonesia memang berlangsung semarak dan bergairah. Namun demikian harus segera dicatat bahwa kesemarakan dan gairah keagamaan itu muncul pada aspek-aspek ritual, ubudiyah, atau peribadatan. Di kalangan umat Islam misalnya, fenomena itu demikian menonjol. Masjid penuh sesak dikunjungi umat yang akan menjalankan salat berjamaah. Terlebih di Ramadan ini, jamaah salat terlihat meluber hingga ke pelataran masjid. Antrean orang akan naik haji juga berjubel, konon harus menunggu enam atau tujuh tahun ke depan. Kegairahan serupa dengan intensitas yang beragam juga terlihat nyata pada kehidupan keagamaan penganut agama lain, seperti Hindu, Budha, ataupun lainnya.

Ekspedisi Mudik 2024

Krisis kemanusiaan

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah kesemarakan ibadah ritual keagamaan tersebut tidak dibarengi dengan tumbuhnya sikap dan tindakan bermoral. Padahal moralitas atau akhlak merupakan orientasi dan petunjuk arah bagi seseorang dalam mengarungi kehidupan sosial. Ini artinya agama baru sebatas ritualitas, belum menjadi etos sosial ataupun spiritualitas kehidupan. Dalam situasi demikian, agama terancam mengalami kemandulan karena tidak mampu bertindak sebagai suluh atau petunjuk (hudan) untuk menerangi kegelapan kehidupan manusia di muka Bumi ini.

Tatkala manusia tak lagi menghiraukan nilai-nilai agama, roda kehidupan berputar kembali ke zaman jahiliyah, masa kegelapan dan kebodohan. Sejarawan kenamaan, AJ Toynbee, sebagaimana dipertajam Djohan Effendi (2008:xi), memperingatkan dengan keras bahwa tanpa panduan nilai-nilai agama, kejahatan yang paling mengerikan seperti keserakahan, peperangan, dan ketidakadilan akan menjadi arus utama dalam kehidupan masyarakat. Ketiga bentuk kejahatan yang paling mengerikan itu justru menemukan Bumi berpijak dan tumbuh subur di Tanah Air. Sebuah bangsa yang memiliki dasar negara Pancasila, di mana sila pertama berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sifat serakah dan pamer kekayaan menjadi kecenderungan yang begitu mengemuka, dan itu dipertontonkan oleh sebagian besar elite kita sendiri. Begitu menjadi wakil rakyat (eksekutif, yudikatif, ataupun legislatif) yang dilakukan bukannya bekerja mensejahterakan rakyatnya, tetapi malah sibuk berburu dan berebut fasilitas negara berupa macam-macam tunjangan plus mobil mewah. Upaya mengeruk dan menguras kekayaan negara yang nyaris bangkrut ini juga dilakukan melalui praktik korupsi dan kolusi yang demikian masif.

Peperangan dalam makna konflik horizontal, pertikaian antarsuku dan etnis, yang terjadi antara rakyat dengan rakyat, maupun konflik vertikal berupa kekerasan negara terhadap rakyatnya, masih terus berlangsung. Tidak sedikit peperangan dan konflik-konflik itu terutama dipicu oleh pertikaian dan perebutan sumber-sumber kekuasaan dan sumber ekonomi di kalangan elite yang kemudian meletus (diletuskan) di lapisan bawah. Dengan kata lain, munculnya peperangan dan pertikaian sebagian besar juga merupakan akibat dari upaya menuruti nafsu keserakahan yang membabi buta, dan kemudian menjadikan rakyat kecil sebagai amunisi sekaligus tumbalnya.

Bentuk kejahatan ketiga yang berupa ketidakadilan, secara kasat mata bisa ditemukan dalam seluruh dimensi kehidupan. Namun yang kelihatan paling mencolok berada di bidang hukum dan ekonomi. Penegakan hukum hanya efektif untuk menjerat kejahatan yang dilakukan rakyat kecil, sementara penanganan terhadap kejahatan kelas kakap terlihat bertele-tele dan sering kali berujung pada pembiaran/putusan bebas. Ketidakadilan ekonomi ditunjukkan dengan penguasaan kekayaan negara yang hanya berputar pada segelintir elite, sementara sebagian besar rakyat hidup melarat dan menderita tanpa akses kesehatan dan pendidikan memadai.

Ketika problem-problem eksistensial kehidupan dan bentuk-bentuk kejahatan yang paling mengerikan berupa keserakahan, peperangan, dan ketidakadilan ini tidak tertangani secara memadai, maka kehidupan umat manusia di atas Bumi ini terancam mengalami kehancuran. Krisis kemanusiaan inilah yang benar-benar menyita perhatian dan menuntut jawaban tuntas dari kaum agamawan. Kaum agamawan harus mampu memberi jawaban nyata atas problem kemanusiaan ini apabila dia tidak ingin ditinggalkan oleh manusia, terutama para penganutnya sendiri.

Seandainya ada ajaran agama yang membolehkan dan memberi tempat kepada umatnya untuk berputus asa, mungkin tidak sedikit dari kita yang memilih jalan pintas itu. Bagaimana tidak, akumulasi persoalan bangsa makin hari bertambah menumpuk, beban hidup yang harus dipikul rakyat semakin berat. Sementara itu di sebelah sana, tidak ada sinyal sedikit pun dari elite pimpinan nasional untuk mengurai permasalahan-permasalahan yang menggunung itu.

Namun demikian, seberat apapun beban kehidupan, ternyata tidak ada celah sedikit pun bagi kaum beriman untuk berkeluh kesah dan berputus asa. Sebab secara intrinsik makna beriman adalah membangun harapan yang lebih cerah di masa depan. Oleh karena itulah, menurut penulis, meskipun jalan yang harus ditempuh berkelok-kelok namun masih ada secercah cahaya yang bisa dipancarkan agama. Yaitu dengan cara menempatkan agama sebagai kekuatan profetik, sebagai agen pembebasan manusia dan transformasi sosial.

Pembebas manusia

Untuk menjelaskan psikologi kenabian, seorang pemikir Islam kenamaan asal Pakistan, Muhammad Iqbal (1982:136) meminjam kesaksian seorang sufi besar dalam melihat perjalanan Nabi Muhammad SAW melakukan Israk Mikraj. Kesaksian sufi besar itu sebagai berikut: “Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku yang telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi.” Demikianlah, bagi kaum sufi ataupun ahli ibadah, tentramnya suasana hati saat “bertemu” dengan Tuhan membuatnya tidak ingin kembali lagi ke Bumi. Dan jika kembali, tidaklah membawa arti yang besar bagi kehidupan umat manusia.

Berbeda dengan kaum sufi ataupun ahli ibadah, sekembalinya seorang nabi memberi arti kreatif. Begitu kembali dia langsung melibatkan diri ke dalam kancah pusaran zaman dan bergumul dengan kekuatan-kekuatan sejarah dalam rangka menciptakan dunia baru. “Pengalaman” bertemu Tuhan menjadi energi berlimpah bagi seorang nabi untuk memajukan dan membebaskan umat manusia dari penindasan, ketidakadilan, nafsu keserakahan, dan cara pandang sempit atau egoisme.

Secara teologis, ibadah di samping mengandung makna intrinsik, sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan (taqarrub), juga mengandung makna instrumental. Secara instrumental, ibadah merupakan usaha pendidikan pribadi dan kelompok ke arah komitmen dan pengikatan batin kepada tingkah laku bermoral (Nurcholish Madjid,2000:62). Oleh karena itulah orang-orang yang beribadah tapi tidak membuahkan keinsafan sosial dan moralitas publik merupakan indikasi kepalsuan dalam beragama. Beragama, tapi hanya pura-pura.

Keberlangsungan agama di masa depan sangat bergantung pada kemampuannya dalam mengurai permasalahan-permasalahan etis kemanusiaan. Vitalitas agama termanifestasi bukan hanya dipermukaan berupa kegairahan ibadah ritual, tapi juga mewujud sebagai kekuatan moral dan sosial. Energi moral dan sosial agama inilah yang mampu menjadi pembebas sekaligus kekuatan transformatif untuk menciptakan tatanan masyarakat beradab. Untuk sampai ke arah itu, keberagamaan harus diletakkan dalam bingkai kemanusiaan/humanisme, bukan sekadar ritual.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya