SOLOPOS.COM - Rochmad Basuki/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Pemilihan kepala desa (pilkades) serentak di sejumlah daerah, termasuk di sejumlah kabupaten di Soloraya, kembali memunculkan fenomena money politics atau politik uang.

Fenomena politik uang di pilkades bisa jadi merupakan turunan dari tindak serupa di level kontestasi demokrasi level di atasnya, pemilihan bupati, pemilihan gubernur, pemilihan presiden, dan pemilihan anggota legislative.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pilkades di Indonesia ada sejak masa penjajahan, bahkan sejak masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Yang dimaksud pemilih pada waktu itu hanyalah kalangan terbatas, seperti kalangan elite desa maupun keturunan kepala desa yang sebelumnya.

Pilkades adalah suatu pemilihan secara langsung oleh warga desa dan kepala desa terpilih dilantik oleh bupati.  Dalam tataran ideal, pilkades sebenarnya membantu masyarakat desa karena merupakan wadah demokrasi, yakni sebagai ruang kebebasan untuk dipilih atau memilih pemimpin desa.

Dalam penelitian Halili (2009), modus atau pola politik uang dalam pilkades meliputi empat pola. Pertama, membeli ratusan kartu suara yang disinyalir sebagai pendukung calon kepala desa lawan dengan harga yang sangat mahal oleh panitia penyelenggara.

Kedua, menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada masyarakat untuk membagikan uang. Ketiga, serangan fajar. Keempat, penggelontoran uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu calon kepala desa, yaitu bandar/pemain judi.

Faktor-faktor yang memengaruhi politik uang di antaranya faktor kemiskinan. Money politics menjadi ajang masyarakat mendapatkan uang. Mereka yang menerima uang terkadang tidak memikirkan konsekuensi, yakni termasuk tindakan menerima suap dan jual beli suara yang melanggar hukum.

Yang terpenting mereka mendapat uang dan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik juga penyebab politik uang. Tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan politik.

Itu semua bisa disebabkan karena tidak ada pembelajaran tentang politik di sekolah-sekolah atau masyarakat sendiri yang kurang peduli terhadap politik. Ketika ada hajatan politik, seperti pemilihan umum, masyarakat bersikap mengabaikan esensi dan lebih mengejar kepentingan pribadi sesaat.

Faktor budaya mendukung politik uang. Bahwa politik uang adalah hal biasa dalam kontestasi pemilihan di tingkat pusat maupun desa. Pepatah jer basuki mawa beya dipahami keliru dengan memaknai wajar orang yang ingin berkuasa mengeluarkan banyak uang dan harta.

Kasus politik uang belum mendapat perhatian lebih dalam perundang-undangan kita. Tidak kita temui pengaturan urusan ini UU No. 6/2014 tentang Desa, padahal jika kita kembali membuka sejarah, UU Desa menjadi dasar transformasi desa yang lebih mandiri.

Butuh Waktu

Dalam UU Desa tidak ada aturan jelas mengenai mekanisme penanganan tindak pidana politik uang. Sangat berbeda dengan UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU tentang Pemilihan Kepala Daerah yang secara detail mengatur penanganan tindak pidana politik uang.

Seharusnya UU Desa menyediakan dasar mengatasi dan menuntaskan masalah tersebut. Nyatanya hal itu tidak terjadi dan politik uang terus menjamur bagai hantu yang tidak bisa disentuh namun selalu menampakkan bentuk.

Politik uang juga sudah diatur dalam Pasal 149 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sanksinya sembilan bulan penjara atau denda Rp500 juta. Jika menggunakan regulasi tentang suap, ancaman hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp15 juta.

Ini tentu tak cukup untuk menyelesaikan ”permainan” yang sudah menjamur di tengah masyarakat. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 12/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan Kementerian Dalam negeri dan Pemerintah Daerah masih punya kelemahan utama dalam sistem pengawasan. Tentu hal ini harus menjadi perhatian khusus, terutama DPR, untuk meninjau UU Desa.  Faktanya, selama ini, setiap menjelang pemilihan umum, semua peserta membuat kesepakatan menolak money politics yang disaksikan semua aparat penyelenggara, pengawas, dan pengama, tapi selalu ada yang diam-diam mengkhianati kesepakatan tersebut.

Ketika berkampanye banyak calon gembar-gembor mengajak rakyat menolak money politics, tapi diam-diam tim sukses membagi-bagi uang kepada rakyat. Penegakan hukum terhadap tindak pidana money politics di pilkades dapat dilakukan dengan beberapa cara.

Meminjam teori sistem hukum L. M. Friedman, ada beberapa elemen yang dapat dibangun, yaitu memperkuat struktur hukum aparatur penegak hukum, sosialisasi dan penegakan substansi/isi hukum, dan membangun budaya hukum antikorupsi kepada masyarakat pemilih dan para kandidat.

Peninjauan kembali UU Desa agar perundangan tersebut menjadi acuan yang tegas dalam menjalankan pemerintahan desa. Hal yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah sehebat apa pun dan seberat apa pun sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana politik uang, sangat tidak berarti jika tidak dilandasi kesadaran masyarakat terhadap demokrasi itu sendiri.

Perlu waktu yang lama untuk menghilangkan budaya politik uang di pilkades, tetapi bukan berarti tidak bisa, dan ini menjadi pekerjaan kita semua. Justru pada tataran pemerintahan desa, seharusnya pemerintah peduli agar politik uang bisa dihentikan sejak dini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya