SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Danie H Soe’oed Asesor UKW PWI Pusat, Wakil Pemimpin Umum SOLOPOS (JIBI/SOLOPOS/dok)

Beberapa pekan terakhir ini—setidaknya mulai Oktober lalu—sebuah perhelatan akbar untuk para wartawan Indonesia tengah digelar secara marathon di seluruh Indonesia, dengan tema Uji Kompetensi Wartawan (UKW).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ini sebuah pekerjaan besar yang digagas Dewan Pers untuk membangun pers yang lebih berkualitas, dihargai masyarakat dan terpercaya.

UKW merupakan sebuah keharusan yang ditetapkan Dewan Pers bagi setiap wartawan di Indonesia, bertujuan untuk mengetahui kompetensi setiap wartawan di Indonesia sesuai dengan tingkatan masing-masing.

Melalui UKW ini ke depan diharapkan tidak ada lagi istilah “wartawan bodreks” atau “wartawan abal-abal” (meminjam istilah Ketua Dewan Pers Prof Dr Bagir Manan) yang selalu menyibukkan para narasumber dengan wawancara, namun hasilnya tidak pernah dimuat di dalam suratkabar, karena sejatinya mereka bukanlah wartawan sungguhan yang bekerja di sebuah perusahaan media massa.

Dunia pers di Tanah Air memang seringkali tercoreng dengan kehadiran para wartawan bodreks atau wartawan abal-abal ini. Mereka berkeliaran di kantor-kantor pemerintah, atau di hotel-hotel secara berkelompok.

Ketika seseorang menyelenggarakan konferensi pers di tempat-tempat tertentu, maka
ruangan itu akan penuh dengan wartawan abal-abal ini yang setelah acara biasanya akan sibuk mengantre pada penyelenggara acara tersebut untuk minta uang transport, uang lelah atau semacamnya.

Tidak jarang juga ada sejumlah wartawan sungguhan yang memang bekerja di media massa, juga ikut mengantre uang transport ini sehingga lengkaplah cibiran masyarakat luas terhadap dunia pers kita.

Jadi janganlah heran kalau seringkali kita mendengar sejumlah kalangan dengan nada sinis mengatakan “urusan dengan wartawan gampang, siapkan aja amplop berisi uang maka masalah pasti akan selesai sesuai kemauan kita”.

Pandangan negatif ini tidak sepenuhnya salah juga, karena pada kenyataannya sebagian besar –baca: bukan sebagian kecil—wartawan di Indonesia memang masih banyak yang mengandalkan uang transport, uang lelah atau apapun namanya dari para nara sumbernya.

Faktor ini biasanya tidak terlepas dari banyaknya wartawan yang menerima gaji tidak layak dari perusahaan tempatnya bekerja. Sehingga sebetulnya sebuah ironi besar ketika sejumlah media massa memberitakan berita korupsi, berita pencurian namun sebetulnya mereka yang menulis berita-berita tersebut juga melakukan tindakan pencurian dan korupsi.

Pembenahan dunia pers

Melihat pengalaman ke belakang yang terjadi dalam kurun waktu puluhan tahun di dunia pers nasional, maka dalam penyelenggaraan Hari Pers Nasional  2010 di Palembang, Dewan Pers mencanangkan pembenahan pers nasional melalui penertiban wartawan yang bekerja di dunia pers, baik itu media cetak, media elektronik dsb.

Dewan Pers telah menetapkan bahwa setelah tahun 2012 mendatang, seluruh wartawan Indonesia haruslah lulus UKW yang diselenggarakan oleh Dewan Pers. Karena sejumlah alasan teknis dan administratif, maka Dewan Pers hanya mengizinkan dua lembaga yang boleh melakukan uji kompetensi ini di Indonesia, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia  Pusat (PWI Pusat) dan Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS).

Setelah melalui uji kelayakan oleh Dewan Pers, maka hanya kedua lembaga ini yang dianggap sudah memiliki para asesor berkompeten untuk melakukan uji kompetensi ini.

Dalam uji kompetensi ini para wartawan akan terbagi ke dalam tiga golongan, yakni Wartawan Muda, Wartawan Madya dan Wartawan Utama.

Golongan wartawan muda diperuntukkan bagi para wartawan yang berstatus reporter di perusahaan tempatnya bekerja. Golongan madya untuk para wartawan yang setidaknya sudah menduduki jabatan redaktur dan wartawan utama untuk para wartawan yang sudah menduduki jabatan sekurang-kurangnya redaktur pelaksana atau bahkan pemimpin redaksi.

Uji kompetensi ini sebetulnya adalah sebuah rekonstruksi ulang atas pekerjaan sehari-hari yang dilakukan masing-masing wartawan pada tingkatan masing-masing, sesuai dengan fungsi dan jabatan di tempat mereka bekerja.

Nantinya setelah mereka lulus UKW, maka setiap wartawan akan dibekali kartu kompetensi dengan nomor tertentu sesuai tingkatan masing-masing. Tujuannya, setiap narasumber yang dihubungi seorang wartawan, seyogyanya narasumber tersebut menanyakan kartu kompetensi ini.

Dewan Pers mengimbau kepada masyarakat luas, setelah tahun 2012, tidak lagi melayani wartawan yang tidak memiliki kartu kompetensi ini. Narasumber akan dengan mudah mengecek keaslian kartu tersebut dengan mengakses sebuah nomor telepon melalui SMS (short messages service) dan jika memang nomor kompetensi ini asli, maka nama wartawan tersebut akan tercantum di dalam database Dewan Pers.

Jika seorang narasumber dihubungi oleh wartawan-wartawan yang tidak memiliki kartu kompetensi ini, maka narasumber harus menolak untuk diwawancarai oleh para wartawan jenis ini. Jika narasumber masih juga melayaninya, maka segala risiko dan tanggung jawab akibat pemberitaan yang salah  tidak bisa diadukan kepada Dewan Pers.

Problem lain muncul

Niat baik Dewan Pers untuk membenahi dunia pers nasional melalui UKW ini ternyata menghadapi sejumlah kendala cukup serius dan perlu mendapat perhatian khusus dari Dewan Pers.

Setelah penulis melakukan tiga kali UKW di tiga kota, persoalan muncul di salah satu cabang di luar Jawa. Peserta UKW haruslah mendaftar kepada PWI cabang setempat di kota masing-masing.



Nah, celakanya jika PWI cabang dikuasai para wartawan abal-abal tadi, maka dengan sendirinya mereka akan mengikutsertakan para wartawan abal-abal tadi dalam UKW yang diselenggarakan di cabang tersebut.

Jadi ketika UKW berlangsung, sejumlah wartawan media cetak yang sedang diuji, mempertanyakan masalah ini. “Kok bisa si A dan si B, yang selama ini dikenal luas sebagai wartawan abal-abal di kota ini, kenapa bisa mengikuti UKW,” tanya mereka.

Bagaimana kalau mereka lulus UKW? Ini memang persoalan cukup serius yang memang harus dicari jalan keluarnya. Pada prinsipnya para asesor dari LPDS maupun PWI Pusat memang tidak berada dalam posisi menentukan seseorang boleh ikut UKW atau tidak. Keputusan keikutsertaan seseorang tergantung dari PWI cabang yang melakukan klarifikasi setiap persyarakatan calon peserta UKW.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya