SOLOPOS.COM - Abdul Jalil (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Disrupsi digital berdampak hampir di segala lini dan di seluruh dunia. Salah satu yang terdampak adalah pers. Fakta penurunan tiras koran yang terus terjadi setiap hari tidak bisa dinafikan. Perusahaan pers yang masih bertahan melakukan berbagai efisiensi, seperti mengurangi jumlah halaman koran hingga pengurangan karyawan.

Biaya operasional perusahaan pers masih bergantung pada iklan media cetak. Setidaknya itu terjadi hingga saat ini. Itu untuk persuahaan pers yang masih mempertahankan versi cetak. Media online murni, harus memaksimalkan pendapatan iklan digital dan iklan langsung.

Promosi Ada BDSM di Kasus Pembunuhan Sadis Mahasiswa UMY

Data Nielsen menunjukkan belanja iklan semester I 2022 masih didominasi belanja iklan TV sebesar 79,2%. Porsi belanja iklan digital pada semester I 2022 naik 15,2%, senilai  Rp20,5 triliun. Belanja iklan media cetak menurun hingga 4,8% (Bisnis.com).

Paradigma pengelola media online akhirnya berubah. Mereka harus mengejar traffic dan klik. Kondisi ini memunculkan clickbait. Pengejaran views untuk mendapatkan revenue menjadi hal lumrah di media online. Masing-masing media berusaha menjadi yang tercepat memberitakan suatu peristiwa, meskipun peristiwa itu belum benar-benar terkonfirmasi.

Media online di Indonesia selama ini sangat bergantung pada ekosisitem digital yang dibangun perusahaan mesin pencari Google dan platform media sosial Facebook untuk mendistribusikan konten dan mendapatkan iklan programatik. Ketergantungan ini membuat media online saat ini tidak sepenuhnya merdeka.

Agus Sudibyo dalam buku Dialektika Digital: Kolaborasi dan Kompetisi Antara Media Massa dan Platform Digital (2022) menjelaskan perubahan sistem algoritma menjadi urusan internal tanpa melibatkan eksternal, termasuk para penerbit atau perusahaan pers.

Kondisi ini merugikan para pengelola media massa yang menggantungkan hidup dari platform mereka. Media tidak tidak memiliki bargaining di hadapan perusahaan platform global. Algoritma sepenuhnya diputuskan platform.

Platform global juga menguasai pasar iklan. Media massa atau pers kalah. Media massa mendapatkan iklan programatik dari perusahaan platform, tetapi nilainya sangat kecil dan sepenuhnya ditentukan platform.

Data StatCounter pada Mei 2021, dalam buku tersebut, menjelaskan  pangsa pasar mesin pencari Google di Indonesia 97,99%. Di platform media sosial, Facebook paling dominan dengan pangsa pasar 77,35%. Perusahaan pers hanya mendapatkan 26%-39% dari nilai transaksi iklan.

Bagian paling besar dipungut perusahaan perantara yang adalah milik Google.  Dalam laporan yang sama, 70% belanja iklan di Indonesia dikuasasi Google dan Facebook. Puluhan ribu persuahaan pers online di Indonesia hanya memperebutkan 30% belanja iklan yang tersisa.

Di Eropa, praktik monopoli platform digital global membuat pemerintah dan pengelola perusahaan pers geram. Google berkali-kali digugat dan harus membayar denda.

Memperbaiki Kualitas Konten

Bagaimana perusahaan pers mau memperbaiki kualitas konten di platform digital kalau sistem yang dibangun platform secara sepihak menginginkan konten yang hanya berorientasi pendapatan melalui sistem algoritma?

Tidak mungkin menyerahkan pemenuhan kebutuhan informasi masyarakat kepada platform digital secara penuh. Media sosial selama ini menjadi tempat tumbuh sumburnya hoaks, disinformasi, dan misinformasi.

Pers menjadi salah satu pilar demokrasi. Penyeimbang lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pers penting sebagai sumber informasi yang mengutamakan kepentingan publik. Pada era digital, pers hanya perlu melakukan perubahan supaya lebih relevan. Langkah perubahan ini perlu mendapat dukungan negara.

Menurut Bill Kovach, jurnalisme bertujuan utama menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri. Jurnalisme harus patuh kewajiban yang diberi nama elemen-elemen jurnalisme. Salah satu elemen adalah kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.

Negara di Eropa dan Australia terlebih dahulu berjuang melawan dominasi platform digital. Prancis, Jerman, dan Inggris melawan dominasi platform digital melalui publisher right. Australia melawan dominasi platform digital supaya mau bernegosiasi dengan pers dengan regulasi News Media Bergaining Code.

Pemerintah Indonesia telah mewacanakan pelembagaan publisher right. Presiden Joko Widodo pada Hari Pers Nasional 2022 meminta Dewan Pers dan organisasi pers merancang bentuk regulasi publisher right itu.

Semangat regulasi ini bukan antiplatform digital. Regulasi yang mengatur hubungan saling menguntungkan. Platform sebagai penyedia teknologi distribusi konten dan perilakanan bisa bersikap adil dengan perusahaan pers sebagai penyuplai konten.

Hubungan yang seimbang akan membuat pers nasional lebih sehat dari sisi konten dan pendapatan. Konten-konten yang selama ini didedikasikan hanya untuk mengejar traffic akan makin berkurang. Forum G20 di Bali menjadi saat yang tepat untung memperkuat wacana tersebut.

Anggota G20 ada negara yang sukses melembagakan publisher right, seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan Australia. Indonesia bisa meminta dukungan negara-negara tersebut dalam melawan dominasi platform digital global.

Isu pelindungan perusahaan pers dari dominasi platform global perlu digaungkan supaya bisnis penyediaan berita (informasi)—sebagai salah satu fondasi peradaban—untuk masyarakat berkelanjutan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Oktober 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya