SOLOPOS.COM - Marketing Talk membahas city branding, Selasa (11/5/2021). (Damar Sri Prakoso)

Solopos.com, SOLO – Kota Solo mendapat tantangan untuk membangun city branding di era kenormalan baru.

City branding dibutuhkan oleh sebuah kota agar memiliki keunikan tertentu di mata masyarakat, sehingga kota tersebut memiliki keunggulan dibanding kota yang lain.

Promosi Meraih Keberkahan Bulan Syawal, Pegadaian Ajak Masyarakat Umrah Akbar Bersama

Tantangan ini diharapkan terus menjadi pokok bahasan bersama antara pemerintah, swasta, pebisnis, akademisi, praktisi, komunitas, media, maupun unsur masyarakat lainnya.

“Semua pihak hingga saat ini terus fokus berjuang mengatasi pandemi Covid-19. Itu baik. Namun kita juga perlu memikirkan, sekarang bagaimana caranya membangun city branding di era kenormalan baru. Kota Solo ini nanti mau seperti apa? Agar kita semua bisa lebih siap. Walaupun ada Covid-19, kita tidak boleh berhenti di sini atau sekadar menggelisahkan masalah ini. Show must go on,” kata Presiden Indonesia Marketing Association (IMA) Chapter Solo, Retno Wulandari, dalam acara Marketing Talk bertajuk Membangun City Branding: Tinjauan Praktis dan Akademis, Selasa (11/5/2021), di The Sunan Hotel Solo.

Acara itu digelar dalam rangka ulang tahun STIE Surakarta yang genap berusia 28 tahun pada Mei 2021 ini.

Dikatakan Retno, Solo banyak dikenal dengan sebutan sebagai kota budaya, kota kuliner, kota batik, dan masih banyak lagi. Potitioning kota dan identitas kota termasuk di dalamnya potensi wisata dan budaya, kata dia, menjadikan sebuah kota punya diferensiasi dalam praktik city branding.

“Jogja itu seperti apa, Solo seperti apa. Masing-masing punya potensi dan kekuatannya sendiri-sendiri. Diferensiasi itulah yang harus ditonjolkan agar city branding bisa terbentuk,” tegasnya.

Solo, disebutkan Retno, tidak perlu meniru menjadi seperti kota lainnya. Solo bisa berangkat dari karakternya sendiri. Berbekal dari potensi lokalnya, slogannya, kepribadian wilayahnya, ikon kota, serta roadmap branding yang diikuti strategi program dan time line.

Suasana diskusi Marketing Talk tentang city branding. (Damar Sri Prakoso)

Solo sebenarnya sudah punya slogan The Spirit of Java. Namun sudah cukup lama slogan itu tak lagi menggaung di Kota Solo. Bahkan spanduk yang memuat slogan itu pun saat ini tidak ada lagi di hampir semua tempat.

“Kita tahu, slogan itu dirumuskan sedemikian rupa. Tapi sekarang, kayak enggak kepakai lagi. Padahal slogan The Spirit of Java itu sudah kuat sebagai branding Kota Solo,” imbuhnya.

Hasil Penelitian

Pada kesempatan itu, dosen marketing STIE Surakarta, Ginanjar Rahmawan, menyajikan beberapa hasil penelitian internasional berkaitan dengan city branding. Dalam paparannya, Ginanjar menyebutkan membangun city branding bisa menggunakan pendekatan CBI (City Branding Index) yang meliputi Presence, Place, Potential, People, Pulse, dan Prerequisire.

Presence berkaitan dengan kontribusi kota. sejauh mana kota dikenal oleh dunia. Place berkaitan dengan aspek fisik kota yang memberikan kenyamanan dalam menikmati kota. Potential berkaitan dengan peluang ekonomi yang ditawarkan oleh pendatang.

People berkaitan dengan keramahan masyarakatnya, saling bertukar budaya dan memberi rasa aman. Pulse berkaitan dengan aktivitas menarik yang bisa dilakukan di kota tersebut. Prerequisire berkaitan dengan kenyamanan, ketersediaan akomodasi, transportasi, infrastruktur.

“Sekarang sudah zamannya, Solo itu bersaing dengan Singapura atau kota-kota dari negara lain. Dengan pendekatan CBI ini, diharapkan sebuah kota mampu memiliki branding yang baik di komunitas internasional. Persaingan antarkota tidak dalam ukuran besar kota, tapi pada pembeda yang menjadi keunggulannya,” ujar Ginanjar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya