SOLOPOS.COM - Dilarang parkir di tikungan/antaranews.com

Solopos.com, SOLO — Kasus warga organisasi kemasyarakatan minta jatah parkir di Bekasi yang sempat viral belum lama ini bisa jadi adalah puncak gunung es di tengah lautan. Di banyak daerah, rakyat sudah lama mengerti betapa urusan parkir liar identik dengan urusan memalak atau memeras rakyat.

Dengan kata lain, rakyat dipalak tukang parkir liar kini menjadi fenomena sosial yang bikin miris. Di banyak daerah, pemerintah daerah terkesan membiarkan anggota organisasi kemasyarakatan atau preman menguasai urusan parkir liar sehingga rakyat terpaksa mengeluarkan biaya parkir dalam jumlah besar.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Lebih jelasnya, semakin sering rakyat menghentikan kendaraan di pinggir jalan atau di depan toko maka akan makin besar uang yang terpaksa dikeluarkan untuk biaya parkir tanpa mendapat karcis sehingga uang itu tidak jelas mengalir ke mana saja.

Begitu pula di sejumlah lokasi keramaian dan objek wisata daerah, urusan parkir dikuasai orang-orang dengan tampang sangar sehingga rakyat terpaksa membayar biaya parkir berlipat-lipat daripada ketentuan yang berlaku.

Rakyat yang sedang susah ketika hendak beli obat di apotek, hanya dalam hitungan menit, juga terpaksa membayar biaya parkir tanpa menerima karcis yang menunjukkan uang parkir masuk ke kas daerah. Yang lebih bikin miris lagi, sering rakyat membayar biaya parkir yang seharusnya mendapatkan uang kembalian tapi tukang parkir liar bertampang sangar langsung menjauh tanpa menyerahkan uang kembalian.

Pada titik ini, selain merasa ketakutan menjadi korban pemerasan, rakyat pun bertanya-tanya, siapa pendukung mereka dan siapa saja yang menikmati uang parkir? Kalau jawabannya tidak ada pendukung atau pelindung bagi tukang parkir, jelas itu mustahil, karena mereka bisa bekerja pastilah atas izin penguasa setempat.

Kolonial

Artinya jelas, biaya parkir dari kantong rakyat layak diduga sebagian masuk ke orang-orang yang berkuasa di daerah! Jika betul demikian, tak berlebihan rakyat terkesan bagaikan hidup pada masa kolonial karena kolonialisme pemerintah daerah betul-betul mengejawantah setiap hari.

Sungguh keterlaluan jika rakyat Indonesia dibiarkan terus-menerus bagaikan hidup pada masa kolonial, padahal sudah lama merdeka dan bahkan Indonesia sudah layak disebut sebagai negara modern. Sangat mudah dicermati, di banyak daerah, preman berlabel anggota organisasi kemasyarakatan terkesan selalu bersinergi dengan penguasa daerah.

Ini memunculkan fenomena negara di dalam negara, tapi jika dicermati, semua itu akibat dari fenomena politik yang selalu beraroma premanisme. Hampir semua elite politik dan partai politik di banyak daerah menjadi pelindung preman atau memelihara kelompok-kelompok preman untuk kampanye merebut kekuasaan lokal.

Keberadaan preman tidak hanya bikin kesal aparat penegak hukum dan aparatur pemerintahan tapi juga bikin miris masyarakat. Sialnya, ketika aparatur pemerintah kesal dan masyarakat merasa miris, preman-preman itu lazimnya justru akan lebih beringas memalak rakyat.

Seperti sudah dianggap sebagai kelaziman juga, betapa banyak preman sehari-hari memakai pakaian seragam menyerupai militer untuk membuat aparatur pemerintah dan aparat penegak hukum makin kesal dan masyarakat makin merasa miris.

Dalam kondisi kesal dan miris, aparatur pemerintah dan masyarakat cenderung menghindari urusan dengan preman. Hal tersebut berlangsung terus-menerus meskipun kepala daerah berganti-ganti karena hampir semua elite politik lokal sama-sama memelihara kelompok preman. Artinya, siapa pun yang menjadi kepala daerah, ada kelompok preman yang dominan, khususnya dalam urusan parkir liar.

Penguasa Sipil

Maraknya premanisme, khususnya dalam urusan parkir, bisa jadi merupakan akibat munculnya penguasa sipil. Ketika bangsa dan negara dipimpin tokoh sipil, wajar preman-preman makin merajalela. Hal tersebut selayaknya diperhatikan oleh pemerintah dengan lebih serius menangani premanisme.

Negara ini adalah negara hukum. Supremasi hukum seharusnya ditegakkan, terutama untuk membasmi premanisme beserta pendukung dan pelindung mereka. Penguasa sipil di mana pun pasti cenderung sungkan membasmi premanisme karena faktanya banyak kelompok preman memberikan dukungan politik habis-habisan kepada penguasa sipil.

Karena itu, layak juga disarankan, selain menegakkan supremasi hukum, pemerintah harus bisa memberikan lapangan kerja bagi preman-preman agar mereka tidak lagi memalak rakyat karena rakyat membayar pajak secara resmi kepada negara.

Dalam hal ini, pemerintah harus benar-benar serius melindungi rakyat dari tindak pemerasan atau pemalakan agar rakyat tidak terus-menerus seperti hidup pada masa kolonial. Selain itu, layak disarankan kepada semua penguasa daerah untuk tidak terus-menerus memanjakan kelompok preman sehingga mereka makin beringas memalak rakyat.

Pada titik ini, wakil rakyat di pusat dan daerah juga harus melindungi rakyat dari premanisme dengan membuat regulasi yang mengikat. Sayangnya, banyak juga wakil rakyat yang didukung preman-preman pada saat kampanye sehingga terkesan tidak tahu-menahu ketika di daerah pemilihan mereka terjadi pemalakan preman terhadap rakyat. Inilah efek samping dari demokrasi.

Dengan kata lain, demokrasi telah melahirkan penguasa (eksekutif dan legislatif) dari kalangan sipil. Fakta menunjukkan preman-preman ikut membidani kelahiran penguasa sipil. Akibatnya, hubungan preman dengan pihak eksekutif dan legislatif berkelindan masif. Rakyatlah yang jadi korban.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya