SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Bandung Mawardi (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Kota Solo bakal menggeliat oleh puncak hajatan Solo Batik Carnival, Sabtu (25/6). Solo adalah kota batik yang digaungkan sebagai klaim historis-kultural dan ekonomistik.
Hajatan besar ini memang menyihir, mengundang antusiasme untuk mengisahkan batik, mendefinisikan kota dan selebrasi warisan dunia. Kita menilai dan mengalami sebagai fragmen sambungan dari historisitas batik di Jawa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Selebrasi batik adalah sulutan untuk pijar-pijar memori. Solo Batik Carnival mengundang politik pemaknaan batik dalam tegangan kekuasaan dan kultural dari zaman ke zaman.
Suasana meriah dan sensasi dari Solo Batik Carnival pantas kita refleksikan dalam referensi historis. Ajakan ini diniatkan demi kontinuitas nalar-imajinasi batik atau prosedur menempatkan batik dalam narasi lampau dan kontekstual.
Rens Heringa (1997) mengungkapkan bahwa mitos batik paling awal di Jawa pada sekitar tahun 700.

Alkisah, ada seorang pangeran dari Jenggala bernama Lembu Amiluhur menikahi perempuan ningrat dari Coromandel (India). Perempuan itu bersama para dayang mengajarkan cara menenun, membatik dan mewarnai kain pada orang-orang Jawa.
Bukti catatan tertulis tentang sejarah batik baru muncul pada 1518 di wilayah Galuh (Jawa). Keterangan lain menyebutkan tahap awal batik muncul di Jawa dipengaruhi oleh tradisi dari India dan China.

Konon, Sultan Agung (1613-1645), penguasa Kerajaan Mataram, mengenakan batik dengan motif burung huk. Motif ini dalam mitologi China berarti membawa berkah keberuntungan. Pengaruh India dan China dapat dilihat dari teknik, bentuk dan filosofi.
Batik terus berkembang di Jawa dengan pelbagai inovasi (sentuhan) khas Jawa. Pengembangan batik terjadi melalui perlindungan oleh kalangan istana, pemerintah republik dan kelompok elite di masyarakat.

Batik sebagai medium filosofi mengakar kuat dalam masyarakat Jawa. Batik selalu memiliki makna dalam mekanisme ritual kelahiran, perkawinan dan kematian. Anutan filosofis ini masih menjadi tradisi di masyarakat Jawa (Pambudy, 2000).
Batik adalah seni tinggi dan aset dalam industri pakaian sejak masa kerajaan, kolonialisme dan era republik. Batik mengandung nilai ekonomis di pasar dalam negeri dan luar negeri. Peran dan kontribusi para pengusaha, desainer, seniman, elite dan tokoh-tokoh masyarakat memungkinkan batik dari Indonesia memiliki kekhasan.

Kita mengenal pusat batik di Solo, Jogja, Pekalongan, Semarang, Lasem dan Cirebon. Pengembangan batik secara tradisional dan industri modern-kapitalistik menempatkan batik sebagai warisan budaya mengalami inovasi dan pembaruan tak henti. Batik kala penjajahan mendapat perhatian besar dari pemerintah kolonial karena terkait dengan pertumbuhan usaha dari kalangan pribumi, keturunan Tionghoa dan Eropa. PDK Angelino (1930) melaporkan bahwa pekerjaan membatik pada masa lalu merupakan usaha di rumah-rumah para pembesar di Jawa dan keraton.

Konon, Rijckloff van Goens dalam suatu kunjungan ke Jawa (1606) pernah melihat ada sekitar 400 perempuan membatik di Istana Mataram. Sejak 1929 pengembangan batik sudah menjadi industri besar di luar keraton. Pemerintah Hindia Belanda mencatat ada 357 perusahaan batik di sekitar Batavia. 264 perusahaan dimiliki dan dioperasikan oleh pengusaha nonpribumi (Besari, 2008). Peran pengusaha nonpribumi memang besar dalam pengembangan batik.

Kisah tentang batik melegenda di Solo terekam dalam novel Canting (1986) karangan Arswendo Atmowiloto dan buku Jawa Sejati, Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro (2008). Arswendo Atmowiloto mengisahkan tentang persaingan usaha batik di Solo di kalangan pengusaha pribumi dan nonpribumi.

Solo lama dikenal memiliki pusat batik di Kampung Kauman dan Kampung Laweyan. Kehidupan keluarga pengusaha batik, buruh, konflik sosial-ekonomi dan persaingan pemasaran batik di Pasar Klewer merepresentasikan signifikansi batik sebagai simbol kultural Jawa, geliat ekonomi pribumi dan pertumbuhan kota dalam bingkai kekuasaan tradisional, kolonial dan republik.

Batik Indonesia
Go Tik Swan sebagai ikon batik di Solo menceritakan relasi batik, kekuasaan dan imajinasi Jawa-Indonesia. Akisah, Bung Karno seusai makan malam di istana berkata pada Go Tik Swan: Djo, kamu dari keluarga pengusaha batik. Mbok coba kamu buat untuk bangsa ini ”batik Indonesia”. Bukan batik Solo, batik Yogya, batik Pekalongan, batik Cirebon, batik Lasem dan lain-lainnya, tetapi ”batik Indonesia”.

Perkataan Bung Karno ini dipahamai oleh Go Tik Swan sebagai amanah. Go Tik Swan pun berikhtiar keras merealisasikan ”batik Indonesia” kendati harus dilakoni dengan oleh spiritual, ziarah ke makam-makam leluhur dan riset ke pelbagai pengembangan batik.
Amanah itu mengandung gagasan besar bahwa batik-batik tradisional atau klasik dengan ciri etnis mesti terus dikembangkan dan negeri ini juga harus memiliki ciri tersendiri atas batik dalam gagasan nasionalistik, ”batik Indonesia”.

Kita hari ini lega dengan pengakuan batik oleh dunia (PBB). Pengakuan ini menjadi tanda seru untuk kita agar sanggup melakukan peneguhan identitas bangsa melalui batik. Konsekuensi politik-kultural adalah realisasi program secara intensif dan kreatif oleh pemerintah dan pelbagai pihak. Sejarah telah mengajarkan tentang eksistensi dan politik pemaknaan batik-batik klasik dalam buaian zaman. Batik-batik kontemporer pun kerap muncul secara inovatif dan kreatif. Gagasan ”batik Indonesia” dari Bung Karno mengingatkan kita tentang nasionalisme dan identitas-kultural Indonesia.

Batik menjadi milik Indonesia dan dunia. Fakta ini mengandung seruan implementasi nilai-nilai kultural dan kebangsaan dalam batik menjadi agenda produktif atas nama tradisi dan kemodernan.
Agenda Solo Batik Carnival adalah ikhtiar besar untuk pertaruhan eksistensial batik dalam pertaruhan pamrih ekonomi, politik kota, seni dan turisme. Kita memiliki interpretasi atas hajatan itu sebagai tanggapan produktif atas selebrasi batik. Rutinitas hajatan Solo Batik Carnival tentu menguak optimisme atas keberterimaan publik untuk mengenakan, mengisahkan dan mengenakan batik.

Sejarah berkelindan, identitas bergerak dan modal bertaburan dalam batik. Biografi diri dan negeri ada bersama historisitas batik. Adab bangsa dan pasang surut agenda-agenda politik, ekonomi dan kultural pun ada bersama batik. Batik menjelma sebagai ikon dan mozaik riwayat Solo, Jawa dan Indonesia dalam gerak perubahan zaman.

Bandung Mawardi, pengelola Jagat Abjad Solo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya