SOLOPOS.COM - M Abdur Rohman (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Ketika Lord Robert Baden Powell berkemah bersama 22 anak laki-laki pada 25 Juli 1907 di Pulau Brownsea, Inggris, ia punya maksud dan tujuan tersendiri. Ia mengadakan perkemahan untuk menempa fisik dan mental anak-anak laki-laki itu dalam menghadapi tantangan alam berupa ganasnya Samudra Arktik pada saat itu.

Begitu pula pada akhirnya ketika perkemahan itu menjadi cikal bakal gerakan kepanduan dunia. Di Nusantara, pada 1916 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Nederland Indische Padvinders Vereeniging atau NIVP. Pada tahun yang sama, K.G.P.A.A. Mangkunagoro VII mendirikan gerakan kepanduan bernama Javaansche Padvinders Organisatie di Pura Mangkunegaran.

Promosi Championship Series, Format Aneh di Liga 1 2023/2024

Agenda di kepanduan tidak jauh dari perkemahan. Aacara berkemah dan arena perkemahan dijadikan tempat pendidikan untuk para anggota kepanduan. Di sini para anggota dididik, dilatih, ditempa fisik maupun mental mereka untuk menjadi seorang pandu yang berkarakter, bermental baja, bertanggung jawab, dan pemberani.

Dalam kepanduan milik organisasi Muhammadiyah, yaitu Hizbul Wathan, mengenal tiga prinsip dalam pelatihan kepanduan. Prinsip tersebut yaitu menarik, menantang, dan menyenangkan. Artinya, seseorang berkeinginan bergabung dalam kepanduan karena ada sesuatu yang menarik, ada tantangan dalam setiap kegiatan, serta menyenangkan.

Tidak ada istilah kekerasan fisik dalam kepanduan. Begitu pula ketika kita tilik Dasa Darma Pramuka. Terdapat 10 nilai luhur yang harus dimiliki seorang anggota Gerakan Pramuka. Takwa kepada Tuhan yang Maha Esa; cinta alam dan kasih sayang sesama manusia; patriot yang sopan dan kesatria; patuh dan suka bermusyawarah; rela menolong dan tabah.

Kemudian, rajin, terampil dan gembira; hemat cermat dan bersahaja; disiplin berani dan setia; bertanggung jawab dan dapat percaya; serta suci dalam pikiran perkataan dan perbuatan. Ketika kita tilik Dasa Darma Pramuka tersebut, tidak ada satu pun nilai kekerasan di dalamnya.

Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka memiliki tujuan menumbuhkan tunas bangsa agar menjadi generasi yang lebih baik, yang sanggup bertanggung jawab, dan mampu membina serta mengisi kemerdekaan nasional. Suatu tujuan mulia untuk suatu organisasi kepanduan yang besar.

Noda Hitam

Genap dua tahun yang lalu saya menulis esai di Harian Solopos tentang peristiwa ratusan siswa SMPN 1 Turi di Kapanewon Turi, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang hanyut di sungai dalam rangkaian kegiatan perkemahan Pramuka.

Kini luka lama itu seperti terbuka kembali sebagai sesama pegiat kepanduan. Ada rasa miris ketika membaca informasi di media sosial saat ini tentang kematian seorang santri Pondok Pesantren Modern Gontor.

Saya tidak menyesalkan dan mengomentari tentang pondok pesantrennya. Yang saya sesalkan ialah kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangkaian perkemahan Gerakan Pramuka, kegiatan kepanduan. Sebagai seorang yang sudah puluhan tahun aktif di gerakan kepanduan, ada rasa prihatin tersendiri ketika mengetahui peristiwa itu.

Ada satu hal yang lebih mencengangkan ketika berdasarkan keterangan dari keluarga santri yang meninggal bahwa ada kemungkinan dugaan tindak kekerasan fisik terhadap santri tersebut hingga meninggal dunia.

Mengemuka informasi jenazah yang awalnya sudah ditutup kain kafan tembus darah yang masih mengalir. Setelah kain kafan dibuka ternyata ada lebam-lebam di tubuh jemazah santri itu. Memang masih dalam penyidikan perihal penyebabnya, namun tetap disayangkan hal itu terjadi dalam agenda perkemahan Pramuka.

Beberapa kali saya mengikuti serta mengamati kegiatan perkemahan yang memang belum sesuai prosedur. Masih saya temui seorang instruktur atau senior melakukan kontak fisik ketika melatih anggota. Hal ini jelas tidak dibenarkan dengan alasan apa pun.

Sudah jelas bahwa dalam melatih mental dan fisik dalam kepanduan tidak boleh ada tindakan yang menyentuh fisik. Kesalahan kedua yang masih sering saya jumpai adalah seseorang yang beranggapan bahwa ”saya dulu menjalani proses yang jauh lebih berat daripada yang kamu alami”.

Itu merupakan alasan yang sama sekali tidak dibenarkan dalam kepanduan. Merasa senior, merasa lebih tau, dan merasa lebih kuat bukan zamannya lagi dilakukan dalam gerakan kepanduan. Selain itu, masih banyak saya jumpai kegiatan perkemahan yang kurang matang dalam perencanaan.

Agenda kegiatan belum terjadwal dan tersistem dengan baik. Banyak juga saya temui kegiatan perkemahan yang agenda kegiatannya kurang memperhatikan keselamatan peserta. Kegiatan-kegiatan tersebut sesungguhnya sangat berisiko pada kesehatan dan keselamatan peserta, namun tetap dilaksanakan tanpa mitigasi.

Aneka noda hitam tersebut meniscayakan pengembalian kepanduan sesuai fitrahnya. Kegiatan perkemahan yang menarik, menantang, dan menyenangkan. Laksanakan semua yang menjadi landasan organisasi kepanduan. Dalam kepanduan Hizbul Wathan ada janji dan undang-undang Hizbul Wathan. Dalam Gerakan Pramuka ada Dasa Darma Pramuka.

Ketika dilaksanakan dengan konsekuen, saya yakin tidak akan terajdi lagi tindak kekerasan dan kegiatan berisiko tinggi. Saya berharap peristiwa-peristiwa seperti itu tidak terjadi lagi dalam aneka kegiatan perkemahan dan kepanduan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 September 2022. Penulis adalah guru SDIT Muhammadiyah Al-Kautsar, Gumpang, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya