SOLOPOS.COM - Setyaningsih, Penyuka buku

Setyaningsih, Penyuka buku

Liburan merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh setiap orang. Rencana-rencana selama liburan disusun dengan rapi untuk memperoleh momen yang spesial. Bagi anak sekolahan, liburan ibarat sebuah kemerdekaan setelah lama terpenjara dalam tugas, PR dan segudang aktifitas lainnya. Liburan hadir sebagai hadiah. Namun, kerap kali mereka tidak mampu merayakan dan menikmati liburan karena kerepotan biaya atau pengetahuan untuk memaknai liburan. Liburan kerap kali hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang berkantong tebal.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Sanie B Kuncoro dalam cerita Kesadaran Kelas yang dimuat dalam buku Mengenang (2012) bercerita tentang bagaimana liburan itu sangat mahal harganya. Seusai liburan panjang, sang guru menugaskan anak-anak membuat cerita tentang liburannya masing-masing. Namun, ketika momen liburan tiba, dia harus berhadapan pada kenyataan bahwa liburannya biasa-biasa saja. Hanya berkunjung ke rumah neneknya. Hal ini sangat berbeda dengan teman-temannya yang berlibur ke luar kota. Mulai dari pergi ke gunung, pantai sampai kebun binatang.

Demi menyamarkan ceritanya yang tidak menarik sekaligus memalukan karena menunjukkan keterbatasan ekonominya, Sanie menambahkan ornamen-ornamen yang mempercantik ceritanya. Pekarangan kecil di rumah neneknya disulap menjadi sepetak sawah dengan padi hijau. Parit di depan rumah disulap menjadi sungai jernih dengan ikan-ikan yang berenang. Sanie B Kuncoro menghadirkan sebuah imajinasi liburan seorang bocah miskin melampaui kenyataan.

Apa yang dilakukan oleh Sanie B Kuncoro patut dijadikan rujukan bagi anak-anak yang berada dalam garis kemiskinan yang tetap ingin merayakan liburan. Dia tak perlu sibuk dengan pergi ke pantai maupun ke gunung. Namun ia mampu membangun sebuah imajinasi kreatif dalam memaknai liburan. Hal seperti inilah yang sering luput dari perhatian orang. Liburan sering kali diartikan sebagai sebuah kegiatan yang harus menyiapkan banyak uang, waktu dan juga tenaga.

 

Kaya Nilai

Setiap tahun, siswa-siswi SMP maupun SMU melakukan study tour. Sadar atau tidak, berbagai bentuk study tour yang diadakan sekolahan kini lebih berorientasi pada mengunjungi tempat-tempat wisata dan belanja saja. Makna study tour lebih kepada liburan yang lebih banyak bersenang-senang. Liburan menjelma sebagai pesta perayaan kapital. Padahal tujuan perjalanan itu adalah belajar. Untuk apa setiap sekolahan tetap menjalankan ritual study tour jika hanya menghasilkan pengetahuan kepada siswa tentang rasa lelah?

Jika ada sebuah pertanyaan, apakah yang membuat Bali itu menarik untuk dikunjungi? Hal inilah yang membedakan dengan orang asing yang kebanyakan berperan sebagai seorang peneliti atau pengamat budaya. Mereka begitu tertarik dengan Bali karena kekhasan budayanya yang masih dijaga dengan sakral. Hal-hal seperti upacara Ngaben atau pembakaran mayat, ritual memberikan sesaji kepada dewa, sistem tata sosial yang ada dalam masyarakat pedalaman Bali, kultur agraria, ornamen rumah, makanan tradisional, dan juga pesta-pesta adat sampai ritus ibadah. Semua menjadi sesuatu yang indah untuk dilewatkan.  Mereka begitu tertarik untuk mempelajari masyarakat setempat. Bahkan karena ketertarikan mereka dengan Bali akhirnya banyak di antara para turis menikah dengan masyarakat Bali.

Sepertinya buku The Naked Traveler 2 (2010), sebuah catatan perjalanan yang ditulis Trinity patut dijadikan sebuah contoh. Buku ini tidak hanya menceritakan perjalanan ke tempat-tempat yang indah, tapi juga hal-hal aneh dan tidak mengenakkan selama perjalanan. Penulis juga menceritakan saat dia bergaul dan mengamati kebiasaan penduduk lokal, naik kendaraan umum di tempat yang ia singgahi, pergi ke pasar tradisional untuk melihat produk-produk lokal yang aneh dan masih banyak pengalaman lainnya. Apalagi, penulis sering kali berkenalan dengan resepsionis penginapan yang disinggahi. Hal itu semakin menambah informasi tentang wilayah setempat. Ditambah lagi Trinity juga pernah mendapatkan beasiswa ke Filipina. Semakin lengkaplah pengalamannya sebagai seorang backpacker.

Di Eropa, orang-orang mulai beralih ke liburan yang berbasis kembali ke alam. Mereka pergi ke pedesaan untuk berbaur dengan masyarakatnya. Orang-orang melakukan aktifitas seperti masyarakat lokal. Seperti: memerah sapi, bertani dan menikmati keindahan alamnya. Liburan seperti ini bukan hanya memberi ketenangan dan kenyamanan, tapi juga membangun sebuah interaksi kepada sesama dan budayanya. Di Indonesia sendiri, liburan kembali ke alam sudah mulai menjadi pilihan. Satu keluarga melakukan liburan di daerah pegunungan lalu mendirikan tenda di sana. Mereka bisa mengunjungi air terjun, kebun-kebun teh dan kegiatan menyatu dengan alam lainnya. Hanya saja, mereka belum bisa sepenuhnya berbaur dengan masyarakat lokal dan tradisinya. Padahal hal itu bisa menambah pengalaman.

Hal-hal seperti inilah yang dimaksud bahwa liburan tidak hanya mengeluarkan nilai, tapi juga harus mendapatkan nilai. Kenangan saat berinteraksi dengan orang-orang dan budaya baru pastinya lebih berharga dari pada sekadar foto saat mengunjungi suatu tempat wisata. Pulang dari sebuah perjalanan, bukan hanya barang belanjaan saja yang menjadi oleh-oleh, tapi juga pengetahuan yang menjadikan kita lebih kaya akan pengalaman dan wawasan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya