SOLOPOS.COM - Ilustrasi kisah sukses. (freepik)

Solopos.com, SOLO—Udara dingin menembus kulit pada dini hari itu. Langit masih gelap. Senin, 28 Juli 1980. Tepat pukul 05.00 WIB.

Seorang anak laki-laki berbadan kecil, berseragam merah-putih, rambutnya sudah disisir rapi, hendak meninggalkan rumah dengan tas di punggungnya. Dengan penuh semangat dia menyiapkan sepeda onthel.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Anak itu juga membawa dua keranjang berisi tempe yang dibungkus dengan daun pisang. Dari gelap hingga langit terang, anak itu bersepeda melewati kampung-kampung untuk menawarkan tempe buatan ibunya.

Rutinitas paginya memang berjualan sebelum berangkat sekolah. Berkeliling kampung yang jalannya berlubang dan penuh brangkal. “Tempe ….tempe….,” ucap anak itu di sepanjang jalan kampung.

Begitulah, kehidupan anak laki-laki itu. Orang-orang memanggilnya Yono. Dia selalu berkeliling dari kampung ke kampung mulai pukul 05.00 WIB hingga pukul 06.30 WIB.

Tepat pukul 06.30 WIB, Yono bergegas mengayuh sepeda menuju sekolah. Sekitar pukul 07.00 WIB, Yono sampai sekolah. Wajahnya terlihat lelah, bajunya kusut, rambutnya acak-acakan, dan tubuhnya bau keringat. Yono bergegas memasuki ruang kelas. Kadang-kadang Yono terlambat masuk sekolah.

Teman-temannya memanggil Yono dengan sebutan Yono Tempe. Julukan itu tak membuat Yono marah atau malu. Meskipun kondisi Yono tidak seberuntung teman-temannya yang serba kecukupan, dia tetap percaya diri di tengah lingkungannya.

Yono bisa menerima teman-teman sekelasnya yang bajunya selalu rapi, tidak bau keringat, dengan rambut tersisir rapi. Dia paham teman-temannya itu bangun tidur langsung mandi, sarapan, lantas berangkat sekolah. Kehidupan mereka sangat jauh berbeda dengan kehidupan dirinya. Yono tinggal di sebuah desa kecil, sebelah utara Kabupaten Sukoharjo. Dari kota kurang lebih 10 km.

Yono anak kedua dari lima saudara. Ibunya seorang pembuat tempe yang dibungkus daun pisang sementara bapaknya seorang penjaga SD di desa tersebut. Penghasilan bapak-ibunya hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari.

Di lingkungannya, keluarga Yono termasuk keluarga yang kurang mampu. Rumah Yono berdinding kayu dan bambu. Lantainya masih tanah, belum dikeramik. Di kanan-kiri rumah Yono, berdiri rumah-rumah yang kokoh yang berdindingkan tembok dengan lantai berkeramik. Meskipun demikian, Yono tidak rendah diri.

Yono adalah sosok anak yang sangat bersemangat untuk sekolah dan membantu orang tua. Di kelas, Yono termasuk anak yang berprestasi, tekun, dan giat. Dia selalu mendapat ranking tiga besar.

Yono bercita-cita ingin kuliah di universitas negeri agar biayanya tidak mahal. Semenjak SD kelas IV, Yono giat menabung agar cita-citanya untuk kuliah dapat terwujud. Setiap Yono membantu jualan ibunya, Yono mendapat uang saku. Sebagian uang sakunya untuk beli jajanan dan sebagian ditabung.

Di lingkungan kampungnya, banyak anak yang lulus SMA, namun tidak melanjutkan kuliah. Padahal orang tuanya kaya dan mampu untuk membiayai anaknya kuliah. Mereka menganggap kuliah hanya membuang-buang uang . Di satu kampung itu, anak yang kuliah bisa dihitung dengan jari. Yono tidak seperti itu. Dia bertekad kuliah meski keluarganya penuh keterbatasan.

Pada waktu Yono duduk di bangku SMP, ada tetangga yang memberi kepercayaan kepada Yono. Yono diminta membantu memelihara kambing.
Yono melakukannya selepas pulang sekolah. “Yono anaknya rajin dan tekun, makanya saya meminta untuk bantu memelihara kambing,” kata Pak Umar, pemilik kambing.

Yono senang sekali. Terbayang uang tabungannya segera bertambah. Meski semakin lelah, dia semakin senang. Yono masih membantu ibunya berjualan tempe, sementara selepas sekolah membantu tetangga untuk memelihara kambing.

Putus Sekolah

Sewaktu SMA, Yono bersekolah di sebuah SMA swasta di Kota Solo. Sekolahnya tergolong kecil, tidak favorit, dan terkenal dengan anak-anaknya yang nakal. Meskipun demikian, Yono bertekad untuk membuat sekolahnya mengukir prestasi.

Matematika adalah pelajaran kesukaan Yono. Semuanya berawal dari Pak Amat, pengampu Matematika di kelas X. Pak Amat sosok yang humoris, tidak galak, dan kalau mengajar mudah dipahami. Yang paling disukai oleh muridnya, saat ada anak yang maju dan bisa mengerjakan Matematika, Pak Amat akan memberi hadiah. Yono senang sekali karena sering mendapat hadiah dari Pak Amat.

Pada waktu Kelas X semester II, Yono diminta gurunya untuk mengikuti lomba olimpiade matematika se-Solo. Yono sangat bersemangat menyiapkapkan lomba tersebut. Sekitar satu bulan, Yono mendapat tambahan pelajaran dari Pak Amat. Sesampainya di rumah, pelajaran tambahan dari Pak Amat dia pelajari berulang-ulang. Usaha tidak akan mengkhianati hasil, demikian keyakinan Yono.

Keyakinannya benar. Yono dapat mengukir prestasi di lomba matematika. Ia masuk 10 besar se-Solo. Yono menduduki peringkat ke-6. Prestasi ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi sekolah dan Yono. Selama ini, sekolah Yono belum pernah masuk 10 besar se-Solo melawan sekolah-sekolah favorit lain. Yono bangga dapat mengukir prestasi untuk sekolahnya meskipun hanya Juara VI se-Solo.

Memasuki kelas XI SMA, kehidupan Yono semakin berwarna. Yono mulai terpengaruh teman-teman sekolahnya. Kebanyakan temannya suka membolos sekolah. Dalam sepekan, Yono kadang hanya masuk tiga hari.

Saat teman-temannya membolos, mereka biasanya nongkrong dan menghamburkan uang. Sedangkan Yono membolos ke bengkel. Dia tertarik melihat orang-orang memperbaiki mobil yang rusak. Yono belajar di bengkel.

Seiring berjalannya waktu, Yono makin sering membolos. Kebiasaan buruk itu berjalan sekitar enam bulan. Para guru mengunjungi rumahnya, memotivasi Yono agar kembali ke sekolah. Orang tua Yono juga ingin anaknya bersekolah lagi. Namun, Yono tidak mau.

Pada akhirnya Yono menjadi anak putus sekolah. Dia memilih belajar di bengkel. Di bengkel tersebut, Yono terus belajar dengan tekun dan giat. Yono menjadi karyawan di bengkel tersebut selama dua tahun.

Yono lalu ingin punya bengkel sendiri. Namun, uang tabungannya tidak cukup untuk membeli peralatan. Pada akhirnya, Yono memutuskan untuk merantau di Sumatra bersama kakaknya. Di sana, ia membuka bengkel kecil-kecilan dengan modal dari sang kakak.



Bengkelnya ramai. Banyak kendaraan yang ditangani Yono. Tidak terasa, sudah satu tahun berlalu Yono merantau di Sumatra, meninggalkan orang tua dan keluarganya di Jawa.

Orang tua Yono sangat sedih karena Yono menjadi anak yang putus sekolah meskipun bengkel yang dikelola Yono di perantauan sebenarnya ramai. Cita- cita orang tua yang ingin melihat anaknya kuliah kandas di tengah jalan. Orang tuanya menjadi sakit-sakitan karena sedih melihat anaknya.

Yono akhirnya kembali ke Sukoharjo, memenuhi permintaan kedua orang tuanya. Yono diminta orang tuanya untuk kembali bersekolah. Akhirnya, Yono terbuka pintu hatinya. Dia memenuhi permintaan kedua orang tuanya. Yono bersekolah kembali di SMA terdahulu, duduk di kelas XI.

Yono bertekad membahagiakan orang tua. Singkat cerita, Yono akhirnya dapat lulus SMA dengan hasil yang tidak mengecewakan. Setelah menunggu waktu cukup lama, dia menyelesaikan bangku SMA selama tujuh tahun.

Yono kemudian ikut ujian masuk perguruan tinggi. Dengan semangat dan ketekunan yang diiringi doa, Yono dapat diterima di perguruan tinggi negeri di Semarang. Cita-cita Yono dan orang tuanya dapat terwujud.

Perjuangan Yono untuk menggapai cita-citanya itu ibaratnya pertempuran dalam hidup. Yono berhasil melewati perjalanan hidup yang keras dan penuh liku-liku. Pasang surut kehidupan dapat ia lalui. Dengan kegigihan dan optimisme, Yono akhirnya dapat memenangi pertempuran tersebut.

Penulis adalah guru di SMKN 3 SUKOHARJO

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya