SOLOPOS.COM - Flo K Sapto W Praktisi Pemasaran. (FOTO/Istimewa)

Flo K Sapto W
Praktisi Pemasaran. (FOTO/Istimewa)

Upaya melakukan branding kini tidak lagi dimonopoli oleh korporasi. Strategi pemasaran yang dilakukan dengan menjual potensi atau produk-produk spesifik ini sudah dilakukan juga oleh banyak politisi, akademisi, birokrasi, bahkan aristokrasi. Sehingga sangat bisa dipahami adanya fenomena yang sedang menjadi ontran-ontran di Keraton Kasunanan Surakarta. Khususnya dengan adanya dugaan jual-beli gelar kebangsawanan. Tentunya tulisan ini tidak untuk menyederhanakan permasalahan. Tidak juga untuk menghakimi. Tetapi untuk memaknai fenomena ini dalam perspektif lain.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Di dalam kajian potensi bisnis, gelar kebangsawanan yang diduga diperjualbelikan kepada sejumlah orang Malaysia oleh pihak tertentu di internal keraton, justru sangat inovatif. Terutama jika dikaitkan dengan belum cairnya dana hibah baik dari pemkot, pemprov, maupun Pemerintah Pusat. Jadi “bisnis” gelar kebangsawanan ini bisa dimaknai sebagai upaya keraton untuk survive. Sebab dari mana lagi keraton akan bisa memberikan bebungah kepada 500-an abdi dalemnya? Dari mana pula keraton membiayai berbagai upacara adat dan pemeliharaan aset-asetnya? Namun siapa yang lebih berhak “menjual” gelar kebangsawanan ini, sebab ada wacana pelengseran Hangabehi sebagai pemegang jabatan struktural tertinggi di internal keraton menyusul titahnya yang hendak membubarkan sejumlah lembaga di internal? Siapa sebetulnya yang secara hirarki lebih berwenang, baik untuk memberikan gelar maupun melengserkan raja? Siapa sebetulnya pemilik keraton? Mengapa juga ini terkait dengan Malaysia?

Ekspedisi Mudik 2024

Untuk memahami beberapa pertanyaan itu ada baiknya sebentar menoleh ke belakang. Lembaga pemilik produk gelar kebangsawanan ini dibangun pada masa Paku Buwono (PB) II setelah berpindah dari Kartasura pada 1745. Pemilihan lokasi itu sendiri sudah melalui pengkajian sebuah delegasi yang terdiri atas para bangsawan, ahli nujum keraton, dan juga Mayor Hogendorf (Kurris, 2009). Ketika delegasi telah memilih sebuah lokasi tanah becek milik Ki Gede Sala, Hogendorf memberikan pertimbangan inteleknya tentang potensi terkena banjir akibat alur Sungai Bengawan Solo. Namun nasihat ahli nujum keraton ternyata lebih didengar daripada pertimbangan seorang ahli dari Belanda.

Berbatang-batang gelondongan kayu akhirnya ditebangi dari hutan-hutan di Wonogiri untuk menimbun tanah rawa-rawa itu. Mungkin karena cikal bakal lokasi yang memang sudah berpotensi basah itulah yang membuat kota Solo sampai sekarang sering menjadi langganan banjir. Pembangunan itu tidak akan bisa dilepaskan dari peran abdi dalem dan kawula alit. Dapat dikatakan lembaga pemilik gelar kebangsawanan ini dibangun atas bulu bekti dan sumbangsih keringat para rakyat jelata.

Berdasarkan pemahaman itu maka keturunan para kawula yang dulu turut membangun keraton (publik) pun sebetulnya bisa menuntut deviden dari didirikannya keraton. Pada awalnya para kawula tentu berharap pendirian keraton bisa menjadi sarana bagi adanya pengaturan kehidupan. Sehingga jika di kemudian hari ada usaha turunan yang bisa mendatangkan pendapatan hanyalah sekadar bonus. Akan tetapi hal ini pasti akan ditentang oleh para putra-putri raja yang sekarang sedang bertikai. Dianggap terlalu mengada-ada dan tanpa dasar legalitas apa pun. Namun sebetulnya persis seperti publik juga sulit bisa mengerti logika pelengseran raja oleh kerabatnya sendiri.

Di dalam banyak kesempatan, pihak internal kerap kali menegaskan impunitas keraton untuk tidak dicampuri pihak luar. Salah satunya karena dianggap tidak memahami aturan-aturan (adat) di internal. Hal ini tentu saja sangat ironis. Sebab di kesempatan lain pihak internal keraton justru “memaksa” pihak eksternal (pemerintah) -yang juga punya aturan-aturannya (adat) sendiri- untuk mengikuti adat yang ada di keraton. Konkretnya adalah dengan mengakui keputusan salah satu pihak. Implikasinya adalah dalam pencairan dana hibah. Eksternal (pemerintah) tentu tidak bisa menerima keputusan yang didasarkan adat internal semacam itu. Sebab keputusan itu secara “adat” eksternal juga tidak bisa diakomodasi. Pemerintah sebagai eksternal sebetulnya sudah memberikan sinyal bahwa hanya Dwi Tunggal hasil rekonsiliasi Mei yang bisa menerima dana hibah. Namun agaknya ini bertentangan dengan kemauan pihak tertentu di internal. Singkatnya, tarik menarik di internal dalam permasalahan ini menjadi isu yang tidak produktif.

Berbeda halnya jika konflik di internal ini kemudian memang dibatasi hanya sekadar urusan hak waris. Termasuk di dalamnya adalah jabatan raja dan wewenangnya. Dengan demikian memang domain-nya menjadi sebatas di dalam tembok keraton. Secara kultural urusan waris hanya akan berada di seputaran anak-anak PB XII. Namun di dalam batas-batas kultural ini saja pihak internal juga sudah rancu. Sering kali lontaran-lontaran provokatif justru disampaikan oleh kerabat raja dari “luar garis” yaitu menantu maupun kerabat jauh. Hal ini tentu direspons negatif oleh publik sebagai hal yang “ora ilok”. Agaknya hal ini sudah bisa menjawab sebagian pertanyaan di atas.

Selanjutnya kembali pada pendekatan terhadap permasalahan branding atau brand image dari sudut pandang studi pemasaran. Branding atau brand image diartikan sebagai upaya (memberikan) sebuah ingatan skematis kepada target pasar terhadap sebuah nama produk tertentu (gelar bangsawan). Sebuah interpretasi konsumen yang merujuk pada atribut-atribut produk, perasaan atau situasi dan pengalaman penggunannya (Hawkins, et al., 2007). Aplikasinya adalah upaya membangun reputasi yang baik untuk sebuah nama bagi konsumen. Sehingga suka tidak suka, sesuai atau tidak sesuai dengan yang diinginkan pemilik produk, persepsi publik adalah sebuah labelisasi brand atau image terhadap lembaga itu (Journal of Management Riview, 1993; vol. 82, no. 11).

Menjadi menarik ketika konsep branding itu dikaitkan dengan tarik menarik kewenangan memberikan gelar bangsawan sebagai produk yang hendak dijadikan bisnis. Segmentasi sebuah produk sebagai branding akan menjadi pembuka pintu pemasaran. Misalnya apakah produk gelar kebangsawanan yang dikeluarkan oleh salah satu atau beberapa lembaga di internal akan lebih marketable daripada yang dikeluarkan oleh raja? Ataukah gelar kebangsawanan yang dari raja dirasa lebih bernilai? Sebab jika tidak jelas dalam pem-branding-an hanya akan membingungkan konsumen. Akan ada persepsi konsumen terhadap produk gelar kebangsawanan yang dijual sebagai first grade dan second grade. Ataukah memang gelar kebangsawanan sengaja dijual dengan dua harga, first grade eksklusif dan second grade agak obral?

Gelar kebangsawanan yang merupakan sebuah kehormatan, prestige, atau honoracausa mustinya eksklusif dan bernilai tinggi. Diperlukan sebuah kebijakan pemasaran yang lebih strategis jika hendak diposisikan kembali sebagai produk yang bernilai tinggi. Reputasi atau image yang high end atas gelar kebangsawanan akan secara signifikan berpengaruh terhadap perolehan ekonomi tidak hanya bagi keraton tapi juga denyut kehidupan di kawasan. Adapun konsumen Malaysia -berdasarkan keterangan salah satu Dato yang menjadi klien penulis- memang sangat berminat terhadap gelar kebangsawanan dari Keraton Kasunanan Surakarta. Sistem di sana mensyaratkan kepemilikan gelar sebagai salah satu klausul dalam mendapatkan konsesi luasan lahan. Artinya, untuk bisa menjadi tuan tanah salah satunya harus berdarah ningrat. Kasunanan Surakarta sangat representatif untuk itu. Jadi kenapa tidak sekaligus dikelola dengan lebih profesional?

Penulis adalah praktisi pemasaran, dosen tamu di Magister Management FE UNS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya