SOLOPOS.COM - Ilustrasi bersih makam. (dok)

Solopos.com, SOLO—Meskipun Palur RW 003 Ngringo, Jaten, Karanganyar, tidak begitu luas karena hanya terdiri atas tujuh wilayah rukun tetangga (RT), namun bagiku sebenarnya wilayah ini sangat luas. Tiap kali menjelang Ramadan, warga di sini melestarikan tradisi kebersamaan, yaitu tradisi bersih-bersih makam atau nyadran dalam Bahasa Jawa.

Menjelang puasa Ramadan, masyarakat biasa mengadakan tradisi nyadran atau sadranan. Sadranan berasal dari kata sadran. Sedangkan kata sadran berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu sraddha yang secara harfiah berarti keyakinan atau percaya. Dari kata sadran muncul kata kerja aktif nyadran, yaitu melakukan seangkaian kegiatan sadran/sadranan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Nyadran merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat Jawa secara turun-temurun menjelang Bulan Ramadan. Tardisi nyadran merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Islam. Nyadran biasanya diadakan sebulan sampai satu pekan sebelum Bulan Ramadan. Namun, kali ini, nyadran di daerahku dilakukan satu pekan sebelum Ramadan tiba, tepatnya 20 maret 2022 lalu.

Dalam sadranan/nyadran, masyarakat membersihkan makam (kuburan). Kegiatan ini lazim diselenggarakan pada Bulan Ruwah atau Syakban, yaitu, bulan menjelang puasa Ramadan. Itu disebabkan nyadran dilaksanakan pada Bulan Ruwah. Sadranan bisa disebut juga Ruwahan–kegiatan atau tradisi yang dilaksanakan pada Bulan Ruwah.

Dalam masyarakat muslim, istilah ruwahan lebih familier dibandingkan istilah nyadran atau sadranan. Dalam ruwahan/sadranan biasanya ada sejumlah kegiatan, seperti ziarah kubur, berdoa untuk para leluhur yang sudah meninggal.

Nyadran terdiri atas serangkaian acara, mulai dari bersih-bersih makam, tabur bunga lalu diakhiri dengan kenduri atau bancakan. Acara nyadran diawali dengan membersihkan makam leluhur yang bertujuan sebagai darma bakti anak kepada orang tua (leluhur) yang sudah meninggal.

Kegiatan selanjutnya adalah tabur bunga yang diakhiri dengan doa keselamatan. Tujuannya meningkatkan rasa gotong-royong dalam masyarakat sehingga hubungan kekerabatan dalam bertetangga khususnya, semakin erat. Selain itu diselenggarakan besik, yaitu bersih-bersih areal makam dari kotoran, rerumputan, maupun semak belukar. Dengan kegiatan bersih-bersih ini, area makam menjadi bersih dan padhang (terang).

Di makam leluhur masing-masing keluarga, lazim dilakukan tabur bunga, seperti bunga telasih. Kadang ada yang menanam bunga di seputar makam leluhur. Praktik tersebut merupakan bentuk penghormatan kepada makam, sekaligus kepada leluhur.

Ada pula upacara kenduren (kenduri) yang diikuti warga. Dalam acara kenduri, lazim dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti surat Yasin, ayat Kursi, dan lainnya. Bacaan lain berupa tahlil, zikir, selawat, dan doa bersama.

Warga membawa sedekah makanan yang diletakkan di atas sebuah encek, yaitu bilahan bambu yang dikaitkan membentuk pesegi empat. Setelah itu, warga menggelar tikar, daun pisang, dan piranti lain.

Makanan yang dibawa dari rumah masing-masing akan dimakan bersama-sama di sepanjang tikar dan daun pisang. Makanan yang disiapkan biasanya berupa nasi atau nasi oyek, ingkung ayam jantan, sambal goreng ati, telur, urap sayur, bergedel, kerupuk, rempeyek, tempe, tahu, serta serundeng.

Sejarah sadranan atau ruwahan diperkirakan sudah berkembang pada masa Walisongo abad ke-15. Para wali menyelaraskan budaya sadranan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Sadranan dimaknai dengan ziarah kubur untuk dzikrul-maut (mengingat mati) dan birrul-walidain (berbakti dan berterima kasih pada orang tua).

Apabila dipahami mendalam, sadranan memuat keyakinan masyarakat tentang kehidupan selanjutnya atau kehidupan setelah di dunia yang fana. Manusia diingatkan pada kehidupan di alam kubur dan akhirat. Pada gilirannya sadranan menyadarkan kita untuk mengingat mati, berbakti kepada orang tua, dan memperlembut hati serta jiwa. Sadranan sekaligus membangun diri manusia untuk menjalani hidup lebih teguh dan bermanfaat ke depan.

Di sisi lain, masyarakat juga biasa mentradisikan ziarah ke makam para kiai/ulama, guru, hingga makam wali ketika Bulan Ruwah atau Syakban. Jadi, apabila kita memahami mendalam, sadranan/ruwahan dan ziarah kubur memiliki banyak manfaat. Beberapa di antaranya adalah rasa kemanusiaan manusia sebagai hamba Allah SWT yang kembali segar dan menguat, silaturahmi dan kebersamaan dengan warga menjadi lebih terjaga, pun areal permakaman menjadi lebih bersih dan padhang.

Penulis adalah guru di SMKN Ngargoyoso

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya