SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

‘Ah, macem-macem wae! Basa model apa maneh kuwi?’ Mungkin begitu komentar banyak orang. Terutama sekali, mereka yang berada di daerah, yang bahasanya lebih tertata daripada mereka yang tinggal di perkotaan. Memang, orang perkotaan bahasanya cenderung kompleks. Selain kompleks, bahasa mereka juga rentan terhadap aneka pergeseran dan variasi kebahasaan.

Orang yang tinggal di daerah, katakan saja di perdesaan, cenderung memiliki bahasa yang ‘mung kuwi-kuwi wae’, alias ‘hanya itu-itu saja’. Paling ‘banter’, kalau pun terjadi variasi kebahasaan,  pasti hanya karena pengaruh bahasa daerah. Orang yang tinggal di sebuah desa Jawa, misalnya, cenderung hanya dipengaruhi bahasa Jawa sebagai bahasa ibu mereka. Artinya, bahasa Indonesia yang digunakan cenderung tidak terlalu parah kerusakannya.

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Akan tetapi, bagi mereka yang di perkotaan, bahasa-bahasa yang berpengaruh itu demikian variatif, kadangkala jamak sifatnya.  Maka, orang-orang kota cenderung ‘multilungual’. Kadangkala, masih ditambah dengan situasi ‘diglosia’, maksudnya keadaan kebahasaan di mana di antara bahasa-bahasa yang bermacam-macam itu masih terdapat peran yang membedakan.

Jadi, sepertinya benar kalau di depan saya mengatakan, bahasa orang yang tinggal di perkotaan cenderung kompleks, tidak sederhana. Kalau bahasa itu telanjur rusak, kerusakan itu juga tidak sederhana. Maka, kalau orang-orang desa sering dikatakan bahasanya ‘mung kuwi-kuwi wae’, sebaliknya orang-orang perkotaan, variasi kebahasaannya dikatakan ‘ana-ana wae’ alias ‘ada-ada saja’.

Ekspedisi Mudik 2024

Nah, ayo kita lihat tuturan pada judul tulisan di atas, ‘Mem Reni, ruange ada mana to…?’ Tuturan itu saya rekam dari perbincangan istri saya dengan seorang murid perempuan di sekolahnya. Setelah saya rekam dan saya catat—karena naluri kebahasaan saya menuntut saya melakukan hal itu—data kebahasaan itu saya konfirmasikan kepada istri, apakah betul bunyi tuturan anak perempuan itu?

Saya bertanya pula, apakah tuturan ‘nyleneh’  atau aneh itu hadir setiap waktu, ataukah hanya secara kebetulan. Ternyata memang benar! Bentuk kebahasan hadir hampir setiap waktu. Artinya, bentuk kebahasaan yang demikian itu bersistem. Nah, artinya pula, baik kalau bentuk kebahasaan itu saya catat, lalu saya paparkan di sini untuk dipelajari bersama.

Bentuk ‘ada mana’ tentu merupakan tuturan lucu kalau dirasa-rasakan. Bentuk lengkapnya adalah ‘ada di mana’. Saya tidak tahu persis, kenapa terjadi pelesapan ‘di’ di tengah tuturan itu. Apakah maksudnya adalah reduksi dan simplifikasi tuturan lisan? Mungkin juga, bentuk  demikian itu lazim ditemukan dalam banyak bahasa.

Pemenggalan bentuk kebahasaan, sehingga kode-kode kebahasaan itu serasa dipendekkan (restricted codes), memang lazim ditemukan dalam laras lisan. Pemenggalan demikian itu tidak melulu terjadi dalam bahasa laras lisan, dalam laras tulis pun—terlebih-lebih bahasa tidak resmi—hal demikian itu pun sering terjadi.

Bentuk ‘to’, yang dalam bahasa Jawa dialek tertentu pembunyian [t] tersebut lebih kuat sehingga menjadi [tho], sepertinya sangat lazim dituturkan oleh siapa saja yang tinggal di daerah Jogja dan Surakarta. Nah, sekalipun anak perempuan ‘warga keturunan’ tadi  menuturkan ‘to’, kesan bahwa dia anak Jogja atau Surakarta tetap saja kentara.

Bentuk ‘ada mana’ dan ‘ruange’ semakin menegaskan, bahwa anak perempuan itu memang ‘keturunan’. Maksudnya, keturunan China atau Tionghoa. Nah, dalam bahasa Indonesia kontemporer yang kita temukan akhir-akhir ini, agaknya semakin banyak ditemukan bentuk berklitika ‘-nya’, yang terkesan menyimpang dari kaidah pemakaian klitika sesungguhnya.

Tentu boleh kita mengatakan bentuk kebahasaan seperti ‘bukunya’ atau ‘rumahnya’ atau ‘istrinya’, yang parafrasenya dalam bahasa Indonesia ‘buku milik dia’ atau ‘rumah milik dia’ atau ‘istri milik dia’. Adapun bentuk berklitika yang saya anggap aneh itu adalah bentuk seperti, ‘Vendinya’, atau ‘Juliannya’, atau ‘Bu Reninya’. Lho, lalu klitika ‘-nya’ pada persona ‘Vendi’, ‘Julian’, ‘Bu Reni’ itu fungsinya apa?

Saya belum menemukan penjelasan yang bagus secara linguistik ihwal klitika ‘-nya’ pada bentuk kebahasaan demikian ini. Dugaan saya, bentuk seperti ini terinterferensi pemakaian  ‘panambang -ne’ dalam bahasa Jawa, yang juga memiliki fungsi klitika seperti di tadi.  Nah, ‘panambang -ne’ itu lazimnya menempel pada‘tembung lingga’ atau kata dasar tertentu.

Maka dalam bahasa Jawa ada bentuk ‘adhine’, seperti pada ‘Lha endi adhine?’ Anehnya,  dalam bahasa Jawa itu, klitika ‘-ne’ dapat menunjuk pada makna ‘-mu’ atau ‘-nya’. Maka, bentuk ‘endi adhine’ sesungguhnya bermakna ‘mana adikmu’ atau ‘mana adiknya’. Hanya kejelasan kontekslah yang menjadi penentu pokoknya, apakah ‘-ne’ semacam itu dimaknai sebagai ‘-mu’ alias ‘kamu’, ataukah ‘-nya’ alias ‘dia’ atau ‘ia’.

Nah, ‘ruange’ seperti ditunjukkan di depan, dalam beberapa kasus juga muncul sebagai ‘ruangnya’. Lalu, sebutan ‘mem’ tentu telah terpengaruh kata bahasa Inggris ‘mam’ untuk menyebut ‘ibu’, tapi anehnya bentuk itu diikuti nama. Yeah, demikianlah fenomena bahasa kontemporer yang sekarang bersama-sama kita miliki. Memang kacau kalau mau dibilang kacau, tetapi juga menarik kalau hendak dibilang menarik. Bagi saya, yang pereksa bahasa ini, fenomena kebahasaan demikian ini tetap saja ‘rruuaarr biasa’.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya