SOLOPOS.COM - Adib Baroya Al Fahmi/Istimewa

Solopos.com, SOLO — Perguruan tinggi memang harus memiliki corak pemikiran dan paradigma yang menjadi pijakan sekaligus acuan dalam kerja-kerja akademis dan intelektual. Paradigma keilmuan ini membangun asas ke mana bahtera kampus akan mengantarkan para civitas academica.

Dapat pula dianalogikan bahwa paradigma keilmuan semacam mata angin yang memiliki derajat dan arah, sedangkan kampus adalah petualang. Paradigma kelimuan memberikan penanda dan distingsi antara kampus satu dengan kampus yang lain.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Karakteristik yang khas akan melekat pada citra kampus. Sebut saja Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan “jaring laba-laba”, UIN Sunan Maulana Malik Ibrahim Malang dengan “pohon ilmu”, dan UIN Walisongo Semarang dengan “intan berlian ilmu”.

Corak paradigmatik ini menjadi basis mengembangkan kampus. Laku mengembangkan itu semestinya melebur dalam aneka praktik keilmuan di kampus. Pelbagai model kerangka pemikiran tersebut pada akhirnya bermuara pada hilir memperkukuh landasan tri darma perguruan tinggi.

Visi pendidikan memang begitu penting, mengingat sumber daya alam maupun manusia masih perlu perbaikan serius. Agus Wedi dalam esai berjudul Paradigma Keilmuan IAIN (Subrubrik Mimbar Mahasiswa di Harian Solopos edisi 19 November 2019) mengungkapkan keprihatinan dan mempertanyakan di mana sebenarnya letak dan arah paradigma keilmuan Institut Agama Islan Negeri (IAIN) Surakarta.

Agus bertanya-tanya apakah paradigma tersebut masih relevan dengan perubahan zaman yang senantiasa bergulir kencang. Secara proporsional, rumusan paradigma ini memiliki sangkut-paut dengan identitas keilmuan, sehingga tidak boleh disepelekan. Kita tak bisa membayangkan suatu kampus berdiri tanpa dasar paradigma.

Saya setuju dengan pendapat Agus, bahwa lebih penting memikirkan pola pemikiran apa yang akan diambil atau langkah-langkah apa saja yang akan ditempuh demi masa depan ketimbang sibuk mendiskusikan alih status IAIN menjadi UIN.

Menyingkap Tabir

Hal yang sungguh penting digarisbawahi adalah Agus telah menyingkap tabir yang selama ini berada dalam kabut bayang-bayang. Jamak civitas academica belum memahami atau mengerti sama sekali perihal paradigma keilmuan ini. Yang terjadi adalah rutinitas yang monoton. Kampus tak lebih dari sekadar pencetak sarjana setiap tahun.

Toto Suharto dalam buku Wacana Paradigma Keilmuan IAIN Surakarta (2016) menyebut paradigma Theo-anthropo-cosmosentered bisa dimetaforakan menjadi “segitiga ilmu”. Apabila dicermati secara lebih mendalam, kita bisa melihat sebuah kesatuan yang utuh dan kompleks dari tiga wilayah tersebut.

Paradigma segitiga ilmu mengenai Tuhan, manusia, dan kosmos tersebut apabila dilaksanakan secara terintegrasi bakal menimbulkan dampak positif yang luas menyangkut keseluruhan alam. Sampai pada titik ini, yang menjadi permasalahan adalah dampak dari implementasi paradigma itu belum terasa.

Kebijakan memperbarui pendidikan harus sesegera mungkin harus dilaksanakan. Ada jalan keluar yang barangkali dapat ditempuh kampus, yakni meneguhkan kembali niat dan tujuan serta entitas nilai-nilai yang terdapat dalam paradigma keilmuan dan implementasi terhadap segala aspek di kampus.

Penerapan ini tentu harus dilakukan secara komprehensif sampai pada tercapainya puncak kulminasi kemajuan dan peradaban. Upaya-upaya meneguhkan ini bisa dimulai dari menilik ke belakang. Seberapa jauhkah persentase keberhasilan atas prospek yang selama ini digaung-gaungkan dan menjadi dasar tumpuan? Seberapa besar pengaruh bagi diri civitas academica, signifikan atau tidak?

Pengkajian ulang lewat pertanyaan ini bakal memberikan efek besar, bertujuan menemukan lubang-lubang kosong yang belum terisi atau program kerja yang belum terealisasi sehingga dapat ditentukan mana yang perlu dibenahi. Penting pula mengetahui tingkat efisiensi dan efektivitas pelaksanaan.

Hal yang cukup penting adalah perlu diadakan  halaqoh yang rutin melibatkan siapa saja di kampus, mahasiswa atau dosen, sehingga halaqoh ini mampu mengurangi kesenjangan antara pelaku subjek pendidikan dan memperkuat jaringan komunikasi satu dengan yang lain demi memperbanyak relasi dan kesatuan visi dan misi.

Problem yang menghinggapi pendidikan kita harus diselesaikan dengan tindakan revolusiner. Mengutip Soesilo Toer dalam buku Kritik Pendidikan Nasional dan Sekitar Hari Pendidikan Nasional (2019), makin lamban pembaruan dalam konsep pendidikan di Indonesia, makin panjang dampak bagi tercapainya cita-cita bersama, makin jauh bangsa ini tertinggal dari bangsa-bangsa lain.

Memanusiakan Manusia

Ikhtiar mencerdaskan bangsa melalui pendidikan yang memanusiakan manusia memerlukan konsep yang integral, sistematis, dan dinamis. Dunia dan zaman membutuhkan konsep pendidikan yang tidak stagnan sehingga melahirkan lulusan yang unggul, kritis, dan inovatif.

Tugas utama perguruan tinggi pada dasarnya adalah menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat secara universal. Semakin lama zaman melahirkan manusia-manusia yang tidak peka terhadap lingkungan dan pada akhirnya memunculkan sikap individualisme atau gagap sosial.

Isu-isu kebudayaan, ekologi, politik, ekonomi, spiritual, dan moralitas sejatinya mampu dipecahkan melalui pendidikan. Model pengembangan kampus secara holistik harus mampu menjawab pergolakan zaman yang setiap saat berubah itu.

Dengan demikian perjalanan “bahtera” kampus dapat senantiasa lurus dan mulus. Banyak hal yang harus dibenahi. Pertimbangan demi pertimbangan harus ditakar dengan tepat. Sungguh percuma apabila ide-ide cemerlang hanya ada di awang-awang. Jika paradigma kampus IAIN sampai kini masih berada dalam ruang kebimbangan atau berwarna abu-abu, kenapa harus bersikeras bertransformasi menjadi UIN?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya