SOLOPOS.COM - Suasana TPU Bonoloyo Solo pekan lalu. Lahan TPU ini makin lama makin sempit karena menyesuaikan kebutuhan pemakaman yang rata-rata 60 jenazah per bulan. Saat puncak pandemi Covid-19 lalu, TPU Bonoloyo menerima 300 jenazah per bulan. (Espos/Ayu Prawitasari)

Solopos.com, SOLO—Ketika satu tubuh kembali ke tanah, satu pohon kamboja berjuang hidup di samping makamnya. Sebuah doa mengiringi, kelak kamboja tumbuh besar dan menjadi peneduh rumah terakhir yang telah pergi.

Dari satu pohon kamboja, tanah seluas 15 hektare (ha) Tempat Permakaman Umum (TPU) Bonoloyo, Solo, kini menjadi tempat yang sungguh rindang dengan puluhan pohon kamboja yang menaungi. Orang-orang terus pergi ke peristirahatan terakhir, sementara pohon kamboja juga terus bertambah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Makin banyak mereka yang pergi, semakin banyak pula kamboja di permakaman. TPU menciptakan siklus tanpa jeda tentang pertambahan yang hidup dan yang mati sebelum kemudian berhenti.

Siklus itu mulai goyah ketika kebutuhan lahan untuk makam terus bertambah, sementara luasan TPU sama saja. Kini, tak ada lagi tempat untuk pohon kamboja baru di Bonoloyo. Petak yang tersisa hanya untuk jenazah baru. Makam-makam yang terlupakan sama saja, lubang yang digali kembali bukan untuk kamboja, melainkan untuk tubuh manusia.

Yang Bonoloyo kisahkan tentang hidup dan mati kini bergeser. Pohon kamboja dewasa dengan akar yang makin kuat dan ranting yang makin panjang bukan hanya memberikan keteduhan, namun juga penghidupan. Makin banyak makam yang terlindung di bawahnya, makin banyak pula bunga-bunga yang mekar kemudian berguguran di setiap nisan dan sekelilingnya. Di Bonoloyo, hampir setiap jengkalnya selalu ada bunga kamboja yang berguguran.

Melihat kamboja yang berguguran, tidak ada yang lebih bahagia selain para tunggon. Tunggon adalah sebutan untuk mereka yang menggantungkan hidup di TPU Bonoloyo, mulai dari pembersih makam hingga pengumpul kamboja. Dua pekerjaan ini umumnya dilakukan satu orang meski kadang pengumpul kamboja tak selalu pembersih makam, namun pembersih makam hampir dipastikan pengumpul kamboja juga.

Jumlah tunggon ini berubah-ubah, sekitar 50 orang pada hari-hari biasa dan bisa menjadi 250-an orang saat permakaman ramai, khususnya pada bulan Ruwah dan Lebaran. Kamboja segar di tanah tak pernah berumur panjang, akan berpindah tempat, masuk ke karung yang dibawa tunggon.

Sebelum dijual, bunga kamboja dikeringkan dulu. Tak butuh waktu lama membuat bunga kamboja kering dengan catatan cuaca panas sepanjang hari. Dalam satu hari saja, bunga putih itu akan berubah menjadi kecokelatan. Namun, ceritanya menjadi lain saat musim penghujan. Butuh waktu 3-4 hari membuat bunga-bunga tersebut kering.

Bunga Keberuntungan

Itulah kenapa wajah Siti Rohinatun, 62, cemberut. Perempuan itu mengomel panjang-pendek karena bunga kamboja yang dia jemur di halaman sebuah makam tak juga kering. “Sudah tiga hari belum kering juga,” kata dia kepada saya, belum lama ini.

Rohinatun dan suaminya sama-sama tunggon yang mencari bunga kamboja di Bonoloyo. Perempuan itu menggantungkan hidupnya di permakaman sejak anak pertamanya yang kini berusia 40 tahun belum lahir.

Bunga kamboja menjadi bunga keberuntungannya, sejak satu kilogram dihargai Rp3.000 hingga kini Rp20.000. Uang hasil menjual kamboja dan membersihkan makam ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membesarkan keempat anaknya, dua lelaki dan dua perempuan. Gabungan pendapatan suami-istri itu masih jauh dari kata cukup sehingga keempat anaknya tumbuh besar dalam lingkar kemiskinan yang sama. Anak-anaknya menjadi buruh serabutan dan bangunan yang terkadang membantu di permakaman juga.

Bonoloyo memang tidak hanya menyuguhkan cerita kematian, namun juga kemiskinan yang diturunkan dari generasi ke generasi. “Sebenarnya tidak ada gelandangan di sini, yang orang-orang lihat seperti gelandangan itu sebenarnya warga sekitar yang bekerja sebagai pembersih makam, penggali kubur, dan pengumpul kamboja,” kata pengelola TPU Bonoloyo, Suwarsono.

Baca Juga: Di Jayengan Solo, Para Leluhur Tersenyum

Para tunggon adalah warga yang tinggal di sekitar TPU. Pekerjaan sebagai tunggon adalah pekerjaan yang diwariskan orang tua mereka. Sebuah relasi terbentuk antara ahli waris dengan para tunggon. Ketika penanggung jawab makam diturunkan – kakek, bapak, cucu – tunggon pun demikian.

Sejumlah petak makam di Bonoloyo menjadi tanggung jawab tunggon tertentu dari ahli waris generasi tertentu juga. Sebuah relasi komunikasi yang diturunkan terjadi. Beberapa tunggon lebih mirip pekerja, digaji bulanan oleh ahli waris untuk merawat makam-makam tertentu.

Di Bonoloyo, usia makam terpelihara rata-rata 3 generasi kecuali yang meninggal berasal dari kalangan ekonomi atas. Usia makam bisa menjadi lebih panjang, 4-5 generasi. Begitulah yang diketahui si juru kunci Suwarsono.

Bonoloyo adalah bagian dari hidup laki-laki itu. Masa kecil Suwarsono yang merupakan pegawai Pemerintah Kota (Pemkot) Solo ini dihabiskan di sekitar Bonoloyo karena rumahnya dekat dengan TPU tersebut. Memorinya merekam Bonoloyo dari waktu ke waktu.

“Saya ingat sekali, dulu Bonoloyo selalu ramai. Tiap malam Jumat, lalu Ruwah, apalagi Lebaran. Sekarang tinggal Ruwah dan Lebaran. Itu pun tak seramai dulu,” kenangnya.

Dupa

Makin ramai TPU makin banyak tunggon yang berkerumun. Dulu, di balik gapura Bonoloyo selalu ada orang-orang yang menyewakan tempat membakar dupa untuk pelayat. Dupa menjadi bagian dari ritual mereka, menjadi sarana agar keheningan dan lantunan doa menjadi lebih khusyuk sebelum bunga-bunga ditaburkan.

Namun saat ini, dupa itu tak ada lagi. Ketika satu ritual hilang, satu pekerjaan ikut lenyap bersamanya. Yang bertahan di Bonoloyo sekarang tinggal perajin nisan, penggali kubur, pemelihara makam, dan pengumpul kamboja. Perajin nisan bertahan karena kepercayaan masyarakat Jawa perihal penghormatan kepada orang tua melalui nyewu dan memperindah makam masih berakar kuat.

Sementara, penggali kubur dan pemelihara makam juga dibutuhkan karena minimnya tenaga pengelola makam di bawah Pemkot Solo. Menurut Suwarsono, untuk tanggung jawab memelihara 15 ha Bonoloyo, hanya ada lima tenaga kerja resmi. “Saya tidak bisa membayangkan kalau tidak ada warga sekitar. Kami jelas tidak mampu. Mereka itu jelas sangat membantu,” kata Suwarsono.

Siang menjelang. Seseorang dengan t-shirt kumal dan rambut tak berpola (kanan-kiri bawahnya ditumbuhi kepalan rambut sedang tengahnya memperlihatkan kulit kepala) masuk kantor permakaman. Tak ada alas di kakinya. Dia bertanya kepada Suwarsono perihal lokasi lubang untuk jenazah yang segera datang. Dia adalah warga sekitar yang membantu petugas Pemkot menggali makam.

Suwarsono menatap denah TPU lama sementara si tunggon itu berdiri mematung. Siklus kematian dan kehidupan itu pun berputar. Saat kematian tiba, seorang tunggon menanti datangnya uang untuk meneruskan hidupnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya