SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kesenian tradisional jathilan sampai era modern ini ternyata masih banyak peminat. Generasi muda yang antusias melestarikan kesenian tari menggunakan jaran (kuda) kepang tersebut semakin eksis di masyarakat khususnya pedesaan.

Salah satunya, Jathilan Kudho Taruno yang dalam satu tahun terakhir kembali eksis. Sempat vakum enam tahun, grup yang didominasi remaja tersebut pada 2010 kembali tampil di berbagai kesempatan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pengurus Kudho Taruno, Maryoto mengatakan perlu pembenahan manajemen dan mau mengikuti zaman merupakan kunci untuk bisa diterima masyarakat. Gerakan tari harus bervariasi, dan tidak monoton.

Sejak awal berdiri di Dusun Pondok Wonolelo, Widodomartani, Ngemplak, Sleman pada 1995 lebih banyak menampilkan tarian perang. Di mana pemain saat itu banyak kontak dengan pedang ataupun lainnya. Sekarang tariannya lebih halus, meski ada perang hanya sedikit saja.

“Dulu menonjol tariannya keras, sekarang ada tarian baru semi perang jadi lebih halus,” katanya saat berbincang dengan Harian Jogja di Ngemplak, Minggu (5/6).

Perombakan personel juga dilakukan. Relatif pemain masih remaja dan duduk di bangku sekolah. Sebisa mungkin kegiatan latihan dan pertunjukan tidak bentrok dengan kegiatan belajar mengajar.

Mereka semata-mata melestarikan seni budaya. Tidak ada bayaran bagi pemain. Hanya saja dana dari tanggapan dimasukkan ke dalam kas. Secara rutin pertemuan personel dan pengurus digelar untuk penggunaan dana untuk rekreasi maupun lainnya.

“Memang kita tidak biasakan bayaran, nanti ada yang iri. Semata-mata agar jathilan bisa grengseng,” imbuh Maryoto.

Jika ada bayaran saat tampil, justru akan terjadi kecemburuan antar personel. Sehingga kekompakan untuk bisa tampil maksimal dan bisa menyajikan pertunjukan menarik adalah tujuan dari grup yang tahun ini terdaftar dalam Persatuan Kesenian Sleman.

Tanggapan jathilan dengan 60 personel termasuk penabuh gamelan bervariasi mulai dari Rp1,5 juta sekali tampil. Belum lama ini grup juga tampil di shelter Kuwang dan Plosokerep sebagai bentuk kepedulian pelaku seni bagi masyarakat pengungsi.

Bangkitnya kembali Kudho Taruno merupakan keinginan kuat tokoh masyarakat. Wonolelo sendiri memiliki ikatan kuat dengan kegiatan saparan Ki Ageng Wonolelo setiap bulan sapar. Kegiatan budaya dan kesenian telah turun temurun sejak dulu. “Itu keunggulan kami, setiap tahun ada budaya saparan sekaligus tempatnya seni budaya,” jelas Maryoto.

Salah satu pemain jathilan, Sigit Nurcahyo menjelaskan keterlibatannya dalam seni jathilan karena ingin melestarikan budaya. Selain itu sejak kecil memang suka dengan kesenian yang memerlukan kekuatan fisik itu.

“Sejak kecil suka jathilan, dulu saya pas sunatan juga nanggap jathilan,” kata remaja berambut cepak tersebut.

Tokoh masyarakat Wonolelo, Rajiyo mengatakan kemajuan seni Jatilan tergantung yang mengkoordinasi. Meski sempat vakum diharapkan akan terus eksis untuk menyemarakkan jathilan di Wonolelo. “Mudah-mudahan ini awal eksisnya Jatilan di Wonolelo,” tukasnya.(Wartawan Harian Jogja/Akhirul Anwar)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya