SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Orang yang memiliki mata melihat, dan yang memiliki telinga mendengar. Melihat dan mendengar hasil pemilu legislatif, kita tahu besar kecilnya suatu partai politik. Seseorang dapat berkata, “Partai Golkar lebih besar dari PDIP.” Yang lain menanggapi, “Partai Demokrat lebih besar dari Golkar.” Apa ada yang lebih besar lagi? “Ya, Golput lebih besar dari Partai Demokrat.” Golput bukan partai, walau besar dianggap tidak  memengaruhi legitimasi pemilu. Lain bagi yang melihatnya sebagai kegagalan demokrasi.

Melihat sesuatu yang sama, tidak berarti membuat orang yang berbeda menangkap hal yang sama, apalagi bereaksi yang sama. Tidak semua orang melihat atau mendengar dengan kesadaran. Kalau hanya melihat, anak kecil saja dapat membedakan apa atau siapa yang lebih besar. Seperti yang kadang kita dengar, seorang anak berkata, ”Ayahku lebih besar dari ayahmu.” Temannya beradu mulut tidak mau kalah, dengan cepat ia menimpali, ”Gajah lebih besar dari ayahmu.” Jengek anak pertama kemudian, “Gunung lebih besar dari gajah.”

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Mata yang melihat
Anak kedua menanggapi seraya mendelikkan matanya, “Mataku lebih besar dari gunung.” Hening sejenak. Anak pertama sempat tercengang, dan bertanya, “Apa maksudmu?” Jawab temannya, “Mataku bisa melihat ayahku, ayahmu, dan melihat gajah juga gunung atau apa saja. Semuanya masuk ke dalam mataku.” Ini bukan jawaban main-main. Tentu karena melihat secara mendalam, terkait dengan kesadaran.

Mungkin seseorang punya mata, tetapi tidak melihat. Kita sering mendengar perumpamaan tentang orang-orang buta sejak lahir yang memperdebatkan apa itu gajah. Orang buta itu masing-masing meraba kepala gajah, telinga, belalai, badan, kakinya dan lain-lain. Yang satu mengatakan bahwa gajah menyerupai jambangan, yang lain mengatakan seperti tampah, bajak, dinding lumbung, tiang, dan sebagainya (Ud. 68-69). Mereka berpikir terbatas menurut apa yang diketahuinya dan gelap terhadap kenyataan-kenyataan lain.

Bagi yang rabun, matanya perlu dikoreksi. Jika memakai kacamata, lensa berwarna akan mewarnai apa yang dilihat. Bagaimanapun indra kita memiliki keterbatasan, dan bisa membuat kita berpandangan keliru. Dalam hal penglihatan, persepsi yang tidak tepat atas suatu objek  menghasilkan ilusi. Kekeliruan dapat terjadi menyangkut pengamatan, atau pemikiran dan pengertian yang membentuk gagasan. Peribahasa mengatakan silap mata pecah kepala. Karena mata buta, karena hati mati. Jadi, kita harus sadar, hati-hati, atau waspada. Mereka yang lengah seakan-akan telah mati; mereka yang sadar waspada, tidak akan mati (Dhp. 21).

Sebuah mata dapat melihat, tapi tidak melihat mata itu sendiri. Dengan maksud yang sama, dikatakan kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak. Ada dua buah mata di setiap kepala, namun tidak saling melihat. Agar bisa melihat wajah sendiri kita memerlukan cermin. Tentu saja tidak bercermin di air keruh. Juga tidak sampai membayangkan delima merekah di mulut, bunga melur di hidung atau lebah bergantung di dagu. Hati-hati terbawa Narsisus yang jatuh cinta pada bayangan sendiri lalu mati merana. Sebaliknya, bila buruk muka, tidak pantas cermin dibelah.

Pikiran yang Melihat
Ajahn Brahm mengatakan, “Bukan mata Anda, tetapi pikiran Andalah yang merupakan hal terbesar di dunia.” Benar, pikiran kita dapat melihat segala sesuatu yang dilihat oleh mata, juga yang tidak dilihat oleh mata. Pikiran bisa mengenali adanya suara, bau, rasa, atau sentuhan yang tidak tertangkap oleh mata. Imajinasi melampaui apa yang kasat mata. Pikiran mengenali apa yang ada di luar jangkauan pancaindra. Segala sesuatu masuk ke dalam pikiran kita, dan pikiran memuat segalanya.

Mata disebut sebagai jendela jiwa. Jiwa memiliki perasaan, persepsi, bentuk pikiran dan kesadaran. Cahaya yang menembus kornea dan lensa mata difokuskan menuju retina, yang mengubahnya menjadi sinyal-sinyal yang dikirim oleh sel-sel syaraf ke pusat penglihatan di otak. Apa yang disebut melihat adalah menyadari dan mengenali sinyal-sinyal listrik dalam otak. Karena itu dapat dikatakan: pikiran yang melihat.

Kita mengenal ungkapan: melihat dengan hati. Kesadaran penglihatan muncul bersamaan dengan kontak antara organ penglihatan dengan objek penglihatan. Karena kontak tersebut muncul perasaan, persepsi dan pikiran terhadapnya. Seseorang merasa senang atau tidak senang melihat sesuatu, sesungguhnya bukan karena objek penglihatan, melainkan karena konsepsi yang dibentuk oleh pikirannya sendiri. Sebagaimana yang disabdakan oleh Buddha, pikiran adalah pemimpin, segala sesuatu dibentuk oleh pikiran (Dhp. 1-2).

Karena itu Buddha menunjuk kepada cermin tidak hanya untuk mengamati wajah dan membersihkan noda atau jerawat, tetapi juga menyangkut pikiran yang meneliti ke dalam batin, untuk membersihkan kotoran-kotoran seperti keserakahan, kedengkian, kecurangan, kemarahan, kecongkakan, kemalasan atau ketidakpedulian, dan sebagainya (M. I, 415-417). Petunjuk ini berguna bukan hanya bagi individu, melainkan juga bagi berbagai kelompok masyarakat termasuk partai politik.

Kita dianugerahi dengan bakat kemanusiaan yang paling berharga: kemampuan untuk menjadi sadar. Kita punya kekuatan untuk insaf, untuk mengubah sehingga tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kesadaran tidak cukup hanya untuk dimiliki,  melainkan perlu dipraktikkan. Tanpa kesadaran sebagai bangsa, dahulu atau di masa kini dan di kemudian hari, tidak ada kebangkitan nasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya