SOLOPOS.COM - Abu Nadzib (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Saya tidak bermaksud mempromosikan ketika menyebut sebuah “merek”: Luwes Kartasura. Semata-mata penyebutan “merek” ini sebagai apresiasi atas dedikasi melayani konsumen dengan sepenuh hati.

Saya mencoba menata kata-kata agar tidak terlalu berlebihan memberikan apresiasi. Saya ingin tetap sesuai koridor bahwa apresiasi adalah penghargaan atas sikap positif melayani konsumen.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sekaligus agar menjadi inspirasi bagi merek-merek lain melakukan hal serupa agar konsumen benar-benar nyaman dan aman saat berbelanja. Orientasinya semata-mata demi kepentingan konsumen.

Sekitar sebulan lalu istri saya berbelanja di Luwes Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah. Barang belanjaan cukup banyak sehingga harus dibagi dalam beberapa kantong plastik. Ternyata ada satu kantong plastik belanjaan yang tertinggal.

Istri saya baru menyadari ada barang belanjaan yang kurang itu dua hari setelah berbelanja. Saya mengantar istri saya ke Luwes Kartasura dan bertanya kepada petugas penitipan barang. Kami diminta menunjukkan setruk tanda bukti belanja. Setruk belanja telanjur dibuang ke tempat sampah.

Satu-satunya hal yang bisa untuk dicek oleh karyawan Luwes Kartasura adalah mengetes istri saya tentang barang belanjaan apa saja yang tertinggal. Istri saya lantas menyebut beberapa barang yang dia ingat.

Ternyata banyak belanjaan konsumen yang tertinggal dan disimpan di loket-loket dekat penitipan barang. Di kantong-kantong plastik tersebut ada tulisan tanggal belanjaan konsumen itu tertinggal.

Beberapa di antara tulisan itu sudah luntur, menandakan sudah cukup lama plastik belanjaan tersebut tertinggal di toko swalayan itu. Karyawan tersebut lantas masuk ke ruang kamera CCTV untuk mengecek.

Saat dia kembali, terjadi perbincangan singkat dengan kami. Barang-barang yang disebut istri saya ternyata benar ada di salah satu kantong plastik belanjaan yang tertinggal tersebut. Singkat cerita, barang diserahkan kepada kami.

Kami senang bukan kepalang. Nilai belanjaan itu cukup besar. Istri saya langsung mengunggah pengalaman itu di akun Facebook. Sambutan bermunculan. Beberapa memberi apresiasi, sisanya bercerita pengalaman yang sama di Luwes di daerah lainnya.

Saya merasa perlu menuliskan pengalaman ini sebagai apresiasi kebijakan manajemen Luwes berpihak kepada konsumen. Sebenarnya bersikap masa bodoh pun mereka tidak salah. Tidak ada pasal dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mewajibkan mereka menyimpan barang belanjaan konsumen yang tertinggal.

Kewajiban pelaku usaha berdasar Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usaha serta memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

Kemudian, memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif dan menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

Kewajiban lainnya adalah memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

Selanjutnya memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan dan memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Tidak ada kewajiban menyimpan barang belanjaan yang tertinggal. Jika mau berlaku curang bisa saja. Toh, tidak ada mengecek. Selepas konsumen membayar barang belanjaan di kasir dan barang sudah diserahterimakan, tidak ada lagi kewajiban pelaku usaha mengawasi apakah barang konsumen tersebut sudah dibawa pulang atau belum.

Iktikad Baik

Saya menyebut ini “melayani dengan hati.” Nurani yang berbicara. Ini pembangunan citra yang bagus bagi Luwes. Mengamankan barang belanjaan konsumen yang tertinggal membuat citra Luwes menjadi bagus di mata konsumen.

Unggahan istri saya di media sosial mendapat tanggapan dari beberapa orang yang berkisah pengalaman yang sama di Luwes di tempat lain. Artinya, ini kebijakan manajemen, bukan karyawan toko swalayan itu.

Menyimpan belanjaan tertinggal menjadi standar kerja yang harus dilakukan semua karyawan Luwes. Ini sesuatu yang bagus untuk digalakkan. Kami punya pengalaman mirip di dua pusat perbelanjaan lainnya dan tidak bernasib baik.

Sebelum kasus di Luwes Kartasura, kami pernah ketinggalan daging ayam di toko swalayan lain dan baru ingat dua jam setelah itu saat makan di warung. Selesai makan kami kembali ke pusat perbelanjaan tersebut. Beberapa petugasnya menyatakan tidak ada barang belanjaan tertinggal.

Kami tidak menuduh mereka curang. Bisa jadi konsumen lain yang merasa mendapat rezeki dari belanjaan tertinggal. Kami meminta kamera CCTV dicek agar kelihatan siapa yang curang, namun tidak dilaksanakan. Akhirnya kami pulang dengan kecewa.

Tidak semua bekerja dengan hati. Pengalaman hampir serupa terjadi di pusat perbelanjaan lain. Ketika itu kartu ATM saya ketlisut saat berada di kasir. Saya yakin kartu terjatuh di sekitar meja kasir. Saya meminta waktu mencari, namun tidak diperkenankan oleh kasir.

Saya diminta melapor ke petugas keamanan bahwa telah kehilangan ATM. Saya protes. Saya belum beranjak dari kasir. Bagaimana mungkin tidak dibolehkan mencari ATM di sekitar tempat itu dan harus mengikuti prosedur kaku melapor ke satuan pengamanan.

Setelah saya agak marah akhirnya datang manajer toko yang mempersilakan kami mencari. ATM tersebut memang terjatuh di bawah meja kasir tempat sang karyawan berdiri. Itu tidak bekerja dengan hati. Hanya saklek dengan peraturan dan kurang luwes melayani konsumen.



Tidak semua harus persis seperti peraturan jika berkaitan dengan kenyamanan konsumen. Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen mengamanatkan pelaku usaha beriktikad baik. Ini bisa diterjemahkan sebagai bekerja dengan hati, memberikan yang terbaik kepada konsumen selama tidak merugikan pelaku usaha.

Pada Pasal 7 itu pelaku usaha juga wajib memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Itu semua bisa dilakukan hanya jika bekerja dengan hati, kebijakan melayani dengan hati. Semoga kebijakan di Luwes Kartasura ini juga diterapkan di pusat perbelanjaan yang lain.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 November 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya