SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (6/11/2017). Esai ini karya Ichwan Prasetyo, jurnalis Solopos. Alamat e-mail penulis adalah ichwan.prasetyo@solopos.co.id.

Solopos.com, SOLO–Laman The Economist, www.economist.com, pada Sabtu (4/11) lalu mengunggah artikel utama berjudul Do Social Media Threaten Democracy?  Dalam pemaknaan saya secara ringkas, artikel yang menurut saya menarik itu menjelaskan tentang dunia yang “dikuasai” media sosial telah mengalami penurunan kualitas.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Degradasi mutu dunia itu akibat tersebar luasnya ketidakbenaran, hoaks, kebencian, kemurkaan, pembusukan kondisi sosial yang kemudian memperburuk pengubu-kubuan di tengah masyarakat. Masyarakat yang “berpedoman” pada media sosial mengidap sakit “parah” pengubu-kubuan.

Kubu-kubu yang terbentuk itu ada yang berlandasan pandangan politik; sentimen suku, agama, rasa, dan golongan; atau semata-mata hanya karena seseorang atau sekelompok orang menemukan orang lain atau sekelompok orang lain yang sama-sama tak suka pada orang atau sekelompok orang lain.

Media sosial sebagai fenomena hasil teknologi komunikasi dan informasi sebenarnya adalah produk bisnis. Sebagai produk bisnis tentu saja media sosial itu juga diberdayakan agar menguntungkan. Media sosial menjadi sarana berbisnis pula.

Bisnis inti media sosial adalah menarik perhatian. Dalam tinjauan bisnis secara lumrah maupun bisnis yang ”tidak lumrah”—misalnya menggunakan media sosial dalam urusan politik—media sosial diberdayakan untuk menarik perhatian khalayak penggunanya.

Foto, video, pendapat pribadi, curahan isi hati, iklan, dan berita ditampilkan di linimas media sosial untuk mendapatkan data pengguna media sosial itu. Data-data yang dihimpun itu bisa digunakan untuk menganalisis kecenderungan khalayak pengguna media sosial.

Selanjutnya adalah: Data-data itu sangat membantu…

Data-data

Data-data itu akan sangat membantu untuk merumuskan algoritme cara menguasai perhatian khalayak pengguna media sosial. Dalam konteks bisnis lumrah, media sosial bisa menghimpun data untuk merumuskan algoritme cara menjual produk tertentu kepada khalayak pengguna media sosial.

Dalam konteks bisnis yang ”tidak lumrah”—urusan politik misalnya—data yang dihimpun dari media sosial bisa digunakan merumuskan algoritme untuk menentuka tema kampanye apa yang layak disampaikan kepada khalayak pengguna media sosial.

Siapa pun yang tekun dan mampu mengolah data-data yang dihimpun menggunakan media sosial itu akan bisa merumuskan algoritme tertentu untuk mengetahui apa saja yang tidak akan bisa ditolak oleh khalayak pengguna media sosial.

Kala tak bisa menolak sajian di media sosial, yang akan dilakukan hanyalah scrolling, mengklik, dan kemudian membagikannya. Dalam algoritme ”bisnis politik” salah satu tujuan berkampanye di media sosial adalah kampanye yang bermutu maupun kampanye biadab dengan menebarkan hoaks, fitnah, insinuasi, atau pembusukan terhadap lawan politik.

Sistem demikian ini, menurut pemaknaan saya atas artikel pendek pengantar artikel panjang edisi cetak The Economist tersebut, akan membuat pendapat yang disebar melalui media sosial selalu bertumpu pada algoritme yang mengklasifikasikan pendapat yang lekat dengan bias primordial dan lekat dengan kedirian pribadi pengguan media sosial.

Selanjutnya adalah: Alih-alih menjadi sumber kebijaksanaan…

Sumber kebijaksanaan

Alih-alih menjadi sumber kebijaksanaan, media sosial dalam konteks ini malah memperkuat bias di kalangan pengguna media sosial. Dalam politik dengan pengubu-kubuan yang “biadab”, dengan politikus-politikus yang beraktivitas atas dasar teori konspirasi dan algoritme “yang penting menang”, dan masyarakat—pengguna media sosial—yang lekat dengan sentimen primordial maka demokrasi bisa terancam dan macet.

The Economist melaporkan bermacam platform media sosial digunakan untuk membelah masyarakat yang sebenarnya telah dalam kondisi terbelah karena status-status sosial yang disandang. Sosiolog asal Prancis, Pierre Bourdieu, menyebutnya sebagai ”menstrukturkan masyarakat yang telah terstruktur”.

Dalam pengalaman kita, pembelahan masyarakat—yang sebenarnya telah terbelah—itu sangat kentara sejak pemilihan presiden pada 2014 dan kemudian kian ”brutal dan biadab” pada pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta pada beberapa bulan lalu.

Dalam konteks yang lain, pembelahan masyarakat itu juga kelihatan ketika isu atau pendapat yang disebar di media sosial itu terkait dengan dinamika kondisi sosial ekonomi.

Isu ketimpangan kesejahteraan, kemiskinan, ketenagakerjaan, investasi, pemerintah yang giat membangun infrastruktur, dan hal-hal lain terkait dinamika sosial ekonomi dikelola dengan algoritme tertentu menjadi isu, pendapat, berita yang disesuaikan dengan kepentingan ”pembuatnya” atau sponsor pembuatanya dan dicocokkan dengan karakter khalayak pengguna media sosial.

Hasil yang paling kelihatan kemudian adalah kelompok masyarakat—pengguna media sosial—yang waton maido, apa pun kerja pemerintah tidak layak diapresiasi karena pemerintah dikelola oleh orang yang berseberangan secara politik.

Selanjutnya adalah: Orang-orang waton maido…

Waton maido



Selain orang-orang waton maido juga muncul masyarakat—pengguna media sosial—yang waton sulaya, semua hal dijadikan bahan bertengkar demi memuaskan hasrat primordialisme pribadi atau kelompok.

Mengapa hal demikian terjadi? Apakah algoritme berbasis data yang dihimpun dari media sosial itu begitu berdaya? Penyebab mendasarnya, sebagaimana saya kutip dari buku Arah Baru Masa Depan Industri Informasi, 20 Tahun Solopos terbitan PT Aksara Solopos, setidaknya ada dua hal.

Pertama, warga media sosial cenderung berpikir instan yang lebih merupakan reaksi sesaat terhadap rangsangan seketika. Daniel Dhakidae mendeskripsikannya sebagai tidak lagi berpikir dengan keseluruhan diri, tetapi berpikir dengan jari ketika menulis di media sosial, lebih tergantung pada kecepatan jari daripada ketelatenan berpikir.

Kedua, deep thingking dianggap membuang waktu karena yang jauh lebih diperlukan bukan menyelami persoalan sampai ke akar-akarnya, tetapi menjelajah persoalan sepanjang permukaan (oppervlakkig) sejauh mungkin dan sebanyak mungkin sampai tidak bisa dibedakan lagi mana informasi mana kebisingan (noise) atau mana gabah mana sekam.

Pada 1962, ilmuwan politik dari Inggris, Bernard Crick, menerbitkan buku  In Defence of Politics. Dia berargumen seni berpolitik, yang jauh dari kekusutan, memungkinkan orang-orang dari keyakinan yang berbeda hidup bersama dalam damai dan berkembang dalam masyarakat beradab.

Dalam demokrasi liberal tak seorang pun tahu persis apa yang dia inginkan, tetapi semua orang secara luas mempunyai kebebasan untuk menjalani kehidupan yang dipilih, namun tanpa informasi yang layak, kesopanan, dan konsiliasi, masyarakat akan mengatasi perbedaan mereka dengan pemaksaan. Inilah yang menggejala kini di tengah masyarakat media sosial.

Saya berkeyakinan ini harus dilawan. Cara melawannya bisa sangat mudah. Dimulai dari diri sendiri. Jangan menjadi pribadi yang gumunan, kagetan, dan aja dumeh. Jangan mau begitu saja dirayu dan dipengaruhi pesan-pesan di media sosial yang dibangun dengan algoritme tertentu dan khas.

Intinya adalah melawan “kedangkalan” yang menjadi narasi besar warga media sosial. Kedangkalan karena enggan berpikir dan lebih mementingkan sensasi permukaan yang berujung klik dan bagikan.

Dalam kerja kolektif bisa saja berupa kampanye-kampanye positif, semacam kampanye ihwal kesadaran tentang keragaman, kampanye tentang mencegah diri jadi penebar hoaks, dan sejenisnya yang dibangun dengan algoritme berbasis data yang dihimpun dari media sosial pula.

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya