SOLOPOS.COM - M Farid Wajdi, Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta (ist)

M Farid Wajdi, Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta (ist)

Aturan baru distribusi dan pencairan dana bantuan sosial (Bansos) tak  logis! Demikian komentar Wakil Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo (SOLOPOS, 21/11/2011).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Komentar senada juga dikemukakan jajaran pemerintah daerah (Pemda) lain atau DPRD terkait Permendagri No 32/2011 yang ditetapkan pada 27 Juli 2011.

Permendagri tersebut tidak hanya mengatur belanja Bansos. Permendagri itu tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD. Dengan Permendagri ini, belanja hibah dan Bansos tidak bisa sekehendak penguasa daerah.

Mengapa Mendagri menerbitkan peraturan tersebut? Ada masalah apa yang perlu ditangani sehingga perlu diterbitkan peraturan tersebut?

Tulisan ini mencoba menguraikan secara singkat gambaran sekitar terbitnya peraturan tersebut. Dalam konsideran dinyatakan peraturan tersebut dalam rangka pembinaan pengelolaan hibah dan Bansos agar tertib administrasi, akuntabel dan transparan.

Sebagian besar Pemda belum mengatur belanja Bansos dan hibah dengan tegas dan jelas. Banyak penyelewengan dalam penggunaan dua jenis dana belanja itu.

Latar belakang lainnya yaitu ada permasalahan hukum terkait pemberian hibah dan Bansos dan hasil kajian serta rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang perlu ditindaklanjuti.

Uji petik Bansos oleh ICW pada 2011 menemukan empat penyimpangan program dana hibah dan Bansos. Pertama, lembaga penerima hibah fiktif. Kedua, lembaga penerima hibah alamatnya sama. Selain itu, dalam daftar penerima hibah juga ditemukan nama penerima yang tidak jelas dengan alamat yang sama.

Ketiga, aliran dana ke lembaga yang dipimpin keluarga pejabat. Dana hibah banyak yang didistribusikan kepada lembaga-lembaga yang dipimpin keluarga pejabat.

Keempat, dana hibah tidak utuh. Nilai dana hibah yang diterima lembaga tidak sesuai dengan pagu yag ditetapkan oleh otoritas pengelola keuangan dan aset daerah. Sebelum terbit Permendagri No 32/2011, banyak terjadi praktik politisasi belanja Bansos demi kepentingan pemenangan Pilkada dan kepentingan politik lainnya.

Pentingnya pengaturan pengelolaan dana Bansos dapat dilihat dari besarnya belanja yang telah dikeluarkan daerah secara nasional. Data APBD provinsi dan kabupaten/kota menunjukkan jumlah dana belanja hibah dan Bansos pada 2009 mencapai Rp 22,61 triliun atau 5,28% dari total belanja daerah.

Kemudian pada 2010 naik menjadi Rp 30,39 triliun atau sekitar 6,85% dari belanja daerah. Sedangkan pada 2011 ini tercatat Rp 23,15 triliun atau 4,56 % dari belanja daerah.

Risiko sosial

Terdapat beberapa ketentuan tentang belanja hibah dan Bansos dalam Permendagri No 22/2011 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2012. Di antara ketentuan tersebut adalah pemberian hibah dan Bansos harus dibatasi.

Harus secara selektif. Kriterianya harus jelas dan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah. Rencana belanja hibah dan Bansos harus ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.

Bansos dalam Permendagri No 32/2011 adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari Pemda kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus-menerus dan selektif yang bertujuan melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.

Risiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam yang jika tidak diberikan belanja Bansos akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.

Risiko sosial yang menjadi alasan pemberian dana Bansos perlu dipahami secara mendalam oleh semua pihak agar tidak menimbulkan salah pengertian nantinya.

Permendari No 32/2011 mengubah tata kelola dana Bansos. Pertama, semua penerima hibah harus dicantumkan dalam RKA SKPD dan RKA PPKD sampai dengan rincian objek. Bansos akan terasa sangat rigid dan kaku (Prasetyo, 2011).

Kedua, penanganan kejadian insidental. Bagaimana dengan keadaan yang terjadi secara mendadak/tidak terduga? Untuk mengatasi situasi seperti ini kepala daerah tidak bisa lagi memberikan bantuan dari belanja Bansos, tetapi dapat diambil dari dana keadaan darurat atau keperluan mendesak sebagaimana diatur dalam Pasal 162 Permendagri  No 21/2011.

Dari perturan yang rigid tersebut muncul pertanyaan bagaimana untuk daerah yang sering terjadi kejadian insidental? Ini harus diantisipasi dengan memperbesar belanja tidak terduga.

Permendagri No 22/2011 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2012 mengandung beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pemda harus menyusun sistem dan prosedur penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja hibah, belanja Bansos serta belanja bantuan keuangan yang ditetapkan dalam peraturan kepala daerah.

Kriteria penerima Bansos di antaranya penerima harus punya risiko sosial, menyangkut pemberdayaan, rehabilitasi, jaminan sosial, penanggulangan kemiskinan dan program bencana alam. Orang tidak terkena risiko sosial tidak dapat menerima Bansos dari APBD.



Sedangkan bantuan untuk suatu kelompok harus kelompok yang menangani masalah sosial seperti panti asuhan, panti jompo, serta yayasan yang mengelola orang cacat,  yang semuanya itu dalam konteks orang miskin.

Lama dan berbelit
Mekanisme pengelolaan dana Bansos cukup panjang, perlu waktu lama dan berbelit, dimulai dari proposal yang diajukan kepada Pemda.

Proposal harus diverifikasi oleh SKPD terkait, ditelaah dan direkomendasi oleh TAPD, disahkan kepala daerah, dimasukkan ke KUA-PPAS, dibahas dengan DPRD, dimasukkan dalam RKA SKPD, dimasukkan ke APBD, dibuatkan DPA, dibuatkan SK daftar nama dan besaran bantuan dan penandatanganan naskah perjanjian  dengan  penerima hibah dan Bansos.

Dalam proses pengelolaan belanja Bansos ini kepala daerah meminta instansi terkait  untuk meneliti  permohonan  para calon penerima.

Misalnya calon penerimanya   organisasi kemasyarakatan,  Kesbangpol & Linmas  yang memverifikasi. Jika  terkait  pendidikan melalui Dinas Pendidikan,    kesehatan melalui  Dinas Kesehatan (Dinkes),  keagamaan jadi wewenang Kantor Kementerian Agama atau dinas/bagian atau biro terkait jika di provinsi.

Tata cara pelaksanaan  penyaluran dana hibah dan Bansos ini sangat penting diketahui oleh semua pihak.

Sebagai penutup tulisan ini, yang perlu dicermati bahwa kebutuhan atas dana Bansos adalah kebutuhan masyarakat yang sebagian besar tidak bisa diprediksi.

Kebutuhan ini seperti ketika mengalami musibah kecelakaan, PHK, sakit, kebakaran, kegiatan kemasyarakatan seperti lomba-lomba, kegiatan kepemudaan yang kadang baru direncanakan beberapa pekan atau hitungan hari.

Demikian juga jumlahnya tidak dapat diprediksi, kecuali  menggunakan patokan pagu realisasi tahun sebelumnya. Dari panjangnya birokrasi administrasi yang harus dilalui dalam membelanjakan dana Bansos, jelas memerlukan penanganan lebih lanjut untuk mengatasi berbagai masalah sosial (krisis sosial) yang kemungkinan besar selalu terjadi di berbagai daerah.

(M Farid Wajdi, Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya