SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Danie H Soe’oed, Wartawan SOLOPOS (Dok.SOLOPOS)

Dalam beberapa kesempatan ketika bertemu dengan para pengusaha, public relation officer (PRO) hotel atau pejabat pemerintah, mereka sering bertanya,”Saya ingin mengadakan acara, mengundang wartawan, kira-kira berapa anggaran yang harus saya sediakan?”

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pertanyaan seperti itu sering kali membuat telinga dan wajah saya memerah dan menimbulkan kekesalan pada diri saya.

Namun, kekesalan dan rasa jengah itu hanya muncul sesaat. Saya segera sadar bahwa mereka yang bertanya seperti itu memang tidak punya pengalaman sama sekali untuk berhubungan dengan wartawan atau awak media massa.

Ternyata kesan inilah yang juga ditangkap masyarakat kalau mereka ingin berhubungan dengan media massa.

Setelah saya renungkan, kesan seperti itu sebenarnya tidak terlepas dengan sepak terjang para wartawan baik yang betul-betul bekerja di media massa, maupun para wartawan gadungan atau wartawan abal-abal yang sering juga disebut wartawan bodreks.

Pada awal karier saya sebagai wartawan di Harian Bisnis Indonesia di Jakarta, pemimpin redaksi harian ekonomi ini, Amir Daud (almarhum), menekankan pentingnya seorang wartawan menjaga integritas, sebab wartawan adalah etalase surat kabar tempat dia bekerja.

Artinya, kalau wartawan di lapangan tidak bisa menjaga integritas, jangan harap masyarakat akan percaya kepada media tempat si wartawan itu bekerja.

Ajaran dan wejangan Amir Daud itu kemudian saya terapkan ketika saya dipercaya manajemen untuk mendirikan Harian SOLOPOS bersama dua rekan saya lainnya, YA Sunyoto (almarhum) dan Bambang Natur Rahadi. Kami bertiga berkomitmen menerapkan aturan wartawan yang bekerja di SOLOPOS dilarang menerima apapun dari nara sumber kalau itu berkaitan dengan pemberitaan.

Tentu saja ketika wartawan diundang untuk menjadi nara sumber dalam sebuah seminar, atau menjadi dosen tamu sebuah perguruan tinggi dan sejenisnya boleh menerima imbalan dari pekerjaan yang dilakukannya itu karena itu di luar profesinya sebagai seorang pencari fakta sebagai bahan berita.

Kami juga sepakat jika ada wartawan yang menerima sesuatu dari nara sumbernya, maka hanya satu sanksinya, pemecatan. Sebetulnya itu bukan sesuatu yang luar biasa, beberapa surat kabar besar seperti Kompas, misalnya, juga menerapkan aturan seperti ini.

Latar belakang seperti inilah yang kemudian sering melahirkan pertanyaan seperti saya tulis di awal tulisan ini. Kemudian secara perlahan namun pasti, para wartawan kami di lapangan menunjukkan keseriusan mereka untuk mematuhi aturan ini ketika berhubungan dengan para nara sumber mereka.
Mereka selalu menolak secara halus dan kalau pun terpaksa menerimanya, kemudian mereka serahkan kepada sekretariat redaksi yang kemudian akan mengembalikan pemberian itu kepada nara sumber si wartawan tadi. Bahkan kami umumkan di media kami.

Sehingga tidak terlalu mengherankan kalau kemudian masyarakat luas memahami kebijakan yang diterapkan SOLOPOS. Pada saat yang bersamaan, pemberian uang atau yang lazim disebut amplop dari nara sumber kepada para wartawan lain masih terus berkelanjutan.

Karena itu tidak terlalu mengherankan kalau sampai hari ini masih banyak wartawan yang mengantre untuk menerima amplop setelah berlangsungnya sebuah acara. Justru kesan inilah yang lebih ditangkap masyarakat.

Berita dan iklan

Banyak yang masih belum paham perbedaan antara iklan dan berita, karena pada umumnya isi media baik itu cetak maupun elektronik (radio dan televisi), dapat dibagi dua, yaitu berita dan iklan.

Artinya jika seseorang ingin kegiatannya diliput oleh wartawan dan dipublikasikan dalam bentuk berita, maka orang tersebut tidak perlu membayar serupiah pun. Sebaliknya, jika seseorang ingin mengiklankan kegiatan usahanya atau kegiatan lainnya maka dia wajib membayar untuk pemuatan iklan tersebut.

Menarik bayaran dari seseorang atau perusahaan yang memasang iklan di media cetak, elektronik, merupakan satu-satunya pendapatan perusahaan yang sah, baik ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik–acuan yang digunakan setiap wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik–maupun UU No 40/1999 tentang Pers. Artinya tegas, bahwa sebuah perusahaan media massa tidak dibenarkan mencari pendapatan selain melalui iklan.

Jika sampai sebuah perusahaan media atau para wartawannya “memperdagangkan” berita-berita yang dibuat dan kemudian dimuat maka jelas perusahaan media ini dapat dikategorikan telah melanggar Kode Etik Jurnalistik.

Hal-hal yang diuraikan di atas selalu saya sosialisasikan di dalam berbagai kesempatan ketika bertemu dengan masyarakat luas, melalui seminar bahkan juga ketika mengajar para mahasiswa jurusan komunikasi di bangku kuliah.

Tujuannya membuka kesadaran publik, bahwa sebetulnya yang sangat dibutuhkan oleh seorang wartawan di lapangan adalah berita.

Banyak anggota masyarakat khawatir jika mereka mengundang wartawan untuk meliput sebuah kegiatan, maka berita liputan tersebut tidak akan dimuat seandainya mereka tidak memberi sesuatu kepada para wartawan.

Persepsi ini sebuah kesalahan besar, yang mungkin disadari dan mungkin juga tidak oleh anggota masyarakat yang minta kegiatannya diliput.

Memang ada kalangan tertentu yang memanfaatkan situasi ini. Artinya orang tersebut memang meraih keuntungan ketika dia harus mengundang wartawan.



Sebagai sebuah ilustrasi–ini merupakan pengalaman empiris saya–ada seorang pejabat Humas di sebuah Pemkab mempertanyakan mengapa SOLOPOS melarang wartawannya menerima amplop.

Setelah dijelaskan, lalu dia mengatakan,”Waah… kalau semua media massa membuat kebijakan seperti itu, maka tertutuplah sumber penghasilan saya.”

Lho kok bisa? Dia lalu menjelaskan, di dalamr rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD), dirinya selalu menganggarkan uang untuk para wartawan. Secara terus terang, dia mengatakan memang hanya sebagian kecil yang dia salurkan untuk wartawan. Sebagian besar justru dia ambil sebagai “setoran” untuk sejumlah pejabat.

Sebetulnya jika masyarakat tahu susunan organisasi dan mekanisme kerja di dalam sebuah perusahaan media massa, khususnya di media cetak, masyarakat luas akan menyadari kesalahan mereka selama ini yang biasa memberikan amplop kepada wartawan.

Struktur organisasi redaksi di dalam sebuah perusahaan media cetak pada umumnya dipimpin oleh seorang pemimpin redaksi (Pemred). Di bawahnya ada wakil pemimpin redaksi (Wapemred), kemudian di bawahnya ada seorang redaktur pelaksana (Redpel), di bawahnya lagi para redaktur dan paling bawah adalah para reporter yang biasanya sehari-hari bertugas meliput di lapangan dan sering disebut wartawan.

Dengan demikian seorang reporter sama sekali tidak punya wewenang menentukan apakah sebuah berita akan dimuat atau tidak. Keputusan pemuatan sebuah berita ada di tangan para redaktur, setelah mereka usulkan berita tersebut melalui mekanisme rapat redaksi.

Jadi sebetulnya tidak ada gunanya memberikan sesuatu kepada seorang reporter. Alasan sebuah peristiwa akan diberitakan atau tidak, tidak dalam wewenang reporter. Berita dimuat atau tidak hanya semata-mata berdasarkan berita tersebut memenuhi kaidah kelayakan sebuah berita atau tidak.

Seandainya pemahaman ini sudah makin meluas di kalangan masyarakat, kita dapat membangun pers yang sehat dalam kesetaraan hubungan antara nara sumber (sebagai pemberi berita) dan para wartawan (sebagai pencari berita). Jika nara sumber harus memberikan sesuatu kepada para wartawan, selamanya wartawan akan di posisi sebagai subordinat nara sumbernya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya