SOLOPOS.COM - Chrisna Chanis Cara (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Belum lama ini dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Gilang Jiwana Adikara, menerbitkan hasil riset—yang menarik—tentang independensi media lokal di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Gilang yang mantan jurnalis itu membeberkan ada belenggu kebebasan pers akibat kepentingan pasar, motif ekonomi, hingga sistem monarki. Riset mengambil sampel tiga media lokal di DIY. Penelitian yang dilakukan pada 2021 sampai 2022 itu menemukan fakta media lokal DIY berhati-hati saat mengangkat persoalan publik yang menyangkut Keraton Jogja.

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

Sebaliknya, ketika ada upaya keraton memakmurkan rakyat, tiga media lokal tersebut kompak memberitakan. Rasa segan hingga faktor ekonomi berkelindan. Kepentingan publik tentu riskan dikorbankan karena media memilih bermain aman.

Doktor ilmu komunikasi lulusan Jerman, Masduki, dalam diskusi publik bertajuk Potret Independensi Media Lokal di Yogyakarta beberapa waktu, lalu menyebut DIY adalah potret kecil liberalisasi dan politisasi media. Ada ketergantungan media pada otoritas politik lokal.

Tergerusnya independensi media bukanlah hal yang bisa dipandang sebelah mata. Kepercayaan publik taruhannya. Runtuhnya kepercayaan warga bakal membuat media semakin sulit bertahan. Laporan Digital News Report 2021 yang dirilis Reuters Institute for the Study of Journalism menejlaskan tingkat kepercayaan publik terhadap berita di media-media Indonesia tergolong rendah, yakni 39%.

Hanya 37% responden yang percaya pada berita di mesin pencarian dan 31% responden percaya pada berita di media sosial. Kondisi tersebut tak lepas dari konglomerasi media. Saat ini jamak media dimiliki pengusaha sekaligus politikus atau oligarki. Independensi media rentan diintervensi demi kepentingan sang pemilik.

Pemusatan kepemilikan media dan jurnalisme yang menghamba pasar berpotensi membuat pemberitaan menjadi seragam hingga mutu jurnalisme menurun. Merosotnya mutu pemberitaan terlihat pada maraknya “jurnalisme kuning”, lekat dengan berita sensasional, mengejar klik dan hobi membahas hal nonsubstansial.

Apa yang sedang viral di media sosial langsung disambar. Tak peduli apakah informasi itu penting atau tidak bagi pembaca. Model bisnis seperti ini cenderung tak memikirkan agenda pemberitaan mandiri, apalagi menyiapkan dana untuk jurnalisme investigasi.

Model Alternatif

Belakangan konsep media kooperasi banyak dibicarakan sebagai alternatif atas kebuntuan media komersial menyajikan berita yang berkualitas. Media kooperasi adalah antitesis media komersial yang memiliki struktur kepemilikan tunggal dan dominan dalam tata kelola.

Konsep kooperasi memungkinkan kepemilikan bersama atas media lewat pengelolaan yang demokratis. Publik dapat terlibat menentukan pemberitaan yang sesuai dengan kebutuhan mereka atau komunitas tempa media tersebut berada.

Kooperasi juga memungkinkan pembaca berperan sekaligus sebagai penulis dan penyandang dana. Gagasan media kooperasi bukan hal baru, meski masih jarang terdengar, apalagi dipraktikkan di Indonesia. Di belahan dunia lain, konsep media kooperasi telah menjadi oase terhadap pemberitaan media arus utama.

Italia adalah salah satu negara yang mengawali tumbuhnya media kooperasi lewat Il Manifesto (1971), koran yang didirikan para jurnalis berpaham kiri. Ada pula Tageszeitung, akrab disebut Taz, media yang anggota kooperasinya kini sudah mencapai 34.601 orang di penjuru Jerman.

Pada 2007, Media Co-op lahir sebagai bentuk perlawanan aktivis sayap kiri terhadap media arus utama di Kanada. Media Co-op punya kampanye terkenal Own Your Media! (Miliki Mediamu!). Media kooperasi memiliki alternatif pendanaan lewat sistem membership atau berlangganan.

Model kepemilikan kolektif diharapkan mendorong independensi finansial yang akan berpengaruh pada independensi redaksi. Dave Boyle dalam buku Good News: A Co-operative Solution to the Media Crisis (2012) menyebut media kini membutuhkan sistem keuangan yang lengas untuk memproduksi berita.

Publik membutuhkan media yang beritanya dapat dipercaya. Kooperasi menjawab dua persoalan itu sekaligus. Di Indonesia baru saja muncul eksperimen berani bernama Project Multatuli (PM). PM menerapkan jurnalisme telaten yang konsisten memberitakan kalangan terpinggirkan.

Meski tak secara gamblang berdeklarasi sebagai media kooperasi, PM melakukan praktik-praktik khas seperti melibatkan pembaca dalam penyusunan agenda liputan, akses menjadi contributor, hingga pendanaan bersama.

Media yang diluncurkan Mei 2021 ini menargetkan memiliki 2.000 anggota (yang mereka sebut Kawan M) pada 2022 sehingga dapat membiayai 30% dari biaya operasional PM. Per 19 April 2022 atau enam bulan setelah skema membership diluncurkan, PM sudah memiliki 639 Kawan M.

Pengelolaan jurnalisme publik ala PM bukan tanpa kendala. Dalam laporannya, ada problem keberlanjutan membership lantaran faktor finansial para anggota. Selain itu, ada kecenderungan penambahan anggota masih bergantung pada reportase yang diproduksi. Masih ada kendala pemasaran untuk jurnalisme berbasis publik.

Lebih Inklusif

Kendala lain yakni kultur pembaca di Indonesia yang masih nyaman dengan konten gratisan. Sistem langganan cenderung hanya dapat diakses kalangan ekonomi mampu. Sejumlah media arus utama di Indonesia mencoba mengepakkan sayap dengan layanan konten berbayar.

Pemasukannya hingga kini belum sebanding dengan iklan. Jika media dengan basis pembaca luas saja tertatih-tatih mengajak publik menghidupi jurnalisme, bisa dibayangkan bagaimana media kecil berjuang mengelola konsep kooperasi dengan segmen pembaca yang terbatas.

Sejumlah media kooperasi seperti Literasi.co, Jurnal Ruang, Kalam Kopi, dan Jurnal Gunung Kidul satu per satu tumbang atau tidak aktif. Rata-rata kesulitan menyeimbangkan donasi publik dengan kebutuhan operasional seperti gaji jurnalis dan pengelolaan website.

Tak sedikit pula media berprinsip kooperasi yang bertahan dan menjadi alternatif bacaan. Sebut saja IndoProgress, Konde.co, BandungBergerak.id, Sudut Kantin, Remotivi, hingga Project Multatuli. Keterbatasan media kooperasi dapat diubah menjadi peluang jika mereka tetap berpegang teguh pada kepentingan publik.

Pada titik tertentu, warga bakal jenuh dengan berita remeh dan tak mendidik. Generasi muda yang semakin melek literasi bakal mencari media yang berbobot dan mewakili aspirasi mereka. Tentu perlu upaya masif dan kolaboratif. Media kooperasi tak boleh canggung mengembangkan promosi dan pendidikan literasi di media sosial atau fitur terbaru yang sedang digandrungi.

Selain memelihara komunitas, media kooperasi perlu lebih inklusif agar karyanya dapat diterima masyarakat umum. Kegagalan menjangkau publik yang lebih luas akan membuat media tersebut sulit bertahan. Media kooperasi mengandalkan anggota untuk keberlanjutan hidup.



Alternatif pendanaan melalui fellowship serta lembaga yang sejalan dengan visi dan misi media juga perlu dijajaki demi kesehatan finansial. Distribusi penghasilan yang adil dan berkelanjutan akan membuat pekerja media nyaman berkarier di media kooperasi. Jika media kooperasi belum menjawab problem kesejahteraan pekerjanya, media komersial akan selalu menjadi tempat mereka pulang.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 September 2022. Penulis adalah Koordinator Divisi Organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya