SOLOPOS.COM - Buruh yang tergabung dalam berbagai serikat buruh di Jawa Timur berunjuk rasa di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Kamis (19/11/2015). (JIBI/Solopos/Antara/Zabur Karuru)

MEA 2016 bisa jadi tidak siap dihadapi tenaga kerja Indonesia yang hampir setengahnya hanya lulusan SD.

Solopos.com, SOLO — Tahun baru 2016 menjadi gerbang pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Meski terbentang peluang yang besar, ada sejumlah ancaman yang bisa menjadikan MEA 2016 sebagai bumerang bangsa ini.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ancaman itu terletak di sektor ketenagakerjaan di mana masih banyak profesi di Indonesia yang belum tersertifikasi dengan baik. Alhasil, saat masuk MEA 2016, tenaga kerja asal Indonesia bisa kalah bersaing dengan tenaga kerja dari negara ASEAN lainnya lantaran kelalaian dari pemerintah dalam mempersiapkan sertifikasi profesi.

Selain itu, profil ketenagakerjaan di Indonesia juga mengkhawatirkan. Dari 255,4 juta penduduk, jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 122,38 juta. Dari jumlah itu, jumlah tenaga kerja mencapai 114,82 juta sementara sisanya, 7,56 juta, merupakan pengangguran. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, hampir separuh (47,1%) dari angkatan kerja di Indonesia adalah lulusan SD ke bawah sehingga dunia usaha sulit mendapatkan tenaga kerja dengan kualifikasi yang mumpuni.

Sejak akhir 2014, persentase jumlah pengangguran terdidik mengalami peningkatan. Hingga Agustus 2015, angka itu telah menyenyentuh 6,18% dari keseluruhan jumlah pengangguran. Jumlah ini bisa saja kembali meningkat jika angkatan kerja terdidik negeri ini tidak dipersiapkan menghadapi persaingan.

Kondisi kualitas sumber daya manusia dan ketenagakerjaan yang kurang berkualitas ini tercermin juga dari peringkat Human Development Index yang diterbitkan UNDP. Indonesia masih kalah dibandingkan Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.

Peneliti Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia Agus Herta Sumarto mengatakan pemberlakuan MEA 2016 tentu saja meningkatkan persaingan di sektor ketenagakerjaan. Berdasarkan kajiannya, dari 12 sektor yang dibuka dengan delapan profesi di dalamnya, hanya sektor pariwisata yang bisa dikatakan paling siap.

“Para tenaga profesional di bidang pariwisata sebagian besar telah melewati proses sertifikasi dan kualifikasi yang diakui semua negara ASEAN,” ujarnya, Rabu (31/12/2015).

Di luar itu, menurutnya, belum ada rencana strategis dalam menghadapi persaingan MEA 2016. Indonesia, katanya, belum memiliki cetak biru serta peta persaingan antarnegara. Padahal, 12 sektor prioritas MEA 2016 akan menyebabkan terjadinya arus bebas tenaga kerja terampil. Hal ini berarti seluruh angkatan kerja yang berasal dari setiap negara boleh keluar-masuk suatu negara untuk mendapatkan pekerjaan.

Sertifikasi profesi merupakan pengakuan terhadap keahlian seseorang di bidang tertentu. Dengan demikian logikanya siapapun yang telah tersertifikasi, akan diprioritaskan untuk mengisi suatu pekerjaan. Dengan temuan LP3E tersebut, bisa dibayangkan berapa banyak tenaga kerja Indonesia yang tidak terserap.

Mari kita telisik lebih dalam lagi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, jumlah tenaga kerja di 12 sektor prioritas MEA yakni sebanyak 72,5 juta atau 63,2%. Sementara itu, delapan profesi yang tersebar di 12 sektor tersebut, memiliki tenaga kerja sebesar 1,6 juta atau 1,4%.

Dapat dipastikan, jika Indonesia kalah dalam persiangan di sektor-sektor tersebut, maka sangat banyak jumlah tenaga kerja yang terdmapak imbasnya. Diakui atau tidak, ketertinggalan Indonesia disebabkan karena pemerintah tidak mempersiapkan diri secara maksimal. Berdasarkan data yang dimiliki LP3E Kadin Indonesia yang bersumber dari Kementerian Tenaga Kerja, dari 12 sektor prioritas tersebut, pemerintah belum memiliki peta kebutuhan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKNN).

“Bagaimana mau bikin strategi menghadapi MEA kalau peta kebijakan saja tidak ada. Jangan harap Indonesia bisa memenangkan persaingan,” tutur Agus Herta Sumarto.

Dilihat dari jumlah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) setidaknya ada tiga sektor yang belum memiliki lembaga sertifikasi yang meliputi jasa logistik, penerbangan, serta produk karet. Karena itu, LP3E memperkirakan 2016 akan menjadi tahun yang berat bagi sektor ketenagakerjaan di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya