SOLOPOS.COM - Mbah Sudi Wiyono (berkerudung) menerima tamu di rumahnya Dusun Kinahrejo Umbulharjo Cangkringan. (HARIAN JOGJA/AKHIRUL ANWAR)

Mbah Sudi Wiyono (berkerudung) menerima tamu di rumahnya Dusun Kinahrejo Umbulharjo Cangkringan. (HARIAN JOGJA/AKHIRUL ANWAR)

Rumah sederhana dengan dinding batako dan beratapkan asbes berdiri kokoh di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan. Tidak ada sesuatu yang spesial dari bangunan itu, selain jaraknya hanya lima kilometer dari puncak Gunung Merapi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Itu berarti rumah itu adalah rumah yang paling dekat dengan Gunung Merapi. Menariknya lagi, yang mendiami rumah itu adalah Mbah Sudi Wiyono, 73. Mbah Sudi tinggal sendiri di tempat itu tanpa ada tetangga. Tanpa rasa takut, setiap hari ia menghabiskan waktu di gubuk sederhananya.

Kurang lebih sudah tujuh bulan terakhir ia menetap dan tinggal di gubuk itu, baik siang dan malam berteman dengan alam. Dengan bebas ia bercocok tanam di lahan subur miliknya sendiri. Berbagai sayuran, seperti terong, buncis, ketela pohon, cabai dan lainnya menjadi tetangga setia Mbah Sudi. Ia senang bercocok tanam, kegemarannya ini tidak bisa ditemukan ketika tinggal di hunian sementara (huntara).

Ekspedisi Mudik 2024

Tinggal sendiri dan sangat dekat dengan Merapi tidak membuatnya takut akan bahaya.  “Mau takut sama apa? Tidak ada yang ditakuti,” ujarnya.

Bila cuaca cerah, Gunung Merapi teraktif di dunia menjulang di belakang kediamannya. Sementara memandang jauh ke arah selatan, Kota Jogja terlihat jelas karena tidak ada satupun pohon menghalangi.

Keinginan tinggal di bekas rumahnya ini, juga sudah sepengetahuan dukuh setempat. Lokasi rumah Mbah Sudi sangat dekat dengan alur Kali Kuning dan dikelilingi rerumputan. Tidak mudah untuk menemukannya. Saat Harian Jogja berkunjung, harus bertanya dua kali kepada warga yang sedang merumput.

Akses jalannya tidak bisa dilalui kendaraan roda dua biasa, butuh sepeda motor trail atau jalan kali bila ingin sampai di depan rumahnya. Pasalnya hanya jalan setapak dikelilingi rimbun rerumputan satu-satunya jalan. Sebenarnya di tempat itu ada jalan kampung, namun sudah rusak parah karena erupsi. Walaupun aksesnya sulit tidak sedikit orang yang datang ke rumah Mbah Sudi.

Kawasan Kinahrejo termasuk dusun zero growth yang berarti pemerintah melarang kawasan tersebut untuk tempat tinggal. Mbah Sudi memahami itu, namun ia sulit melalui hari-harinya tinggal di shelter, yang lahan bercocok tanamnya terbatas. Meski hanya ditemani pepohonan yang tidak bisa diajak bicara, Mbah Sudi mengaku tetap nyaman.
“Di sini bisa tanam lombok, buncis, lung, bonggol. Kalau tinggal di shelter tidak kerasan, di sini bisa nyambut damel [bekerja] dapat uang,” katanya saat ditemui Harian Jogja Minggu (15/1). Mbah Sudi memang dikenal oleh para tetangganya suka bercocok tanam, dan tidak bisa dipisahkan dengan alam.

Sejak status Merapi siaga tepatnya usai labuhan Merapi Juli 2011 lalu, ia bertekad keras ingin kembali membangun tempat tinggalnya. Dengan bantuan sejumlah relawan sebuah gubuk berdiri dengan atap kombinasi daun kelapa, terpal serta asbes. Terdiri satu ruangan tempat tidur, dan satu ruang tamu. Bangunan dapur terpisah dari rumah utama dengan konstruksi kayu dibalut plastik terpal.

Untuk memasak Mbah Sudi menggunakan kayu bakar yang tidak sulit didapatkan. Energi penerangan rumah itu menggunakan accu, air bersih dipenuhi melalui sambungan pipa dari sumber air. Kondisi itu membuat Mbah Sudi tidak kesulitan tinggal sendirian di tempat itu. Bahkan untuk makan sehari-hari tersedia tumbuhan yang tumbuh di kanan kiri rumah, hanya beras saja yang sering dibawakan anaknya ketika berkunjung.

Dulunya rumah yang ditinggali Mbah Sudi, merupakan tempat berkumpul keluarganya. Saat erupsi Merapi, adik kandung serta lima besannya terenggut nyawa bareng Mbah Maridjan. Anak kandungnya yakni Wahono Suketi, 30, meninggal saat menjadi relawan. Sementara suaminya, sudah lebih dulu meninggalkan dirinya.

Dari obrolan dengan perempuan berkerudung itu, wisatawan Kinahrejo yang berkunjung banyak yang menjenguknya. Dari Sumatra, Jakarta, Semarang, Surabaya, Kalimantan. Bahkan ia sampai lupa siapa yang datang ke gubuknya. “Banyak yang ke sini hanya ingin tahu saya tinggal di sini,” ujarnya.

Tidak sedikit pula relawan yang menanam pohon di sekitar rumahnya. Bahkan dalam kesempatan itu komunitas Cor Unum menggelar misa di samping rumahnya. Jika tidak ada tamu datang, Mbah Sudi mengumpulkan arang ataupun merawat tanaman.

Sebelum erupsi Merapi, ia merupakan pedagang arang yang dijual ke Kaliurang.

Setiap hari menggendong arang turun bukit, menyeberang Kali Kuning dan naik bukit sampai Kaliurang. Namun saat ini sudah tidak lagi menjual arang karena akses yang sulit.

Dukuh Pelemsari yang membawahi Dusun Kinahrejo, Ramijo mengatakan Mbah Sudi memang tinggal di pinggir Kali Kuning. “Dia memang suka bercocok tanam, keinginannya tinggi untuk menanam pohon,” katanya.(Wartawan Harian Jogja/Akhirul Anwar)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya