SOLOPOS.COM - Christianto Dedy Setyawan

Solopos.com, SOLO -- Setiap tanggal 10 November masyarakat Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Momentum yang berpijak pada peristiwa pertempuran di Kota Surabaya dengan salah satu tokoh Bung Tomo guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini menjadi hari yang cukup populer di Indonesia.

Upacara, ziarah di taman makam pahlawan, hingga festival sering diselenggarakan guna memperingati hari tersebut. Hari Pahlawan disebut sebagai momentum untuk merenung sejenak dan merefleksi kisah para pahlawan yang mengorbankan nyawa mereka bagi negara.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Pertanyaannya, sudahkah kita melakukan hal tersebut dengan baik dan pahlawan mana saja yang dimaksud dalam hal ini? Konsep pahlawan di negeri ini memang terbilang unik. Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah menuturkan penyematan gelar pahlawan tidak jauh dari hal-hal berbau politik.

Pemberian gelar pahlawan nasional diatur dalam UUD 1945 Pasal 15. Praktik dari konstitusi tersebut adalah rutinitas pengangkatan pahlawan nasional yang terjadi hampir setiap tahun. Pemilihan tokoh yang diangkat sebagai pahlawan nasional tentu berkisar pada nilai perjuangan dan semangat keteladanan yang dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.

Di balik itu, hal-hal bernuansa politik ibarat adonan bumbu yang saling berkelindan. Adonan bumbu itu antara lain Bung Tomo yang konon dua kali ditolak diangkat sebagai pahlawan nasional semasa era Orde Baru, Soekarno yang menunggu 16 tahun untuk diangkat sebagai pahlawan setelah kematiannya sementara Ny. Tien Soeharto diangkat dalam waktu cepat.

Kemudian etnis Tionghoa yang menunggu hingga setengah abad sampai pengangkatan John Lie sebagai pahlawan nasional, minimnya pahlawan nasional di luar bidang politik dan militer, serta kurang berimbangnya alokasi pahlawan nasional jika dilihat dari perimbangan daerah asal dan gender. Hingga tahun ini Indonesia memiliki 191 pahlawan nasional. Jumlah yang terbilang banyak jika disandingkan dengan negara-negara lain.

Pejuang Lokal

Tidak dimungkiri bahwa sosok pahlawan nasional mendominasi obrolan saat Hari Pahlawan tiba maupun dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Tiada yang salah dari kenyataan tersebut. Yang patut diperhatikan justru imbas dari dominannya pembicaraan terkait pahlawan berskala nasional, yakni cenderung terlupakannya tokoh-tokoh pejuang di tingkat lokal.

Pembatasan cakupan pejuang berskala lokal dan nasional memang rentan mengundang perdebatan mengingat terdapat irisan di antara keduanya dan terdapat batas agak bias yang memicu diskursus panjang. Kita memiliki kecenderungan semakin mengenal tokoh yang telah terkenal daripada lebih mengenal tokoh yang belum banyak dikenali publik.

Oleh karena itulah, dalam lingkup pahlawan nasional tidak mengherankan apabila banyak buku yang mengulas Soekarno, Diponegoro, dan Kartini, dibandingkan Arie Frederik Lasut, Pong Tiku, hingga Silas Papare yang cenderung awam di telinga banyak orang. Jika pandangan dialihkan ke pejuang di tataran lokal, deretan nama yang dianggap kurang begitu familier akan bertambah.

Kota Solo memiliki sosok pejuang era agresi militer Belanda bernama Ngadimin Citro Wiyono. Lelaki yang akrab disapa Mbah Min Semprong dan kini usianya beranjak ke angka kepala sembilan tersebut turut andil dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman Belanda.

Pada usia yang masih teramat muda ia ditempatkan sebagai mata-mata bagi kaum republik di Panasan yang ketika itu merupakan pangkalan militer Belanda. Sebagai pejuang republik, Mbah Min Semprong pernah ditawan Belanda dan diikat di pohon sebagai sandera guna memancing datangnya prajurit merah putih yang hendak membabaskan.

Aksi meloloskan diri yang berhasil ia jalankan memicu semakin berkobarnya semangat perjuangan dalam diri lelaki yang kini berdagang mainan di tepi perempatan Panggung tiap petang tiba. Solo pada masa revolusi fisik merupakan medan pertempuran yang hebat.

Agresi militer, pertempuran empat hari, dan suasana ala wild west menjadi gambaran yang tidak dapat ditepikan ketika Mbah Min Semprong bersama tokoh pejuang lokal lainnya turut bertempur di dalamnya. Apa yang diperjuangkan oleh Mbah Min Semprong memuat nilai kepahlawanan dan semangat keteladanan.

Sayangnya hal ini luput dari pandangan kita yang tidak melebarkan mata dalam menangkap kehadiran sosok pahlawan di sekitar kita. Sering kali apa yang disebut pahlawan adalah sebatas pada yang tertera di buku sejarah semasa kita belajar di sekolahan.

Terkadang kita terlalu asyik melihat yang jauh di mata sehingga yang berada di lingkungan sekitar kita justru terlupakan. Pemahaman sejarah lokal beserta tokohnya ini penting sebab kesadaran sejarah bisa mampu dibangun dari interaksi langsung dengan unsur sejarah yang terdapat di area terdekat.

Di area Solo dan sekitarnya kini cendering fokus pada ketokohan Soekarno yang dibuktikan dengan penggunaan nama sang proklamator di berbagai lokasi, mulai dari nama gelanggang olahraga, rumah sakit, terminal, hingga membangun patung dengan pose berdiri, menunjuk, membaca buku, sampai menunggang kuda.

Penempatan Soekarno sebagai figur yang dapat dijumpai masyarakat setiap melintasi jalan dan bangunan tersebut seyogianya diimbangi pula dengan penyediaan ruang yang lebih besar lagi bagi sosok pejuang lokal. Ironis melihat generasi muda yang tidak mengenal monumen Pasar Nangka, monumen Kebhaktian Rakyat, serta monumen Setya Bhakti.

Mereka yang namanya terabadikan dalam monumen tersebut juga pahlawan yang berjuang menghadirkan kondisi Solo seperti yang kita nikmati hari ini dan sayangnya Hari Pahlawan terasa sepi di tempat tersebut. Sugeng Priyadi dalam buku yang berjudul Sejarah Lokal: Konsep, Metode, dan Tantangannya mengatakan peristiwa sejarah di lingkup lokal bernilai edukatif, inspiratif, dan rekreatif.

Tanpa pemahaman seputar sejarah lokal, kita tidak akan mampu memahami realitas kebangsaan yang sesungguhnya. Oleh karena itulah, jangan heran jika nama-nama tokoh seperti Achmadi, Arifin, dan Padmonagoro terasa asing di kalangan anak muda.

Kesadaran Sejarah

Sejarah memiliki fungsi intrinsik dan ekstrinsik yang berkaitan erat dengan arah hidup manusia. Dari sisi intrinsik, sejarah dapat digunakan sebagai cara mengetahui masa lampau dan sebagai pernyataan pendapat. Dari sisi ekstrinsik, sejarah dapat difungsikan sebagai pendidikan moral, penalaran, politik, kebijakan, dan masa depan.

Keseluruhan fungsi tersebut bermuara pada upaya membangkitkan kesadaran sejarah yang berlanjut pada pemahaman sejarah secara holistik. Hari Pahlawan dimaknai sebagai satu titik pengingat tempat penghormatan terhadap seluruh pihak yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini diserukan kembali.

Hari Pahlawan tidak sekadar berbicara soal hal-hal yang sifatnya seremonial. Momentum ini dapat kita gunakan untuk lebih menyadari dan mengambil semangat para pejuang yang dapat diimplementasikan pada masa kini. Bertahun-tahun berjuang membela panji merah putih, kecintaan terhadap negara ini begitu melekat dalam diri Mbah Min Semprong.



Seiring bergulirnya masa, kegigihan melawan tentara Belanda berganti dengan keuletan mempertahankan hidup dari impitan ekonomi. Dari figur Mbah Min Semprong kita dapat belajar bahwa sosok pahlawan ada di mana saja. Banyak pahlawan berada di sekitar kita yang kisah perjuangannya tidak tersiar sehingga publik sukar mengidentifikasi.

Kesadaran sejarah menjadi kunci untuk dapat mengenali narasi kesejarahan Indonesia secara intensif. Hari Pahlawan adalah hari bagi seluruh elemen masyarakat yang berjuang mempersembahkan kemerdekaan nyata bagi negara ini. Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya