SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Mungkin saja itu do, mungkin juga mi…kalau bukan re, mungkin itu fa. Dan jika itu bukan biola pastilah itu siulan, atau bisa jadi itu suara ribut butiran-butiran kacang hijau yang berebut tempat di atas penampah. “Terserahlah,” kata sang komposer. Modern dan tradisi yang dikolaborasi, itulah Maybe Do.

Bertempat di Auditorium Pascasarjana ISI Jogja, HARIAN JOGJA/Apriliani Susanti eksplorasi bunyi berbagai instrumen musik digelar. Dalam konser bertajuk Maybe Do tersebut, Ketut Sumerjana, Yurdika, M. Chozin Mukti dan Asril Gunawan bereksplorasi menciptakan komposisi musik untuk ujian Penciptaan Seni Musik mereka.

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Eksplorasi tersebut tak terbatas pada instrumen musik saja, namun juga berbagai benda non instrumen seperti penampah, wajan, dan batu. Yurdika misalnya, dengan karyanya yang bertajuk Nakkukku, komposer asal Makassar, Sulawesi Selatan itu mengeksplorasi bunyi yang dihasilkan oleh butiran-butiran kacang hijau yang digesek di atas penampah. Bunyi tersebut lalu dielaborasikannya dengan nada-nada dari instrumen seruling, violin dan cello.

“Saya mengeksplor instrumen-instrumen yang pada dasarnya bukan merupakan instrumen musik tapi kalau dijadikan instrumen hasilnya akan menarik. Maybe do, mungkin saja itu do, mungkin mi, silahkan bagaimana penonton mau mengapresiasikannya,” jelas Yurdika, mahasiswa yang kini duduk di semester 1 mengenai karyanya tersebut.

Jika Yurdika mengeksplorasi alat rumah tangga, lain halnya dengan Chozin Mukti yang bermain-main dengan imajinasi dan fantasinya. Komposer lulusan S1 ISI Jogja minat Musikologi itu terinspirasi bunyi siulan seorang temannya hingga ia mencipta sebuah komposisi bertajuk Siulan Violin. Berbeda dengan komposisi lainnya yang dibawakan beberapa musisi sekaligus. Dalam komposisi berdurasi 15 menit itu, sang penyiul dan pemain biola tampil solo.

“Saya terinspirasi sama pemainnya, yakni Cakra yang bisa bersiul menyerupai nada-nada notasi. Dalam komposisi ini, dia main solo, sebagai pemain biola sekaligus bersiul, itu butuh kerja otak kanan dan otak kiri,” papar  Chozin yang juga menampilkan karya lainnya yang bertajuk Klothak Opus No.5 dalam konser tersebut.

Batas Ruang
Tak kalah menarik dengan komposisi dua komposer di atas, Ketut Sumerjana menghadirkan penjelajahan musik tanpa batas ruang dan waktu dalam karyanya yang bertajuk Petualangan. Karya mahasiswa S2 minat Penciptaan Musik Barat itu merupakan sebuah renungan eksplorasi diri dengan alam sekitarnya.

“Karya ini adalah perenungan dari reaksi alam yang carut marut dalam harmoni musik yang modern. Pesan saya dalam karya ini, manusia kalau tidak bersahabat dengan alam makan akan terjadi kondisi yang carut marut,” urai  Ketut.

Perenungan juga diungkapkan oleh Asril Gunawan dalam komposisinya yang bertajuk Pa’Balle Sumanga. Asril mengangkat tradisi daerah asalnya, yakni Sulawesi Selatan dengan mengintepretasikan dzikir sebagai semangat spiritual.

Sebanyak 20 pemain memainkan berbagai instrumen seperti Pa, dzikkiri, kacaping, string kwartet, gendang makasar, dan gambus. Berbagai pengembangan pola ritmik, sistem tangga nada dan tempo menjadi pijakan dalam penciptaan karya berdurasi 20 menit ini.

“Pa’Balle Sumanga artinya pengobaran semangat dalam adat spiritual. Karya ini terdiri dari dzikir, semangat, dan nilai klimaks semangatnya,” kata Asril. (HARIAN JOGJA/Apriliana Susanti)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya