SOLOPOS.COM - Penari membawa foto Gusti Heru seusai mementaskan sendratari Matah Ati di Pamedan Mangkunegaran, Solo, Senin (10/9/2012) malam. Pementasan tari kolosal tersebut sekaligus untuk mengenang 40 hari meninggalnya Gusti Heru atau GPH Herwasto Kusumo. (Burhan Aris Nugraha/JIBI/SOLOPOS)

Penari membawa foto Gusti Heru seusai mementaskan sendratari Matah Ati di Pamedan Mangkunegaran, Solo, Senin (10/9/2012) malam. Pementasan tari kolosal tersebut sekaligus untuk mengenang 40 hari meninggalnya Gusti Heru atau GPH Herwasto Kusumo. (Burhan Aris Nugraha/JIBI/SOLOPOS)

Tabuhan gamelan, tari-tarian tradisional, dan lantunan tembang Jawa, bagi sebagian orang itu hal-hal mulai dipinggirkan. Kurang modern hingga bahasa yang susah dimengerti menjadi salah satu alasan seni tradisi itu seolah kurang diminati. Namun, perlakukan berbeda terhadap seni tradisi bakal kita temui jika melihat tingginya antusiasme penonton pertunjukkan kolosal Matah Ati yang digelar di Pamedan Pura Mangkunegaran selama tiga hari sejak Sabtu (8/9/2012) lalu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pertunjukkan yang sarat pesan emansipasi wanita itu juga berisi tari-tarian Jawa yang kalem, tembang-tembang yang kadang menggunakan kosa kata Jawa Kuna serta lantunan musik gamelan. Tak lupa disisipi pertunjukkan wayang kulit yang juga masih dalam serangkaian acara.

Namun, hampir tak ada penonton yang meninggalkan area pementasan sebelum acara usai. Selama dua jam, jumlah penonton yang setiap harinya sekitar 5.000 lebih itu dengan khusyuk mengikuti acara hingga rampung. Meski tak sedikit yang kurang tahu dengan alur cerita.

“Saya biasanya kalau mendengar orang nembang gitu ngantuk. Tapi ini mesti enggak tahu maksudnya, saya bisa ikut merasakan suasana yang digambarkan. Ditambah efek-efek panggung yang sangat mendukung,” ucap Deni,24. Deni yang memang bukan pencinta seni, mengaku tertarik datang menyaksikan pertunjukkan Matah Ati karena melihat publikasi acara ini yang begitu besar. ia yang awalnya kurang berminat, memantapkan hati datang ke pertunjukkan Matah Ati dengan kelas festival.

Bukan hanya di dalam area pertunjukkan. Antusiasme penonton juga terlihat dari banyaknya peserta nonbar Matah Ati lewat screen di dekat Omah Sinten.

Tingginya minat masyarakat dengan pertunjukkan ini juga terlihat dari penjualan merchandise.  Khususnya merchandise berupa kaus merah habis terjual. Disusul tas dan kain khas Matah Ati. Padahal  merchandise-merchandise itu dibanderol panitia dengan harga cukup tinggi. Rata-rata Rp100.000 untuk kaus, tas dan kipas. Sementara, di luar arena pementasan puluhan merchandise tiruan juga diperdagangkan.

Matah Ati sendiri, kali pertama digelar di Singapura dengan jumlah penonton yang juga ribuan. Rupanya itu merupakan trik dari sang penata artistik, Jay Subyakto dan sang produser, Atilah Soeryadjaya untuk menarik minat masyarakat mencintai budaya dalam negeri.

“Itu memang trik kami. Dulu Matah At ibisa tembus Esplanade. Kalau Singapura negara yang sekecil itu antusias menyaksikan Matah Ati, Indonesia pasti bakal penasaran dan banyak yang ingin menonton. Itu cara kami,” urai publisis dan Humas Matah Ati, Moza Pramita Siregar, saat berbincang dengan solopos.com, Senin (10/9/2012) malam.

Dikemas dengan konsep kekinian, kolosal tradisional yang mengangkat kisah dari Solo ini memang dipersiapkan sedemikian rupa agar bisa diterima semua kalangan. Masyarakat  modern yang mulai kehilangan tradisi, masyarakat yang kurang tahu tradisi hingga pencinta tradisi sendiri.

Semua yang ditunjukkan dalam pergelaran Matah Ati bukan tanpa makna. Simbol-simbol yang dipertontonkan tetap berpatok pada kisah sebenarnya. Dipadukan dengan tata panggung yang spektakuler dan didukung dengan para seniman professional, Matah Ati memang dibuat beda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya