SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Berjalan-jalan di Dusun Kauman,Wijirejo, Pandak bakal dijumpai bangunan Masjid Sabilurrosyaad atau Kauman, tempat ibadah peninggalan Panembahan Bodho,penyebar agama Islam di desa tersebut.

Di salah satu sudut masjid itu, terdapat monumen jam matahari dan lingga Yoni yang masih dipelihara oleh pengurus masjid.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Jam matahari atau oleh masyarakat sekitar dikenal dengan jam bancet digunakan untuk menentukan waktu salat berdasarkan patokan posisi matahari. Model penentuan waktu sholat seperti ini juga dikenal dengan jam istiwak.

Jam istiwak yang telah dimonumenkan ini menggunakan jarum penunjuk berupa sebatang logam yang berdiri di atas pelat perunggu berbentuk setengah lingkaran dengan angka-angka menyerupai jam.

Ketika sinar matahari mengenai batang akan menghasilkan bayangan pada angka. Dari situ akan diketahui waktu salat.

Tapi jam ini hanya bisa untuk menentukan waktu salat wajib zuhur dan ashar, dan waktu salat sunah, duha. Namun berbeda dengan bangunan masjidnya, jam bancet bukanlah peninggalan dari Panembahan Bodho, tapi dibeli oleh seorang kyai di desa tersebut sekitar 1950.

“Dulu pesan sama Kyai Durahman di Magelang,” ungkap sekretaris Masjid Sabilurrosyaad, Hariyadi saat ditemui Harian Jogja, Kamis (11/8).

Di samping jam tersebut, terdapat sebuah batu. Masyarakat menamainya batu gilang. Gilang berarti batu yang dikeramatkan.

Hariyadi mengatakan batu itu adalah Yoni, peninggalan umat Hindu yang berfungsi sebagai tempat persembahan. Yoni itu hingga saat ini masih dipertahankan karena Panembahan Bodho dulu juga tak membuangnya ketika melakukan syiar agama Islam.

“Batu itu kami monumenkan. Dengan seperti itu, harapannya agar siapapun yang berdakwah atau melakukan syiar agama Islam tetap toleransi dengan umat beragama lain. Kalau dulu Hindu, Panembahan Bodho menghormati umat Hindu. Begitu halnya sekarang dengan siapapun. Apa itu Hindu atau Nasrani, seyogyanya untuk tetap bertoleransi,” jelas Hariyadi yang juga Kepala Bagian Agama dan Kesejahteraan Pemerintah Desa Wijirejo itu.

Hariyadi mengatakan, Sabiilurrosyaad yang memiliki makna jalan petunjuk, diharapkan sebagai masjid yang dapat menjadi sebuah tempat untuk mengagungkan Tuhan dan bertoleransi kepada sesamanya.

Masjid ini dulu digunakan untuk syiar agama oleh Panembahan Bodho yang memiliki nama asli Trenggono. Dia dijuluki Ki Bodho semenjak kebodohonnya  menghadapi ancaman penjajahan portugis.

Ketika beredar kabar Portugis akan melawan dari Pantai Selatan, Ki Bodho membuat pos penjagaan karena menyangka suara gemuruh ombak laut adalah  suara meriam. Hal ini diketahui oleh gurunya, Sunan Kalijaga.

Kebodohannya  juga ketika diminta bertapa, dia malah membawa bekal berupa makanan. Gelar panembahan diberikan oleh Panembahan Senopati setelah diberikannya kedudukan sebagai penguasa tanah Perdikan yang letaknya di sebelah timur Sungai Progo ke utara sampai kaki Gunung Merapi.

Tanah ini diberikan Panembahan Senopati agar Ki Bodho tidak mendapat pengaruh dari musuhnya yakni Kyai Ageng Mangir.(Wartawan Harian Jogja/Andreas Tri Pamungkas)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya