SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Profesi guru sangat dekat dengan kehidupan saya. Bayangkan saja, dalam trah keluarga besar, banyak banget yang bergerak dalam dunia pendidikan itu. Almarhum bapak saya seorang guru SMA, mbah kakung juga mantri guru SD sejak zaman Belanda.

Budhe, Pakdhe, Bulik dan Paklik, juga banyak yang menjadi guru. Di generasi kedua, adik dan kakak serta para saudara sepupun pun jadi guru. Tapi bisa dipastikan, mereka semua masuk menjadi guru bukan karena iming-iming tunjangan profesi sebesar satu bulan gaji pokok seperti yang ada saat ini.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Maklum saja, zaman dulu belum ada itu aneka insentif untuk profesi guru. Paling banter pada periode 1980-an-1990-an pernah ada yang namanya KPG, kredit profesi guru, yang ampuh untuk membeli sepeda motor secara kredit.

Pernah sih, simbah saya berkata.”Nek dadi guru tenanan, urip ra bakal sugih mblegendu, tapi ya ra bakal kesrakat wong dadi guru iku ngamal.” Mungkin itu yang menjadi motivasi beliau-beliau itu.

Saya sendiri pernah mendaftar untuk jadi guru SD, SMP, SMA hingga universitas. Tapi entah mengapa, tidak ada yang mau menerima meski saya memiliki gelar master, hasil  utangan dari seluruh rakyat negeri ini kepada Bank Dunia. Mungkin bukan takdir saya untuk jadi guru sekolah, jadi no problem tidak jadi guru. Hanya di tempat saya bekerja, seringkali kebagian tugas membina karyawankaryawan baru supaya mereka bisa segera tune in dengan tugas kantor.

Dalam bahasa Jawa ada istilah kerata basa, yang artinya negesi tembung kapirid saka wandane atau mengartikan sebuah kata berdasarkan suku katanya. Ambil contoh, kata wanita, yang sering diartikan sebagai wani ditata, atau cangkem yang bisa diartikan yèn ora dicancang ora mingkêm. Nah, kata guru dengan ilmu kerata basa ini diartikan sebagai kena digugu lan ditiru.

Jadi, berdasar ilmu gothakgathuk Jawa itu, arti kata guru sangatlah mendalam dan memiliki makna yang sangat positif. Orang yang berprofesi guru merupakan orang yang dapat dipercaya dan menjadi suri tauladan.

Lagu untuk guru
Saking mulianya, Indonesia pun sampai menciptakan sebuah lagu khusus untuk menghormati para guru dalam Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Tanggal 25 November pun didedikasikan bagi Hari Guru. Guna lebih menghormatinya lagi, pemerintah pun sampai mengeluarkan kebijakan tunjangan profesi guru yang besarannya sama dengan gaji pokok. Padahal, untuk pegawai negeri sipil lain yang bukan guru, tidak mendapatkan tunjangan seperti itu. Alasannya jelas, guru merupakan profesi yang mulia dan berat karena harus mendidik anak bangsa ini supaya maju. Saya sih sepakat saja.

Tiba-tiba saya tersentak membaca berita di koran. Ada temuan 22 guru SMA negeri dan swasta di Kota Jogja yang diduga menggunakan Penentuan Angka Kredit (PAK) palsu untuk memproses kenaikan pangkat mereka dari 4A ke 4B. Harap diketahui, sebagai konsekuensi jabatan profesional, kenaikan pangkat seorang guru tidak lagi berdasarkan masa waktu tertentu, semisal 4 tahun seperti PNS lainnya. Guru harus mengumpulkan angka kredit tertentu untuk bisa naik pangkat.

Artinya, semakin rajin mencapai angka kredit tertentu, semakin cepat pula dia naik pangkat. Lebih rinci lagi, semakin banyak pula gaji yang didapat. “Ah cuma 22 orang guru. Bandingkan dengan semua guru di Jogja yang ribuan jumlahnya, gak ada artinya. Itu cuma kasus kecil,” kata satu teman.

Lho, kasus itu kalau yang ditemukan hanya satu, bantah saya. Lha ini 22 orang. Belum lagi kalau ini juga fenomena gunung es, artinya masih banyak yang belum ketahuan. Beberapa bulan lalu, masalah serupa juga pernah juga ditemukan di Kulonprogo dan Bantul. Beberapa guru di kedua kabupaten itu ketahuan menggunakan PAK palsu pula untuk mendongkrak pangkat dan pendapatannya.

Kalau benar banyak guru yang melakukan hal serupa, apa pantas kota ini masih disebut Kota Pendidikan? Saya geli dengan tindakan para guru tersebut. Sepanjang pengertian dan pengalaman saya, para guru selalu mengajarkan kebaikan, mereka selalu pasang muka garang kalau ulangan kelas, supaya para siswa tidak mencontek. Saya sendiri pernah dijewer guru gara-gara membagi jawaban ulangan umum ke teman-teman sekelas.

Coba Anda bayangkan. Apa yang dikatakan para guru pemalsu PAK itu kepada muridmuridnya di kelas? Bayangkan putra-putri Anda diajar oleh para guru tersebut. Saya belum bisa membayangkan, karena anak saya masih bayi.

Memalsu PAK apa pun motivasi dan tujuannya, tetaplah pemalsuan. Sebuah langkah kebohongan, ketidakjujuran yang tentunya tidak pantas untuk ditiru oleh para siswa. Tapi, jangan-jangan saya yang terlalu sensitif. Mungkin dengan kian pintarnya para guru memalsukan PAK itu, para siswa pun kian lancar bertindak penuh kepalsuan, sehingga nilai ujian nasional bisa tinggi tanpa perlu susah payah belajar.

Ikut tes ujian masuk perguruan tinggi negeri pun tinggal mengandalkan para joki. Lebih jauh lagi, saat lulus pun tinggal bayar orang supaya diterima jadi pegawai negeri sipil atau jadi aparat keamanan. Atau bila masuk di dunia swasta, kerjaannya hanya membuat produk-produk palsu tanpa perlu bersusah payah mengeluarkan energi untuk menciptakan sebuah temuan baru. Teman saya pun berkata ringan saat saya bolak-balik ngomel soal tingkah laku guru itu. “Ra sah kakean cangkem, Mas.” Saya pun hanya menjawab.” Lha iki rung dicancang, dadi ra isa mingkem.”

 

Oleh Y. Bayu Widagdo
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI HARIAN JOGJA

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya