SOLOPOS.COM - Tangkapan layar Dekan Fakultas Kedokteran UNS, Reviono saat menyampaikan materi pada Lets Talk Research: Research think Tank on Covid-19 yang diselenggarakan oleh Prodia dengan UNS secara virtual di Solo, Sabtu (13/3/2021).

Solopos.com, SOLO-- Jumlah kasus Covid-19 yang terus meningkat belum dibarengi dengan penemuan terapi yang efektif. Kondisi tersebut membuat peluang untuk mengembangkan penelitian terkait Covid-19. Namun harus tetap mengedepankan etika penelitian kesehatan.

Penelitian kesehatan yang sedang berlangsung dengan adanya mutasi Covid-19 cepat dan mudah menyebar. Kolaborasi peneliti, laboratorium, dan ahli statistik dapat membuat hasil penelitian yang menghasilkan manfaat besar.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Hal tersebut mencuat dalam diskusi Lets Talk Research: Research think Tank on Covid-19 yang diselenggarakan oleh Prodia dengan Universitas Sebelas Maret (UNS) secara virtual di Solo, Sabtu (13/3/2021).

Hadir dalam diskusi Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal, Adji Suwandono; Dekan Fakultas Kedokteran UNS, Reviono; Anggota Konsorsium riset dan Inovasi Covid-19 Kemenristek/BRIN, Betty Suryawati; dan Research Support Head Prodia, Intan Wibawanti Masfufa.

Ekspedisi Mudik 2024

Baca jugaDuh, Sleman Jadi Zona Merah Setelah 12 Kapanewon Memerah

Reviono, menjelaskan jumlah kasus Covid-19 sebanyak 118,91 juta. Di mana kematian akibat Covid-19 2,63 juta atau 2,2 persen dari jumlah kasus di dunia, Sabtu (13/3/2021). Sedangkan jumlah kasus di Indonesia sebanyak 1,41 juta. Dengan kematian akibat Covid-19 mencapai 38.229 atau 2,8 persen dari jumlah kasus.

“Covid-19 ini dalam waktu singkat menyebar ke seluruh belahan dunia dan banyak orang yang meninggal. Sampai sekarang belum ada terapi yang efektif,” kata dia menyampaikan materi.

Reviono mengatakan, ada sejumlah terapi untuk pemulihan pasien, antara lain terapi plasma konvalesen yang sedang populer baru-baru ini. Reviono melakukan penelitian plasma pheresis yang dilakukan di rumah sakit (RS) UNS dan RSUD Dr. Moewardi.

“Plasma pheresis merupakan terapi extracorporeal di mana darah dikeluarkan dari pasien Covid-19. Lalu darah dipisahkan menjadi komponen-komponen. Satu atau lebih komponen dikeluarkan atau diproses sebelum darah dikembalikan ke pasien,” paparnya.

Baca jugaUji Coba Pembelajaran Tatap Muka di Solo Dimulai, Siswa Belajar 2 Jam

Ragam Terapi

Menurut dia, terapi tersebut memiliki sejumlah macam, antara lain therapeutic plasma exchange, plateletpheresis, leukocytapheresis, dan erythrocytapheresis. Plasmapheresis sudah pernah dilakukan sejak 1914 dan hanya dilakukan RS tertentu.

Jurnal of Clinical Apheresis membagi jenis terapi plasmapheresis menjadi empat kategori tingkatan. Penelitian Therapeutic plasma exchange yang dia lakukan masuk dalam kategori ketiga.

“Pada jurnal menjelaskan therapeutic plasma exchange mampu mengatasi peradangan, mengatasi pembekuan darah, dan ada perbaikan klinis,” ungkapnya.

Menurut dia, terapi tersebut bukan terapi standar sehingga perlu persetujuan bagi pasien. Ada sebanyak 16 pasien yang mendapatkan terapi. Yaitu pasien bergejala berat, usia 18 sampai 70 tahun, dan mengalami acute respiratory distress syndrome.

Baca jugaYuk Dukung, Hafiz Difabel dari Banjarnegara di Da’i Spesial I-News

Berdasarkan hasil penelitian, delapan pasien sembuh dan delapan meninggal dunia. Pasien yang meninggal dunia kondisinya gagal nafas. Dia menyimpulkan plasma pheresis memiliki peluang lebih besar kepada pasien pneumonia sedang ke berat. Pasien dengan PF ratio lebih dari 200, pasien dengan D Dimer kurang dari 5000, dan hemodinamik stabil.

Menurut Adji, peneliti kesehatan memiliki peran besar dalam menanggulangi pandemi Covid-19. Namun, semua proses penelitian harus berdasarkan etika atau moralitas komunitas peneliti bidang kesehatan.

“Penelitian ada manfaat lebih banyak dibandingkan risiko, kepentingan subjek penelitian berada di atas kepentingan lain. Penelitian harus sesuai dengan prinsip ilmiah, dan protokol penelitian harus dinilai dulu oleh komisi etik independen,” paparnya.

Varian Virus

Adji menjelaskan, prinsip dalam melakukan penelitian dengan menghormati harkat dan martabat manusia. Berbuat baik, tidak merugikan, dan prinsip keadilan. Manfaat yang diperoleh harus diarsipkan dan dipublikasi.

Betty mengatakan, mutasi virus merupakan hal yang wajar tapi setiap virus memiliki durasi mutasi yang berbeda sehingga mempengaruhi vaksin. Antara lain kasus campak memiliki vaksin yang serupa karena tingkat mutasi yang lambat.

Sedangkan influenza sangat cepat terjadi di negara dengan empat musim sehingga vaksin terus diperbarui. Mutasi influenza lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan Covid-19.

Baca jugaDekan FKUI Anjurkan Vaksin AstraZeneca Diuji Klinik Dulu di Indonesia

Menurut dia, jumlah genom Covid-19 mencapai sekitar 30.000 nukleotida sampai saat ini. Virus asli dari Wuhan, China sudah tidak ada karena virus di Indonesia sudah bermutasi. Pemerintah waspada dengan varian baru berupa B.1.1.7 dari Inggris, varian P.1 dari Brazil, dan varian B.1351 dari Afrika Selatan.

“Varian baru ini lebih cepat, lebih parah, dan bisa berpengaruh kepada vaksin,” paparnya. Dia mengatakan, kondisi sekarang masih tidak begitu signifikan sehingga vaksin masih efektif terhadap varian baru.



Sedangkan Intan menjelaskan, kasus Covid-19 membawa banyak peluang penelitian berkaitan pemanfaatan biomarker untuk menganalisi Covid-19. Koordinasi yang baik antara peneliti, laboratorium, dan ahli statistik dapat menghasilkan penelitian yang bermanfaat.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya