SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI). (FOTO/Istimewa)

Ahmad Djauhar
Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI). (FOTO/Istimewa)

Hingga akhir 2012, jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia diharapkan mencapai 8 juta orang dan tahun berikutnya ditargetkan naik menjadi 9 juta orang. Dilihat dari persentase, itu berarti kenaikan 12,5%, sangat besar tentunya, mungkin merupakan yang terbesar di wilayah Asia Tenggara.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Namun bila dilihat dari angka absolut, jumlah kunjungan sebesar itu menunjukkan betapa masih rendahnya upaya yang ditempuh pemerintah Indonesia untuk menggenjot sektor yang seharusnya mengundang lebih banyak lagi wisatawan asing untuk mengunjungi negeri nan elok ini.

Betapa tidak. Bila dihitung secara apple-to-apple, objek wisata di Indonesia sungguh luar biasa banyaknya dibandingkan dengan, misalnya, Malaysia. Namun, jumlah wisatawan asing ke negeri jiran itu akhir-akhir ini sudah mencapai lebih dari tiga kali lipat yang mengunjungi Indonesia.

Secara pelan tapi pasti, berdasarkan data yang diumumkan oleh Organisasi Pariwisata Dunia (WTO), jumlah wisatawan asing yang mengalir ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara meningkat pesat. Posisi Indonesia pada 2011 sebenarnya tidak terlalu buruk, yakni di peringkat keempat di bawah Malaysia (24,7 juta), Thailand (19,1 juta), dan Singapura (10,39 juta).

Dengan jumlah kunjungan sebesar itu, Malaysia mengklaim menerima devisa sekitar US$54,1 miliar atau lebih dari US$1 miliar per hari. Sedangkan Indonesia dengan kunjungan wisatawan asing sekitar 8 juta orang, hanya menerima devisa senilai US$8,5 miliar. Di sini terbukti bahwa makin tinggi jumlah kunjungan wisatawan asing, kian besar pula devisa yang diraih.

Namun, untuk mencapai prestasi itu, modal yang dikucurkan pemerintah Malaysia juga tidak kecil, terutama untuk biaya promosi pariwisata di berbagai media internasional. Menurut pengakuan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, kelemahan mendasar pariwisata Indonesia memang terletak pada promosi, yakni hanya sekitar sepersepuluh Malaysia.

Betul saja. Jika Anda sedang nonton siaran televisi kabel/satelit yang berbayar itu, silakan perhatikan dengan seksama betapa hampir di semua kanal TV berorientasi pariwisata atau leisure, Malaysia selalu hadir dengan iklan “Truly Asia“-nya itu. Tak terkecuali di kanal berita CNN yang nilai iklannya terkenal mahal itu.

Promosi tentang Indonesia memang ada, tapi frekuensinya teramat jarang dan terkesan jalan sendiri-sendiri. Misalnya, ada yang dari Kementerian Perdagangan dengan tema Trading with Indonesia dan Pemerintah DKI dengan Enjoy Jakarta. Padahal, seandainya disinergikan, promosi wisata Indonesia itu rasanya akan lebih powerful, meskipun belum mampu menandingi Malaysia.

Hal lain yang tampaknya agak mengganggu sehingga berpotensi membuat wisatawan asing agak enggan menungunjungi Indonesia adalah prosedur keimigrasian di pelbagai bandar udara dan/atau pelabuhan. Di bandar udara Soekarno-Hatta, misalnya, dengan jumlah loket maupun petugas imigrasi yang terbatas itu, jangankan wisatawan asing, warga negara Indonesia yang ingin segera pulang ke rumah masing-masing harus kuat mental dan fisik menghadapi antrean yang mengular itu.

Di banyak negara, ruang imigrasi bandar udara internasional kini dibuat sedemikian lebar dengan jumlah loket dan petugas yang cukup banyak. Dengan demikian, penumpang pesawat yang habis melakukan perjalanan jauh dan kecapekan tidak dibebani lagi dengan kewajiban mengantre yang tentu saja melelahkan itu.

Fenomena seperti itu mungkin sepele, tapi bisa menjadi cerita buah bibir yang tidak sedap, sehingga dapat berpotensi untuk mengurungkan minat wisatawan asing mengunjungi Indonesia.

Memang masih banyak pekerjaan rumah untuk memacu jumlah kedatangan wisatawan asing agar mengunjungi negeri yang berkelimpahan objek pariwisata ini, termasuk di antaranya memperbaiki infrastruktur maupun keterhubungan (connectedness) di berbagai daerah.

Di sejumlah titik di Indonesia, masih banyak kelemahan dalam hal keterhubungan sistem transportasi, meskipun frekuensi perjalan udara saat ini seolah-olah sudah demikian padatnya. Tetapi, kondisi itu sangat berbeda tatkala seseorang harus menempuh perjalan ke wilayah yang jauh dari Jakarta atau luar Jawa.

Contoh nyata pernah saya alami ketika harus menempuh perjalanan dari Pulau Wayag menuju Waisai, ibu kota Raja Ampat, Papua Barat. Meskipun hanya terlambat satu jam tiba di Waisai, itu berarti sama dengan terlambat hampir 24 jam. Karena, kapal terakhir dari pelabuhan di Pulau Waigeo yang menuju Sorong berangkat pukul 14.00 WIT. Setelah itu, jangan berharap dapat melanjutkan perjalanan ke ibu kota Papua Barat tersebut, kecuali Anda kaya raya, sehingga mampu mencarter speed boat senilai Rp3 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya