Suatu saat ketika duduk di kursi pesawat, mata saya kembali tergoda melihat tulisan di sebuah media yang sedang saya bolak-balik sambil menunggu pesawat mengudara. What’s in a name? Ungkapan itu menarik, bukan karena saya baru mendengarnya. Mungkin sudah puluhan kali saya mendengar itu. Saya rasa, hampir semua orang mengerti makna ungkapan bijak figur ternama, William Shakespeare itu.
Nah, dalam tulisan itu dikisahkan, Raja Ptolemeus II yang memerintah Mesir pada 285—246 SM, ternyata membunuh dua saudara laki-lakinya. Nama asli raja itu Philadephus, maknanya ‘penyayang saudara’. Ironis , bukan? Sang ‘penyayang saudara’, ternyata pembunuh saudaranya sendiri. Dikisahkan pula di situ, Raja Ptolemeus IV, sang penerusnya, bernama asli ‘Philopator’ dengan makna ‘penyayang ayah’. Akan tetapi anehnya, raja ini juga pembunuh bagi ayahnya sendiri.
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
Sepertinya segera terpatahkan adagio yang mengatakan, nama adalah lambang yang merepresentasikan sosok pemiliknya. Barangkali itu pula yang menjadi pembenar atas sokongan terhadap kata-kata bijak ‘diva’, bahkan jauh dari sekadar diva, ‘What’s in a name?’
Baik, ayolah kita tidak usah berlama-lama membawa pikiran terbang ke bumi seberang. Kita lihat saja perkara-perkara yang ada di sekeliling kita, utamanya yang bertali-temali dengan bahasa. Kalau seorang anak Jawa diberi nama ‘Senin’, hampir pasti dia dilahirkan pada Senin . Kalau bernama ‘Suro’, hampir bisa dipastikan anak itu dilahirkan pada bulan sakral Jawa, Suro.
Konon, ada pula yang diberi nama ‘Buwang’ karena zaman dulu memang ada bayi yang sengaja dibuang orangtuanya supaya ‘sukerto’ atau kotoran yang melekat dalam dirinya bersih. Dengan dijadikan ‘pupon’ atau ‘bayi pupon’, atau ‘bayi sing dipupu’, yang artinya ‘anak yang diangkat’, sehingga menjadi ‘anak angkat’ dari orang yang mengambil bayi yang dibuang tadi, jadilah nama anak itu ‘Pupon’.
Nah, dari empat contoh itu, ‘Senin’, ‘Suro’, ‘Buwang’, dan ‘Pupon’, semakin kentaralah bahwa dalam masyarakat Jawa, nama seseorang benar-benar merepresentasikan yang memilikinya. Maksud utama pemberi nama anak seperti di atas tentu adalah sebagai ‘tetenger’. Artinya, ‘penanda’ bagi sosok yang ditandainya. Dalam bahasa mancanya adalah ‘signifie’ bagi sosok yang menjadi ‘signifiant’.
Implikasi sosial
Kalau semata-mata ‘tetenger’, agaknya tidak banyak yang memberikan implikasi sosial bagi sikap, perilaku, dan tindakan dari sosok yang bersangkutan. Akan tetapi, kalau bukan sekadar ‘tetenger’, melainkan ‘harapan’, apalagi harapan yang dielu-elukan, atau Jawanya ‘diuwuh-uwuhake’, ‘dienti-enti temenan’, tidak jarang nama-nama yang berhakikat ‘signifie’ itu, akan berubah meluncur menjadi bahan cibiran. Paling tidak, nama itu bakal berubah menjadi bahan senyuman yang tidak mengenakan.
Lho, namanya ‘Sugihbondho’, misalnya, kok fakta kehidupannya luar biasa memprihatinkan lantaran memang benar-benar miskin dan papa, alias ‘ora duwe opo-opo’. Atau, mungkin namanya ‘Sabarnarimo’, tetapi tindakannya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia ‘sabar’ dan ‘menerima’ apa adanya.
Tentu dengan beranalogi pada dua fakta di atas, pembaca budiman dapat melakukan pemaknaan terhadap nama-nama lainnya. Bukan hanya nama Jawa seperti, ‘Sutopo’, ‘Sunarno’, ‘Sumarno’ atau ‘Sutapi’, ‘Sunarni’, ‘Sumarni’, melainkan juga nama dari suku lain yang lazimnya bermarga.
Penempatan nama keluarga, tentu maksudnya tidak hanya sebagai ‘pemarkah’ atau ‘penanda’, bahwa yang bersangkutan anggota marga yang besar itu, tetapi juga tertumpu kewajiban mulia bagi yang bersangkutan untuk terus menjaga nama baik marganya itu.
Apalagi kalau nama itu memerantikan nama suci, yang dalam runutan diakronisnya adalah ‘guru’ atau ‘nabi’, atau mungkin ‘rasul’, yang lantas dilekatkan pada nama seseorang , tentu saja dimensi ‘kewajiban’ menjunjung tinggi nama besar, atau ‘kewajiban’ meneladani sosok nama yang digunakan itu, akan menjadi sangat besar.
Nah, mungkin di antara pembaca budiman ada yang makin tergoda dengan meruaknya nama ‘Ibrohim’ di media—sosok yang akhir-akhir ini diduga aparat terlibat pemboman JW Marriott dan Ritz-Carlton beberapa minggu lalu. Mungkin ada yang berpendapat, ‘lho bagaimana mungkin seseorang yang memiliki nama besar dan sakral, bahkan juga nama yang agung, bertindak sedemikian biadab, bahkan sampai melenyapkan nyawa sesama umat.’
Mungkin banyak pula nama orang di negeri ini yang kini harus berpredikat ‘tikus’ atau ‘telahan’ bahasa Jawanya yang berdimensi gereflekter adalah ‘den bagus’, karena ternyata banyak orang yang gemar mengorupsi dan memakan uang rakyat. Atau, mungkin pula banyak orang yang harus memiliki nama yang bermakna gereflekter Jawa ‘ulo’ atau ‘sardulo’ alias ‘ular’, karena ternyata makin banyak orang yang gemar ‘ngulo’ demi kepentingan dan keuntungan sendiri dalam hidupnya, juga dalam berkarier di tempat kerja.
Sambil menutup catatan bahasa ini, sekaligus sambil memohon maaf jika ada pemerantian nama yang mungkin kebetulan sama dengan nama dari siapa pun juga—tidak ada maksud apa-apa kecuali maksud akademik demi jelasnya uraian—saya justru semakin mengkhawatirkan, jangan-jangan ungkapan Shakespeare di depan, ‘What’s in a name?’, kini kian menjadi kenyataan. Ayolah kita berefleksi, masih adakah gerangan makna di balik nama-nama kita…?