SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ahmad Djauhar

“Kasihan banget lho, Mas, pengusaha rokok di daerah kita kini berguguran. Mereka yang dicap ilegal didatangi polisi, dirampas alat produksinya dan rokoknya disita…” tutur seorang teman yang berasal Kudus, Jateng.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Tapi, anehnya, begitu pabrik rokok ilegal itu hilang, muncul pabrik rokok kecil baru dengan izin resmi dari pemerintah. Usut punya usut, ternyata itu milik perusahaan rokok besar dengan merk yang mendunia.”

Saya hanya mampu manggut-manggut mendengar penjelasan teman yang saya tahu merupakan keturunan “darah biru” industri rokok di Kota Kretek itu. Saya membatin saja, bukankah seleksi alam sedang terjadi, sebuah paham Newtonian memang menjamin mereka yang akan <I>survive<I> adalah si pemenang.

Ekspedisi Mudik 2024

“Mereka itu, pabrikan rokok besar, juga mencaploki pabrik-pabrik rokok kecil, pokoknya habis <I>deh<I> pabrik rokok milik rakyat, Mas. Banyak tenaga <I>mbathil<I> yang  kehilangan pekerjaan,” lanjut keluh kesah teman saya tadi.

Saya jadi teringat apa yang diceritakan sejumlah tamu kami dari Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) beberapa waktu silam. Aliansi ini merupakan paguyuban dari sejumlah pemangku kepentingan industri tembakau yang “berjuang” agar dapur industri mereka tetap mengepul.

Aliansi ini membeberkan fakta bahwa penerimaan negara dari cukai rokok pada 2009 bernilai Rp 55 triliun, industri rokok menyerap sedikitnya enam juta tenaga kerja, mereka juga memperjuangkan hak hidup pabrik rokok kecil dan sebagainya. Kampanye antirokok yang sedang bergulir saat ini, ujar salah seorang di antara mereka, mengancam kehidupan jutaan orang yang nafkahnya berhubungan dengan industri rokok dan paling terkena adalah pabrik rokok skala kecil.

Aliansi ini termasuk yang paling vokal menentang kebijakan pembatasan merokok di tempat-tempat umum dan sempat menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap rencana pengetatan iklan maupun promosi tentang rokok.

“Kami bukan tidak setuju dengan pembatasan itu semua, tapi lakukanlah dengan <I>fair<I>.” Memang tidak mudah menempatkan industri rokok saat ini. Tidak hanya di Indonesia, tapi di beberapa negara terjadi dilema yang hampir serupa. Temuan peneliti dari Lembaga Penelitian Pengembangan dan Pengabdian pada Masyarakat (LP3M) Universitas Muhammadiyah Magelang membuat saya sempat mengernyitkan dahi, karena berbeda sama sekali dengan gambaran yang dilukiskan oleh rekann-rekan di AMTI bahwa masyarakat petani di Temanggung benar-benar menggantungkan hidup dari bercocok tanam tembakau.

Hasil penelitian LP3M menunjukkan petani tembakau di sentra produksi tembakau terkemuka di Jateng itu hanya berkelimpahan materi saat panen komoditas tersebut. Seusai masa itu, mereka tidak lagi berkelimpahan materi. Sedangkan tingkat kesejahteraan petani tembakau di wilayah itu justru ditopang dari sektor lain, di antaranya 16,2% sebagai buruh tani, 5% pedagang, 1,6% industri, 1,82% jasa, 2,3% angkutan dan 3,9% pegawai swasta.

Berarti, siapa sebenarnya yang diuntungkan oleh industri tembakau ini? Tentu saja negara dan pemilik perusahaan rokok besar. Bicara industri rokok di Indonesia, kita memang tidak dapat melupakan Nitisemito, pelopor industri rokok kretek di negeri ini, yang karenanya menjadikan sejumlah orang Indonesia mampu menduduki kursi kehormatan sebagai orang terkaya di kelas dunia, antara lain Robert dan Michael Hartono.

Kedua bersaudara yang mewarisi Sampoerna itu bahkan menjadi yang terkaya di Indonesia, dengan jumlah kekayaan keduanya sekitar US$10 miliar. Namun, singgasana emas yang mereka duduki tentu saja membutuhkan “tumbal” dalam jumlah tidak kecil. Jumlah korban akibat kegiatan merokok ini semakin serius, bukan hanya di kalangan pengusaha rokok skala kecil tadi, ataupun sejumlah petani tembakau di Temanggung yang sering terijon, melainkan anggota masyarakat, lebih-lebih perokok usia muda.

Tampak sekali di negeri kita ini aksi penyadaran tentang dampak buruk rokok masih sangat lemah dan perlu untuk terus digelorakan, karena kita tentu tidak menginginkan keluarga ataupun orang-orang yang kita cintai menjadi korban akibat kecanduan rokok tersebut.

Berdasarkan studi terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terungkap dari sekitar satu miliar perokok di dunia, sekitar seperlima atau 20% diantaranya adalah perempuan yang relatif lebih rawan terhadap dampak negatif tembakau. Mereka kelompok yang lebih dominan menurunkan penyakit akibat dampak negatif kepada anak-anak melalui proses kehamilan.

Menurut catatan Badan Pengawasan Obat dan Makanan, ada 25 penyakit yang dapat dipicu langsung akibat aktivitas merokok, antara lain penyakit jantung dan stroke, kanker paru, kanker mulut, osteoporosis (rapuh tulang) dan katarak. Berdasarkan data statistik jenis kematian akibat merokok di AS, selama 1990 tercatat kanker paru menduduki posisi terbesar, sekitar 120.000 orang, disusul jantung koroner (99.000) dan stroke (23.000).

Data lebih mengejutkan yang dicatat Departemen Kesehatan AS pada 2000 menunjukkan penyakit akibat merokok menduduki peringkat teratas dari kasus kematian di negeri itu, yakni mencapai 430.000 kasus, kemudian minuman keras (81.000 kasus), kecelakaan lalu-lintas (41.000 kasus), pembunuhan (30.000 kasus), bunuh diri (19.000 kasus), AIDS (17.000 kasus) dan penyalahgunaan obat (14.000 kasus).

Saya jadi ingat perkataan guru madrasah saya dulu, bahwa dalam setiap barang atau hal selalu terdapat manfaat (kebaikan) dan mudarat (keburukan). Minuman beralkohol, misalnya, memiliki manfaat, tapi mudaratnya jauh lebih besar. Demikian pula halnya dengan rokok, manfaatnya ada tapi ternyata menyimpan potensi mudarat yang sangat besar.

Tidak berlebihan kiranya bila tempo hari Majelis Ulama Indonesia maupun Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan fatwa rokok haram. Dari tahun ke tahun semakin ketahuan betapa potensi bahaya rokok ternyata sedemikian besar. Negara memang memperoleh pemasukan besar dari cukai rokok, jutaan tenaga kerja terserap oleh ribuan pabrik rokok, serta ribuan petani tembakau maupun cengkih menggantungkan hidup dari pergerakan industri berbasis asap ini.

Namun, untuk jangka panjang, negara dan keluarga Indonesia juga dipastikan harus mengalokasikan dana yang tidak kecil untuk merawat mereka yang menderita akibat penyakit yang diakibatkan oleh konsumsi rokok tersebut. Termasuk di antaranya adalah perokok pasif–mereka bukan perokok namun terpajan asap rokok di sekitarnya–yang sama-sama berpotensi menderita penyakit akibat merokok tersebut.

Besok, 31 Mei 2011, adalah Hari Tanpa Tembakau yang diperingati seluruh dunia. Selayaknyalah bila kita bicara jujur tentang rokok. Manfaat tembakau/rokok harus diakui pasti ada, tetapi dampak negatifnya juga harus dikemukakan secara terbuka pula, jangan ditutup-tutupi, demi masa depan bangsa yang lebih sehat dan lebih baik tentunya.

Ahmad Djauhar
Wartawan <I>Bisnis Indonesia<I>

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya