SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kalau Anda sedang berkendara melintasi jalan raya di pelbagai kota, pasti Anda akan melihat reklame besar-besar yang dipasang melintang di atas jalan yang Anda lalui. Sebut saja reklame rokok, reklame selular, reklame kosmetik, pokoknya reklame apa saja.  Tujuannya pasti  hanya satu, supaya orang yang melintas di bawahnya, sekalipun hanya sepintas lalu melihat reklame yang dibuat dengan luar biasa mencolok mata itu. 

Nah, di setiap jengkal pinggir-pinggir jalan, baik jalan yang besar maupun jalan kecil, bahkan mungkin sampai lorong-lorong gang yang sangat kecil sekalipun, akhir-akhir ini banyak sekali ditemukan reklame calon legislatif  dari pelbagai partai. Umumnya, reklame-reklame caleg itu dibuat bergambar besar dan sangat mencolok, dengan menawarkan rumusan kata-kata bijak, ada juga yang menawarkan moto atau slogan, ada juga yang menawarkan judul program, ada pula yang menawarkan kegagahan dan kecantikan roman muka, dan sebagainya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ibaratnya, hidup kita sekarang ini memang  sudah berada di tengah-tengah impitan reklame yang luar biasa banyak, mungkin malahan saya boleh mengatakan sudah sangat kolosal. Kalau Ayu Utami, penulis novel ternama, pernah berseloroh di sebuah media nasional, bahwa hidup kita sekarang sudah dikelilingi televisi, sehingga impitan televisi dianggapnya mengusik ketenangan orang, termasuk dirinya, reklame-reklame di sekeliling kita sepertinya juga memiliki dampak hampir sama.

Semoga dampak demikian ini sebentar saja terjadi, tidak berlama-lama. Maka baiklah, kita kesampingkan saja dulu perbincangan ihwal dampak-dampak reklame yang beraneka rupa itu. 

Dari sekian banyak macam reklame di atas itu, saya tertarik sekali pada reklame sangat inovatif yang menggunakan peranti-peranti  ikonis bahasa.  Adapun yang saya maksudkan dengan peranti ikonis bahasa adalah bentuk-bentuk kebahasaan yang dapat memiliki nilai rasa  atau nilai afektif tertentu yang sangat khas. Nilai afektif demikian itu lazimnya berkaitan langsung dengan gambaran objek yang sedang diikonkan itu.

Jadi dengan melihat peranti ikonis kebahasaan itu, yang dalam banyak reklame ternyata dibantu dengan kehadiran ilustrasi grafis tertentu, kita sepertinya langsung dibawa serta masuk ke dalam asosiasi tentang sesuatu yang sedang digambarkan itu.

Peranti ikonis demikian itu lazimnya dekat sekali dengan onomatopea. Dengan onomatopea orang sepertinya juga langsung ditalikan dengan tiruan-tiruan bunyi dari sesuatu yang sedang digambarkan itu untuk kemudian dapat memberikan makna pada sosok gambaran itu. Mari kita cermati ihwal ikonisitas bahasa ini secara lebih tajam.

Pernahkah Anda berpikir bahkan kata dalam bahasa Jawa ‘byur’, sepertinya lahir karena adanya bunyi ‘byur’ ketika seseorang sedang terjun ke air kolam atau air sungai. Ketika Anda sedang tidak enak badan, lalu mungkin perut Anda kembung, lalu bisa saja Anda mengeluarkan bunyi ‘tut’, yang kemudian lazim disebut dengan kata ‘kentut’. Kata dalam bahasa Jawa ‘suwek’ atau ‘sobek’ dalam bahasa Indonesia, sepertinya dekat pula dengan bunyi ‘wek’, misalnya ketika Anda sedang merobek kertas atau kain.

Nah, dalam bahasa Indonesia juga dapat Anda temukan kata ‘dor’ atau ‘der’ untuk bunyi tembakan. Lahirnya kata itu juga dapat kita yakini lantaran ada bunyi ‘dor’ atau ‘der’ ketika senapan atau bahan peledak tertentu dibunyikan. Dari bentuk itu lalu muncul bentuk ikonis ‘didor’ untuk menyatakan maksud ‘ditembak’. Bahkan rasanya, bentuk ikonis ‘didor’ jauh lebih mantap, lebih kuat, daripada sekadar bentuk ‘ditembak’.

Serasa hebat
Orang serasa tidak terlalu mantap dengan bentuk ‘dipukul’ dan kemudian menggantinya dengan ‘digebug’. Orang juga serasa tidak hebat kalau hanya mengatakan ‘rumah itu dibeli’, maka lalu menggantinya dengan ‘rumah itu dilego’. Sebutan ‘burger buto’, sepertinya juga  berikonkan ‘sesuatu yang besar’ atau bahkan ‘sangat besar’ bagi ukuran sebuah ‘burger’.

Dalam bahasa Inggris, kokok ayam jantan dipahami secara ikonis sebagai ‘cock-a-doodle-doo’, sedangkan dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai ‘ku-ku-ru-yuk’. Dalam bahasa Jawa, bentuk itu berubah menjadi ‘ku-ku-ru-kuk’ atau ‘klu-ku-ru-kuk’. Itu juga bentuk-bentuk kebahasaan yang mengandung makna ikonis, yang kebetulan muncul bermiripan dalam tiga bahasa yang berbeda.

Kata bahasa Jawa ‘krupuk’ atau ‘kripik’ atau dalam bahasa Inggris ‘crackers’ atau ‘chips’, lalu muncul dalam bahasa Indonesia ‘kerupuk’ dan ‘keripik’, adalah karena bunyinya yang ‘kriuk-kriuk’ ketika dimakan.

Dalam bahasa Inggris ada lagi kata ‘hiccup’ yang maknanya dalam bahasa Indonesia adalah ‘sendawa’, dan dalam bahasa Jawa disebut sebagai ‘antop’ atau ‘glegeken’. Kehadiran kata  Inggris ‘hiccup’ dan kata Jawa ‘antop’  atau ‘glegeken’ jelas sekali bernuansa ikonis. Sayang, dalam bahasa Indonesia makna ikonis untuk maksud yang sama tidak kelihatan dalam kata ‘sendawa’ itu. 

Bunyi  petir atau halilintar atau bunyi ledakan bom dalam bahasa Inggris bisa saja disebut ‘blast’ atau ‘blar’, tapi dalam bahasa Jawa muncul ‘gler’ atau ‘lher’ atau mungkin ‘duuuooor’, atau mungkin yang lainnya lagi.

Jadi, yang disebut terakhir ini juga adalah manifestasi-manifestasi keikonikan, yang hadir dalam banyak bahasa. Sepertinya memang setiap bahasa memiliki makna ikonis sendiri-sendiri, yang ternyata pula dalam diperantikan secara sangat bagus dan potensial sekali untuk mengembangkan dan memekarkan bahasa yang bersangkutan. Setidaknya, bentuk-bentuk kebahasaan yang bernuansa ikonis demikian ini memiliki nilai afektif atau nilai intuitif yang lebih.

Nah, ternyata bentuk-bentuk yang berciri afektif demikian ini telah banyak diperantikan juga dalam reklame-reklame yang di awal tulisan sudah saya sebutkan. Ayo kita lihat reklame rokok ‘Djarum Black Slimz’, yang juga sangat sering dipasang melintang di atas jalan raya.

Mungkin sekali, sebutan dalam bahasa Inggris ‘slim’, dalam reklame itu lalu ditambah dengan ‘z’ sebagai sekadar varian, sehingga menjadi  bentuk ‘slimz’, yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai ‘ramping’, dapat menggambarkan batang-batang rokoknya yang memang sengaja dibuat lebih ‘ramping’ atau  ‘slim’ itu.

Pemaknaan kata ikonis dalam reklame rokok itu, masih dibantu lagi dengan ilustrasi huruf-huruf yang dituliskannya, yang juga dibuat dengan relatif  ‘sempit’, ‘ramping’, bahkan mungkin sangat tidak proporsional, hingga empat orang digambarkan terjepit di antara huruf-huruf yang ramping itu.  Akan tetapi, memang itulah pemanfatan peranti ikonis bahasa dalam reklame rokok Djarum Black Slimz yang luar biasa bagus itu.

Ternyata bukan saja iklan rokok Djarum yang memerantikan bentuk-bentuk ikonis itu dalam bereklame. Coba lihat saja reklame rokok yang lain, reklame selular, reklame telepon genggam,  reklame kosmetik, yang sekarang seolah-olah telah merakyat alias menjadi miliknya rakyat. Mereka itu juga terbukti piawai sekali memerantikan bentuk-bentuk ikonis demikian ini. Selain inovatif, kreatif, reklame demikian ini juga indah, dengan peranti-peranti bahasanya yang pas menjadikan nilai rasa itu juga sangat pas. 

Nah, mungkin kita boleh berharap-harap juga pada reklame para calon legislatif. Dominasi reklame caleg yang sekarang sudah hadir di mana-mana, bahkan sampai juga di seluruh pelosok desa, dapat memiliki nilai rasa yang lebih, memiliki nilai afektif lebih, jika dapat memerantikan bentuk-bentuk kebahasaan berciri ikonis.

Sayang, bentuk kebahasaan yang sesungguhnya lebih bernilai rasa, kebanyakan justru tertutup oleh dominasi figur orang yang sedang ‘nyaleg’ alias ‘mencalonkan sebagai anggota legislatif ’ itu. Maka benar kiranya bunyi potongan ilustrasi komunikasi visual Sukribo di Kompas 8/3, ‘kamu itu kalau milih caleg jangan dilihat dari besar kecil iklannya!!!’ Maka, bolehlah kita becermin pada reklame superinovatif Djarum Black Slimz!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya