SOLOPOS.COM - Ilustrasi kekerasan seksual. (Dok. Solopos.com)

Solopos.com, WONOGIRI — Kasus kekerasan seksual mulai dari pencabulan hingga persetubuhan terhadap anak di bawah umur belakangan ini marak terjadi di Wonogiri. Hal itu menjadi perhatian kalangan orang tua hingga tenaga pendidik.

Meski tak khawatir berlebih, mereka tetap waspada dan berupaya mengawasi anak dengan berbagai cara agar tidak menjadi korban maupun pelaku kasus kekerasan seksual.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Diberitakan sebelumnya, berdasarkan data Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKB P3A) Wonogiri ada 10 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan sepanjang Januari- Maret 2023.

Sembilan dari 10 kasus tersebut merupakan kasus kekerasan seksual. Sisanya kasus penelantaran anak. Dari 10 kasus tersebut, semua korbannya perempuan. Jumlah kasus tersebut sudah separuh dari total kasus kekerasan terhadap anak Wonogiri pada 2022 lalu, yaitu 20 kasus.

Salah satu orang tua di Wonogiri, Wiwin, mengaku memiliki beberapa cara untuk mendidik anak perempuannya yang berumur 10 tahun dan masih duduk di bangku SD agar tak menjadi korban kasus kekerasan seksual.

Wiwin membentengi sang anak dengan pendidikan agama sebagai fondasi anak untuk berpikir dan bertindak. “Walaupun masih kecil, saya didik agar dia salat lima waktu. Sebab dengan dia salat tekun, pasti dia enggan kalau mau berbuat aneh-aneh,” kata Wiwin saat ditemui Solopos.com di Giritirto, Wonogiri, Rabu (29/3/2023).

Wiwin menyadari smartphone dan media sosial mengubah banyak hal baik positif maupun negatif. Salah satunya menjadi pemicu munculnya kekerasan seksual terhadap anak yang banyak terjadi di Wonogiri belakangan ini.

Oleh karena itu, dia memberi pemahaman kepada anaknya agar bijak menggunakan media sosial. Wiwin menjelaskan apa saja dampak yang akan timbul jika anak itu melakukan suatu hal, misalnya membuka situs yang bermuatan pornografi.

Pendidikan Seksual

Selain itu, dia tidak memberikan kuota Internet kepada anaknya. “Kalau mau internetan, pakai Wifi milik tetangga yang kebetulan nyambung dan diizinkan oleh pemiliknya. Kalau di luar jangkauan itu, otomatis dia jadi terbatas untuk internetan. Saya mengawasinya juga lebih mudah,” jelas dia.

Wiwin mengaku tidak pernah membuka isi handphone milik anaknya. Bagi dia, hal itu tindakan konyol. Dia menganggap anaknya lebih pintar mengoperasikan gawai. Sehingga bisa saja anak itu langsung menghapus apa apa saja yang baru saja dilihat.

Maka dari itu, dia hanya memberikan pemahaman baik dan buruk serta arahan menggunakan media sosial. Tidak hanya itu, untuk menghindarkan anak dari para pelaku kekerasan seksual, warga Wonogiri itu juga mengajarkan pendidikan seksual kepada anak sesuai kebutuhan dan umurnya.

Seperti mengajarkan anak agar tidak mengizinkan orang lain menyentuh bagian vital tubuh seperti dada dan area alat kelamin. Bahkan dia meminta anaknya untuk tidak mengizinkan orang lain khususnya pria dewasa untuk sekadar pegang pundak atau pipi.

“Kebetulan kan warung saya sering didatangi sopir-sopir bus dan orang-orang, kadang mereka pegang-pegang anak saya. Kalau sudah begitu, saya suruh anak saya menghindar. Selain itu, saya juga langsung mengingatkan orang tersebut untuk tidak pegang anak saya. Saya marahi,” ungkap Wiwin yang juga pemilik warung makan itu.

Menurut Wiwin, jika hal tersebut tidak dilakukan, anak akan merasa terbiasa sampai dewasa. Anak tidak merasa bahwa hal itu berbahaya bagi dirinya.

“Saya bilang langsung ke anak, pokoknya selain saya [ibu] atau orang yang saya izinkan, tidak ada yang boleh pegang payudara dan alat vital lain. Saya kasih tahu begitu. Itu bukan hal tabu bagi saya,” ucapnya.

Penggunaan Media Sosial

Orang tua lain asal Wonogiri, Bintoro, mengaku mengontrol penggunaan gawai anaknya dengan membatasi kuota Internet untuk mencegah anaknya mengakses hal-hal berbau seksual atau bahkan tindakan kekerasan seksual. Dalam sehari, Bintoro membatasi kuota Internet anak laki-lakinya yang masih SD hanya 500 MB.

Dengan pembatasan kuota itu, anak tidak terlalu bisa banyak mengakses banyak aplikasi. Selain itu, aplikasi di HP anak diatur agar diperuntukkan anak kecil. Misalnya, Youtube Kids.

“Komunikasi juga terus dijalin. Terutama antara dia dan ibunya. Karena kebetulan lebih dekat dengan ibu. Ibunya sering mengajak komunikasi dengan menanya kegiatan di sekolah. Otomatis anak kepancing untuk cerita apa saja,” kata Bintoro.

Koordinator Kelompok Kegiatan Kepala Sekolah (K3S) SD Wonogiri, Mulyadi, menyampaikan turut prihatin dengan kejadian kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang marak akhir-akhir ini. Apalagi beberapa di antara korban kasus itu masih SD.

Mulyadi mengetahui salah satu penyebab maraknya kekerasan seksual terhadap anak adalah penggunaan media sosial yang tidak bijak. Sekolah tidak henti mengajarkan dan memberi pemahaman kepada anak terkait hal tersebut. Tetapi kadang orang tua justru abai dan menyerah untuk mengontrol anak sendiri.

“Tidak bisa semua diserahkan ke sekolah. Harus ada sinergi antara orang tua dan pihak sekolah. Antarorang tua pun harus saling komunikasi, tujuannya untuk saling mengawasi anak sendiri dan orang lain,” kata Mulyadi.

Dia menambahkan perlu ada sosialisasi terkait penggunaan media sosial, tidak hanya di tingkat sekolah. Tapi untuk seluruh masyarakat mulai dari jenjang RT, desa, bahkan level kabupaten. Hal itu bisa menjadi program pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya