SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Bisnis/Dok)

Mandatori rupiah dinilai sebagian kalangan pengusaha membingungkan.

Madiunpos.com, SURABAYA — Masalah sistem pembayaran terhadap tenaga kerja ekspatriat menjadi isu yang paling disoroti para pengusaha Jawa Timur sebagai respons dari akan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia No.17/2015.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Deputi Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Jatim Syafii menjelaskan selama ini kalangan pelaku usaha di provinsi tersebut masih merasa bingung dengan aturan kewajiban penggunaan nilai tukar rupiah di wilayah NKRI tersebut.

Menurutnya, persoalan yang paling banyak dikeluhkan oleh kalangan pebisnis khususnya di Surabaya adalah bagaimana menerapkan regulasi yang aktif per 1 Juli itu kepada ekspatriat yang telah terikat kontrak pembayaran menggunakan valuta asing. “Aturan ini tidak terkecuali untuk profesi apapun. Selama kami sosialisasi di Jatim, yang paling banyak dikeluhkan adalah soal ekspatriat dan amandemen kontrak,” jelasnya, saat ditemui Rabu (24/6) petang.

Bagi kontrak ekspatriat yang sudah berlaku, lanjutnya, pengusaha masih diperbolehkan membayar dengan menggunakan mata uang asing. Namun, jika di tengah jalan terjadi amandemen kontrak, maka nilai tukarnya harus dikonversikan menjadi rupiah.

Demikian pula dengan kontrak baru, yang mulai awal bulan depan harus dibuat menggunakan nilai tukar rupiah. “Ini hanya masalah psikologis sebenarnya. Banyak yang masih belum terbiasa menggunakan rupiah. Tantangannya hanya masalah kebiasaan.”

PBI tersebut, sambung Syafii, juga akan berdampak langsung terhadap penguatan mata uang Garuda. Bagaimanapun, bank sentral mengaku belum mengalkulasi seberapa signifikan aturan tersebut terhadap potensi apresiasi rupiah.

“Semakin banyak permintaan, rupiah akan menguat. Proses ekspor-impor selama ini secara berantai semua menggunakan dolar. Jika menggunakan rupiah, otomatis kebutuhannya meningkat, sehingga nilainya pun ikut menguat. Apalagi Jatim adalah basis industri.”

Lebih lanjut, Deputi Direktur Departemen Pengelolaan Uang BI Jatim Hengky menjabarkan dalam PBI tersebut, setiap pengusaha akan diwajibkan mencantumkan harga barang dan/atau jasa hanya dalam rupiah, dan dilarang mencantumkan secara dual quotation.

Adapun, kewajiban penggunaan rupiah untuk proyek infrastruktur strategis yang diperjanjikan secara tertulis berlaku untuk infrastruktur transportasi, jalan, pengairan, air minum, sanitasi, telekomunikasi, ketenagalistrikan, dan migas.

Proyek infrastruktur strategis, lanjut Hengky, dikecualikan apabila dinyatakan oleh pemerintah pusat atau daerah sebagai proyek infrastruktur strategis yang dibuktikan dengan surat keterangan dari kementerian/lembaga terkait.

“Selain itu, apabila dia memperoleh persetujuan pengecualian terhadap penggunaan rupiah dari BI. Dalam memberikan persetujuan, BI mempertimbangkan sumber pembiayaan proyek dan dampak proyek tersebut terhadap stabilitas ekonomi makro,” urainya.

Jasa Pelabuhan
Di kalangan BUMN di Surabaya, PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) juga telah melakukan sosialisasi terkait PBI tentang mandatori rupiah tersebut. Sosialisasi tersebut salah satunya dilakukan di Cabang Tanjung Emas, bagi pengguna jasa pelabuhan yang biasa bertransaksi dalam valas.

Manager Keuangan Pelindo III Cabang Tanung Emas I Wayan Eka Saputra mengatakan hingga akhir bulan ini, transaksi layanan jasa kepelabuhanan masih diperbolehkan menggunakan mata uang dolar AS. Namun, lanjutnya, banyak pengguna jasa pelabuhan yang mengkhawatirkan bagaimana nantinya sistem pembayaran yang harus mereka lakukan setelah 1 Juli.

“Tidak akan terjadi perubahan signifikan, Pelindo III juga akan tetap mempemudah akses bagi pengguna jasa,” katanya, “Peraturan ini dibuat untuk menunjukkan kedaulatan negara melalui penggunaan mata uangnya sendiri. Lagipula, nampaknya BI juga ingin mencapai dan memelihara kestabilan rupiah melalui mandatori ini.”

Bagi pelanggar kewajiban mandatori atau penggunaan mata uang rupiah dalam transaksi tunai, akan dikenakan sanksi pidana dengan hukuman kurung maksimal 1 tahun dan denda maksimal Rp200 juta, sebagaimana diatur dalam UU Mata Uang.

Sementara itu, pelanggar untuk transaksi nontunai dikenai teguran tertulis, denda berupa kewajiban membayar 1% dari nilai transaksi dan/atau maksimal Rp1 miliar, serta larangan untuk ikut dalam lalu lintas pembayaran.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya