SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Managemen pada dasarnya berbeda dengan leadership. Managemen  lebih terkait upaya menggerakkan sumber daya suatu organisasi. Sedangkan leadership, menurut pendapat saya lebih terkait dengan melaksanakan kepemimpinan yang berarti melibatkan arah kebijakan dalam mengendalikan organisasi, sehingga dicapai sasaran dari organisasi itu, meskipun dalam memimpin organisasi itu harus juga membuat terobosan-terobosan yang  mungkin tak sesuai aturan yang berlaku.

Oleh karena itu berperan sebagai pemimpin lebih berat dari manager. Bila kita berbicara  managemen pendidikan berarti kita berada pada posisi pasti dalam hal struktur organisasinya, komponen personalnya, fasilitasnya, dll. Persoalannya adalah bagaimana menggerakkan semua sumber daya pendidikan itu, sehingga dapat menampilkan kinerja optimal.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Agar managemen pendidikan itu dapat ditampakkan profilnya, maka perlu ditinjau komponen sistem pendidikan itu baik komponen perangkat pendidikan maupun komponen sistem penggerak perangkat pendidikan itu.

Menggerakkan sumber daya pendidikan berarti menggerakkan unsur-unsur yang mencakup (1) komponen sistem pendidikan, dan (2) perangkat pendidikan. 

Ekspedisi Mudik 2024

Lantas bagaimana dengan tindakan menggerakkan pengambil kebijakan? Sifat paternalistik di negara kita, maka pimpinan lebih jadi sumber acuan dan menentukan kinerja organisasi. Oleh karena itu menggerakkan pengambil kebijakan tak mudah. Mereka punya legitimasi menentukan segalanya dari organisasi itu. Bila puncak pimpinan dalam sistem pendidikan kita adalah menteri, maka menteri lah yang jadi pengambil kebijakan umum pendidikan, yang harus diikuti semua jajaran pendidikan.

Latar belakang pribadi menteri yang menentukan warna pendidikan kita. Akibat dari sistem ini, maka sentralisasi dan uniformitas sulit diberantas. Padahal jelas sentralisasi dan uniformitas ini tak sesuai dengan keanekaragaman bangsa.

Akibat dari sentralisasi dan uniformitas, pendidikan di Jakarta sebagai kota metropolitan harus sama dengan keadaannya di daerah paling terpencil di Irian Jaya, baik bahan pelajarannya, proses maupun ukuran keberhasilannya.

Dan, bagaimana menggerakkan pengambil keputusan tak dapat dilepaskan dari sistem politik pemerintahan kita. Kontrol terhadap menteri adalah Presiden dan DPR, akan tetapi komponen ini tampaknya belum banyak konsep untuk menyentuh sistem pendidikan di negara kita, sehingga penyakit apa yang terjadi dalam pendidikan kita, problem apa yang terjadi dalam sistem pendidikan kita dan hambatan apa yang terjadi dalam pendidikan kita, belum dapat diidentifikasi oleh mereka.

Akhirnya, menteri berjalan secara sendirian atau mungkin bersama orang-orang yang dipercaya buat kebijakan pendidikan yang tak jelas. Menggerakkan pengambil keputusan sebenarnya tak sulit bila, konsep kepemimpinan kita melembaga, bukan perorangan.

Saya berpendapat, budaya hidup dalam keanekaragaman ini yang seharusnya ditumbuhkan dan dimiliki bangsa kita. Dengan demikian maka demokrasi tak hanya diartikan secara formal dalam hidup berrnegara saja, akan tetapi membudaya dalam diri kita masing-masing dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut saya, soal pengendali pendidikan pada dasarnya diserahkan pada satuan-satuan organisasi departemental, dari pusat sampai daerah terkecil. Pengendali pendidikan kita bukan ditumbuhkan dari kualitas karier, akan tetapi oleh kepangkatan.

 Saya melihat. menggerakan pengendali pendidikan ini kadang berbenturan norma birokrasi. Dalam menjalankan tugasnya akhirnya ia tak dapat dibedakan antara dirinya ia sebagai pribadi, atau ia sebagai birokrator dan ia sebagai pengendali pendidikan.

Pembagian peran
Kemudian, lahirnya Undang-undang No.22 /1999 tentang Otonomi Daerah seharusnya peran pusat dalam pengendalian pendidikan semakin tampak. Akan tetapi kenyataannya belum sama sekali. Pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan di tingkat daerah yang sesuai dengan kepentingan anak di daerah masing-masing seharusnya telah mulai diwujudkan. Cinta tanah air tidak akan tumbuh pada anak hanya diarahkan untuk merebut NEM.

Saya rasa, mereka harus diajak mengenal daerahnya, tanah airnya, persoalannya, pemecahannya, dll. Menggerakkan potensi pusat tak harus berarti memusatkan segala urusan pendidikan, akan tetapi menggerakkan mereka agar segera daerah mengambil alih masalah urusan pendidikan itu, sehingga pendidikan kita kontekstual.

Saya kira, otonomi daerah seharusnya segera ditindak lanjuti dengan otonomi-otonomi sektoralnya, termasuk pendidikan. School Based Management suatu konsep otonomi dalam pengembangan lembaga pendidikan yang didengungkan di negara kita perlu segera diwujudkan, meskipun di negara Barat konsep ini telah lama dilaksanakan.

Kegagalannya adalah bila kita tak siap menerima kesempatan otonomi itu. Justru dengan otonomi, lembaga penyelenggara pendidikan dijadikan kerajaan-kerajaan kecil, dengan menerapkan kekuasaan dalam memanage lembaganya. Kalau demikian, maka hasilnya adalah malapetaka pendidikan.
 
Oleh karena itu dalam menerapkan otonomi pendidikan harus dilandasi demokrasi pendidikan. Penentu kebijakan lembaga itu bukan oleh pimpinan akan tetapi oleh organisasi dari School Base Management itu yang komponennya dapat terdiri dari unsur kepala sekolah, guru, siswa, orangtua, masyarakat dan unsur lain.

Otonomi perguruan tinggi seharusnya diarahkan pada kemandirian dalam menentukan kebijakan pengembangan perguruan tinggi itu, dan bukan pada pendanaan. Dana pendidikan harus tetap jadi bagian yang penting dipikirkan secara sentral, selain diberikannya kewenangan perguruan tinggi untuk menggali sendiri potensi dana, melalui kebijakan “income generating” dari berbagai sumber dan pemanfaatan “unit produksi” dari potensi internal perguruan tinggi itu.

Padahal seperti yang dijelaskan di atas, justru kreativitas masih terbelenggu. Akibat dari terbelenggunya kreativitas ini maka akan menghambat tumbuhnya profesionalitas. Di dalam alam demokratik profesionalitas akan tumbuh subur, karena subordinates merasa benar-benar bebas untuk mendiskusikan sesuatu tentang pekerjaannya dengan pimpinannya.

Otonomi dalam pendidikan, pelaksana pendidikan mengembangkan kemampuan bertindak dan tidak sekadar bekerja demi pimpinan. Siswa atau mahasiswa dalam otonomi pendidikan dengan mandiri mencari pengetahuan demi kebutuhan mereka, tidak menerima sesuatu yang dipaksakan, dengan demikian maka siswa atau mahasiswa merasakan nikmatnya belajar.

Budaya demikian juga perlu ditumbuhkan pada para siswa atau mahasiswa, sehingga mereka dapat menjalankan fungsinya sebagai pelaku belajar yang benar-benar sesuai dengan yang diharapkan bersama, sehingga menumbuhkan individu belajar untuk membangun masyarakat belajar yang dibutuhkan untuk masyarakat global. ***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya