SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<blockquote><p>Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (12/4/2018). Esai ini karya Bandung Mawardi, kuncen Bilik Literasi di Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah. Alamat e-mail penulis adalah bandungmawardi@gmail.com.<strong><br /></strong></p></blockquote><p><strong>Solopos.com, SOLO</strong>–Bermula dengan mengutip sabda Nabi Muhammad SAW mengenai manusia dan dunia, Danarto menautkan ke pemahaman orang Jawa bahwa <em>u</em><em>rip mung mampir ngombe</em>.</p><p>Dulu, Nabi Muhammad mengingatkan,&rdquo;Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menaiki kendaraan, lalu berteduh di bawah pohon untuk beristirahat, setelah itu meninggalkannya.&rdquo; Hidup di dunia itu &rdquo;istirahat&rdquo;.</p><p>Orang Jawa mengartikan mampir untuk minum. Waktu singkat bagi orang minum bermisi menghilangkan haus. Danarto pun menafsir kepuasan setelah kehausan hilang atau lelah musnah setelah beristirahat di bawah pohon itulah kebahagiaan hidup.</p><p>Kita bisa membaca tafsir itu di buku Danarto berjudul <em>Gerak Gerik Allah</em> (1996). Esai-esai singkat disuguhkan kepada pembaca mengundang renungan-renungan bersahaja tapi mengena.</p><p>Kini, Danarto telah pergi, setelah beristirahat atau <em>mampir ngombe</em> di dunia. Ia telah sempat bahagia dengan persembahan cerita pendek, novel, drama, dan lukisan. Segala itu dikerjakan saat mampir di dunia untuk perjalanan menuju Tuhan.</p><p>Di jalan, kecelakaan lalu lintas mengantar Danarto menemui Tuhan. Gerak-gerik Danarto tak hilang meski jasad dikuburkan dan orang-orang mengenang pada sekian hari.</p><p>Gerak-gerik dia masih selalu terbaca di buku-buku berjudul <em>Godlob</em>, <em>Adam Ma&rsquo;rifat</em>, <em>Berhala</em>, <em>Gergasi</em>, <em>Asmaraloka</em>, dan <em>Setangkai Melati di Sayap Jibril</em>. Kita bisa membaca (lagi) dan mengamati gerak-gerik imajinasi mengusung kejawaan dan tasawuf.&nbsp;</p><p>Sejak puluhan tahun silam cerita gubahan Danarto mengejutkan dan membingungkan pembaca sastra di Indonesia. Cerita demi cerita disuguhkan kepada pembaca untuk berimajinasi membumi dan melangit.</p><p>Polemik mengenai cerita pendek karya Danarto diladeni dengan penjelasan dalam makalah berjudul <em>Proses, Proses, Proses, Proses, Proses, Proses, Proses</em> yang pernah disajikan dalam <em>Temu Sastra 82</em> di Jakarta.</p><p>Danarto menganggap cerita pendek boleh jadi serumpun kembang liar. Kalimat itu semakin merumitkan kesan tentang cerita pendek yang dimuat di pelbagai majalah masa 1970-an dan 1980-an. Danarto ingin membuat pembelaan tapi rentan menempatkan pembaca dalam kerumitan laku estetika bercampur lelucon religius.</p><p>&ldquo;Cerita pendek bukanlah seumber kebijaksanaan tertinggi. Ia lebih mirip talang,&rdquo; kata Danarto. Di talang semua mengalir: pencerahan, kebohongan, kepalsuan, kemarahan, dengki, dan cemburu. Kebenaran mungkin ada meski tak absolut.</p><p>Pembaca sastra di Indonesia lama terbentuk oleh cerita-cerita gubahan Idrus, Mochtar Lubis, A.A. Navis, Umar Kayam, Budi Darma, dan Kuntowijoyo. Danarto datang dengan cerita-cerita mengelak dari jalan besar bentukan para pengarang masa terdahulu. Sekian cerita jadi ingatan terpenting menilik arus perkembangan sastra di Indonesia.</p><p>Danarto itu kejutan, mendapat penerimaan dan penolakan berkaitan estetika dan olahan tema yang cenderung sufistik. Cerita pendek mulai jadi sasaran studi bagi pengamat sastra dari pelbagai negeri. Sekian cerita malah sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, memikat pembaca asing yang ingin mengerti segala hal berkaitan Jawa, Islam, atau Indonesia.</p><p>&ldquo;Namun, Danarto dengan dunia <em>Godlob</em> memang khas pribumi. Tetapi, tidak tradisional. Ia putra pedalaman Sragen, tidak jauh dari bukit peziarahan, Kemukus,&rdquo; tulis Romo Mangun dalam buku berjudul <em>Sastra dan Religiositas</em> (1982).</p><p>Romo Mangun masuk ke batin kepengarangan dan misi penghadiran cerita. Titik berangkat bernama Sragen dianggap menentukan untuk kepengarangan Danarto. Titik akhir pun di Sragen saat jasad Danarto dikuburkan. Berlatar situasi sastra masa 1980-an, Romo Mangun mengingatkan dunia Sragen adalah dunia Surakarta, dunia <em>Serat Centhini</em>, Ranggawarsita, dan sentrum mistik.</p><p><strong>Parabel Religius</strong></p><p>Permulaan itu dilanjutkan Danarto dengan masuk ke dunia Indonesia dan bergerak jauh ke negeri-negeri asing. Penerbitan buku kumpulan cerita dijuduli <em>Godlob</em> menghasilkan konklusi cerita pendek karya Danarto adalah parabel-parabel religius, cerita-cerita kiasan kaum kebatinan, tradisional sekaligus kontemporer. &nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;</p><p>Buku itu dicetak pada 1974 dengan jumlah sedikit. Pada 1987, cetak ulang kedua <em>Godlob</em> oleh Pustaka Grafiti Pers. Buku penting dalam kesusastraan itu mendapat pengantar dari lelaki Jawa dan pujangga tenar bernama Sapardi Djoko Damono asal Solo.</p><p>Danarto semakin dikenal sebagai pembuat lelucon, parodi, kelakar, protes, dan ejekan. Pembaca cerita berhak membisu, mengangguk, mencemooh, atau marah. Danarto seperti sedang &rdquo;membual&rdquo; tapi berkelimpahan imajinasi religius.</p><p>Cerita sulit dibaca dan sulit dibiarkan diam dalam kemubaziran. Sapardi Djoko Damono cuma memberi tahu bahwa Danarto meledek kecenderungan kita untuk mati-matian berpegang teguh pada nalar.</p><p>Tahun demi tahun berlalu, cerita-cerita buatan Danarto menjadi momok dan daya pikat kemeriahan sastra di Indonesia. Ia menghuni daftar pengarang &ldquo;aneh&rdquo; bersama Iwan Simatupang dan Budi Darma, tapi memiliki kekhasan yang belum tertandingi.</p><p>Ketekunan menulis tentang Jawa dan Islam jarang beriringan dengan cerita-cerita garapan Kuntowijoyo. Danarto itu kejutan belum usai sampai abad XXI. Pukau <em>Godlob</em> belum sirna, Danarto menulis kumpulan cerita berjudul <em>Adam Ma&rsquo;rifat</em> (1982).</p><p>Ia semakin tegak sebagai pengarang ampuh yang sulit mendapat &rdquo;pengikut&rdquo;. Goenawan Mohamad malah sempat berujar bahwa cerita-cerita karya Danarto itu pembuktian kehadiran &rdquo;realisme magis&rdquo; dalam kesusastraan di Indonesia.</p><p>Pada penerbitan buku <em>Adam Ma&rsquo;rifat</em> oleh Mahatari pada 2004 memuat alinea mengandung &rdquo;ramalan&rdquo; biografis. Di halaman 88 kita bisa membaca bahwa di akhir hayatnya, Danarto ingin menikmati hidup ini. Sering ia mengalami saat-saat flamboyan, misalnya, ketika sehabis salat Tarawih, ia lantas menonton pertunjukan balet Coppelia.</p><p>Ia memohon Tuhan supaya berkenan mengaruniainya umur sampai 70 tahun atau betapa indahnya jika Tuhan berkenan kasih lebih. Keinginan itu terkabul tanpa lebih. Urusan <em>mampir ngombe</em> sudah selesai dalam sekejap untuk perjalanan lain.</p><p>Keampuhan Danarto dalam menulis cerita-cerita mendapat pujian dari Umar Kayam. Pembaca sastra mengenali Umar Kayam juga pengarang tenar melalui terbitan buku <em>Sri Sumarah</em> dan <em>Para Priyayi</em>. Mereka berasal dari rahim Jawa tapi berbeda arah.</p><p>Umar Kayam tetap saja menganggap Danarto adalah pengarang sufi meski menulis cerita-cerita mengandung protes berkaitan situasi Indonesia masa 1980-an. Danarto melulu berpijak ke batin Jawa dan keislaman.</p><p>Kini, pada saat Indonesia sedang ramai dengan omongan dan politik bersinggungan agama, Danarto malah berpamit. Ia mungkin telah bahagia mendapat umur 77 tahun dan menikmati dunia dalam pikat cerita dan kerja pemaknaan di jalan sastra.</p><p>Ia tak sempat menuliskan cerita bersumber dari keributan berdemokrasi pada tahun 2018 dan 2019. Kita harus rela melepas kepergian Danarto. Doa pun diucapkan tanpa lupa membuka (lagi) buku-buku yang memuat gerak-gerik Danarto selama puluhan tahun, 27 Juni 1940-10 April 2018.</p><p>&nbsp;</p><p>&nbsp;</p><p>&nbsp;</p>

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ekspedisi Mudik 2024
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya