Kolom Jogja
Rabu, 13 Januari 2010 - 09:18 WIB

Malam perenungan refleksi siwaratri

Redaksi Solopos.com  /  Budi Cahyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Om ano bhadrah kratawo yantu wiswatah Om swastyastu

Karut marutnya kehidupan telah terjadi pergeseran nilai spiritual ke materialistik dan hedonisme sempit memakai ukuran keindividuan sebagai pembenaran. Kondisi semacam ini menunjukkan keakuan yang dominan serta sangat gersang dengan nilai serta penghayatan terhadap ajaran agama yang universal.

Advertisement

Maka akan timbul perilaku yang tidak kita inginkan, seperti dengan berbagai peristiwa yang telah terjadi di berbagai belahan bumi persada, dengan menyampingkan nilai-nilai kemanusiaan, sopan santun namun bertopengkan kebenaran sebagai perilaku semu yang pada intinya adalah kebohongan. Terkait dengan hal tersebut hendaknya sebagai manusia yang penuh dengan kepapaan malam siwa (siwaratri), yang pada tahun ini akan kita laksanakan 14 Januari 2010, sebagai malam pemujaan Tuhan dalam manifestasinya.

Siwa sebagai malam renungan jati diri manusia, dan malam evaluasi diri. Jadikan momentum spiritual dalam pendakian menuju dunia yang sesungguhnya. Makna yang terkandung di dalam Siwaratrikalpa hendaknya menjadikan renungan batin, tetapi penuh dengan pemikiran, logika dan memaknainya. Sebagai seorang yogi yang tekun melaksanakan ajaran dengan berbagai rintangan dan cobaan hendaknya dijalani dengan kesadaran batin dan penuh dengan kebenaran, sehingga pada akhirnya bisa mencapai puncak kebahagiaan satyam sivam sundharam.

Advertisement

Siwa sebagai malam renungan jati diri manusia, dan malam evaluasi diri. Jadikan momentum spiritual dalam pendakian menuju dunia yang sesungguhnya. Makna yang terkandung di dalam Siwaratrikalpa hendaknya menjadikan renungan batin, tetapi penuh dengan pemikiran, logika dan memaknainya. Sebagai seorang yogi yang tekun melaksanakan ajaran dengan berbagai rintangan dan cobaan hendaknya dijalani dengan kesadaran batin dan penuh dengan kebenaran, sehingga pada akhirnya bisa mencapai puncak kebahagiaan satyam sivam sundharam.

Dalam melaksanakan siwaratri susastra dari lubdaka hendaknya dijadikan obyek meditasi dan dikaji lebih mendalam karena di sana dikatakan, jika seseorang telah mampu membunuh sifat kebinatangannya, maka timbulah rasa ingin dekat dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi). Rasa kerinduan itu diwujudkan dengan berbagai cara (Nawa Ratna Bhakti) sembilan cara bakti kepada Tuhan.

Ini dilukiskan dengan mengilustrasikan memetik daun Bila dan menjatuhkan mengenai Lingga Sang Hyang Siwa di telaga, daun Bila yang dipetik sebagai makna menghitung perilaku baik dan perilaku yang kurang baik dan pada akhirnya, Silubdaka mencapai puncak dari perjalanan yoga yang dilakukannya tiap hari. Ini mengindikasikan keulatan dan keteguhan batin akan membawa pada kebahagiaan sejati (anandham).

Advertisement

Brata malam Siwaratri paduka adalah yang paling utama di antara semua brata, bagaikan Mahameru di antara gunung, matahari di antara yang bercahaya, pertama di antara mahluk berkaki dua, dan Kapila diantara mahluk berkaki empat, Gayatri di antara mantram, Amertha di antara yang cair, Wisnu di antara laki-laki dan Arundhati diantara wanita.” Namun kita hendaknya menyadari bahwa malam Siwaratri merupakan malam perenungan jati diri manusia, apa lagi kita secara sengaja menyiapkan diri demi kebaikan maka kebenaran yang akan kita capai.

Demikian juga Si Lubda melakukan malam Siwa tidak sengaja melaksnakan malam Siwaratri justru masuk surga, ini perlu analisis yang lebih mendalam guna mendapatkan kebenaran yang hakiki. Hukum Karma Pahala yang berlaku universal, sebagai hukum sebab akibat, setiap perbuatan akan mendapatkan pahala sesuai dengan guna darma kita masing- masing. Sesuai dengan hukum karma demikian juga dalam Bhagawad Gita Kresna memberikan wujangan kepada Arjuna tugas kita hanyalah melakukan kerja/karma, masalah hasil bukan urusan kita, tetapi setiap reaksi akan ada aksi dan sebaliknya setiap aksi akan ada reaksi sesuai dengan motif karma tersebut.

Brata Siwaratri dan brata yang lainnya hendaknya sering dilakukan dalam usaha meningkatkan kerohanian, jika tidak pernah melakukan brata hidup ini tidak mempunyai nilai, seperti yang diwejangkan dalam kekawin Arjuna Wiwaha sebagai berikut: Seseorang yang tidak pernah melakukan Brata, tapa dan yoga, dan semadi, serta mengharapkan dan memaksakan dirinya untuk memperoleh kesukaan/kebahagiaan dari Ida Sang Hyang Widhi, orang seperti itu adalah telah dijangkiti oleh penyakit rajas dan tamas.

Advertisement

Dari penjelasan tersebut dapat kita umpamakan seperti orang yang selalu mengutarakan kebenaran tetapi dirinya sendiri tidak pernah melaksanakan kebenaran dengan baik, bahkan melakukannya hanya sebagai samun plasa semata-mata. Ibarat orang yang tahu tentang keberadaan dirinya, tetapi tidak menempatkan dirinya pada tempatnya, tetapi bisa menyalahkan orang lain.

Orang seperti itulah yang disebut “buta hati”, bisa menyalahkan orang lain, tetapi tidak bisa memfungsikan tugasnya dengan baik, orang seperti itulah dihinggapi penyakit tajas dan tamas sangat sulit untuk dicarikan obatnya. Sadarilah diri kita sebelum menyadari orang lain, di malam yang istimewa ini hanya kebenaran dan kebaikan sajalah yang mendapatkan kebahagian dan keharmonisan hidup Satyam Evam Jaya Te Na Anrtham.

Upawasa (pengendalian diri dalam hal makanan dan minuman). Jadi upawasa ini hendaknya disesuaikan dengan kemanpuan masing-masing tidak perlu dipaksakan, tetapi bagaimana kita melaksanakan dengan kesadaran dan keiklasan batin, akan memberikan manfaat yang lebih dalam kehidupan. Namun sesuai dengan ajaran agama upawasa itu sangat perlu sekali sebagai terapi terhadap organ tubuh. Secara filsafat memberikan bhatin kita santapan rohani sehingga urat sarat dapat bekerja lebih efektif sesuai dengan fungsinya.

Advertisement

Dalam BhagawadGita dinyatakan: Adanya mahluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan. Adanya hujan karena yajna, adanya yajna karena karma jagra/pengendalian tidur dalam keadaan jagra semalam suntuk disertai dengan pemujaan terhadap Siwa sebagai pralina kepapaan bukan melakukan yang lain. Dalam keadaan sadar atau jagra kita akan mampu mengenali jati diri, untuk apa melakukan semua ini. “Heling ngaran hurif lali ngaran pati” kata mutiara ini perlu kita kembangkan dalam diri kita, sehingga timbul kesadaran untuk melaksanakan kan tugas yang diamanatkan kepada kita.

Tugas, kedudukan pangkat dan jabatan bukan sesuatu yang dapat diminta melainkan tanggung jawab dan kepercayaan yang harus kita laksanakan. Mari berlomba menabur benih tetapi jangan mengharapkan hasil, tetapi si penabur benih akan menikmati karmanya sesuai dengan swadharmanya masing-masing. Malam Siwaratri /pemujaan Siwa guna memohon ampunan terhadap kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia.

Setiap manusia memiliki kepapaan, karena dibelenggu oleh nafsu-nafsu indria yang dimiliki manusia. Terutama dikuasai oleh Saptatimira tujuh macam kemabukan misalnya:
1. Surupa: mabuk karena wajah tampan dan cantik,
2. Dhana; mabuk karena kekayaan,
3. Guna: mabuk kerena kepandian/kepinteran,
4. Kasuran: mabuk kerena kemegahan,
5. Kulina: mabuk kerenan keturunan,
6. Yowana: mabuk karena keremajaan dan
7. Sura : mabuk karena minuman keras.

Sifat-sifat inilah hendaknya kita sadari dalam diri kita jangan sampai dimabukkan oleh perilaku kurang terpuji. Kita menyadari tidak seorangpun menginginkan hal seperti itu. Namun itu muncul dan perginya tidak pernah memberitahukan. Hanya kesadaran yang dapat menetralisir perilaku yang kurang terpuji.

Selamat menjalankan Siwaratri semoga menjadi lubdaka-lubdakan, pemburu kebenaran yang sejati, nalar, naluri dan nurani kita menjadi harmonis dalam menjalani kehidupan. Selamat melaksanakan Siwarati, Kamis, 14 Januari 2010, semoga mencapai kedamian dan peningkatan spiritual.

Om santi santi santi om

Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif