SOLOPOS.COM - Dokumentasi Pabrik Gula Gondang Klaten (Istimewa/Youtube channel Lidah Jawa)

Solopos.com, KLATEN — Krisis malaise merupakan krisis yang terjadi pada 1929 dan melanda di hampir semua negara. Istilah malaise lebih dikenal di Hindia Belanda, sedangkan di dunia dikenal dengan nama depresi ekonomi.

Dilansir dari skripsi berjudul Pengaruh Krisis Malaise terhadap Pabrik Gula di Kabupaten Klaten sampai Tahun 1942 oleh Rusal Mustopo pada 2003, krisis malaise merupakan krisis ekonomi terparah di dunia pada dekade 30-an.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Krisis malaise berawal dari amblesnya harga saham di bursa Wall Street. Krisis tersebut berujung pada rontoknya 80 juta dollar dalam beberapa hari. Krisis malaise ditandai dengan adanya pengurangan tenaga kerja, pemotongan gaji, turunnya harga hasil panen, dan rendahnya upah.

Krisis malaise berawal di Amerika Serikat, 24 Oktober 1929. Pada saat itu, AS menjadi produsen utama di bidang pertanian dan industri.

Terjadinya Perang Dunia I turut menjadi penyebab terjadinya malaise, khususnya di bidang ekonomi. Barang-barang asal AS yang harusnya diekspor kemudian menumpuk di gudang dikarenakan politik isolasi dari negara totaliter Eropa. Hal tersebut berdampak ke jatuhnya harga barang ekspor, angka pengangguran meningkat, dan maraknya kejahatan.

Baca Juga: Bandit Sosial Marak Terjadi di Klaten Tahun 1870-1900, Apa Itu?

Krisis malaise juga melanda Hindia Belanda yang pada saat itu masih di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Krisis malaise di Hindia Belanda diawali dengan meletusnya Gunung Merapi, 18 Desember 1930.

Sebanyak 1.500 orang meninggal dunia, serta 2.500 hewan mati. Sawah dan rumah pun hancur akibat letusan.

Saat itu, Hindia Belanda merupakan penghasil bahan pokok, seperti beras, gula, kopi, dan teh serta bahan mentah seperti karet dan minyak bumi.

Secara umum, penyebab krisis malaise di Hindia Belanda disebabkan oleh perekonomian dunia dan kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah kolonial di Hindia Belanda. Krisis tersebut diperparah dengan adanya over productie (produksi berlebihan), onder consumtie (pemakaian barang di bawah standar), dan crediet expansie (pemberian kredit yang longgar).

Baca Juga: Deretan Makam Belanda di Klaten, 1 Batu Nisan Marmer Pernah Dicongkel

Kapitalis berusaha mengefektifkan perusahaannya. Untuk itu, diadakan restriksi yang berkenaan langsung dengan perusahaan. Dari semua pembatasan di sektor industri, industri gula merupakan bidang yang mengalami pengurangan drastis. Krisis malaise ini bahkan menyebabkan penutupan 77 pabrik gula (PG) pada 1925.

PG Gondangwinangun sebelum malaise memiliki penigkatan dan perkembangan yang cepat. Hal tersebut tak lain karena pemanfaatan penerapan teknologi modern dalam proses produksi gula. Selain itu dipengaruhi juga oleh penerapan sistem penanaman tebu Reynoso dari Kuba.

Namun setelah krisis malaise terjadi sekitar tahun 1930 hingga 1935, jumlah produksi gula mencapai posisi nol. Pabrik gula Gondangwinangun kembali memproduksi gula pada 1936 setelah krisis malaise berakhir. Pabrik Gondangwinangun bahkan mencapai puncak produksi gula di tahun 1940 dengan 2.237 kuintal/ha.

Krisis malaise juga mempengaruhi bidang tenaga kerja. Sebanyak 33.060 tenaga kerja diberhentikan antara tahun 1930-1935. Pemberhentian tenaga kerja dilakukan untuk efisiensi biaya produksi.

Baca Juga: Misteri Pabrik Gula Gondang Klaten

Krisis juga mempengaruhi upah yang diterima oleh tenaga kerja di pabrik. Pengurangan upah mencapai 50%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya